Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Nestapa di Pulau Kecil Wawonii yang Kaya Raya
15 Agustus 2023 14:23 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Tareq Elven tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak banyak yang tau apa yang terjadi di Pulau Wawonii, pulau kecil dengan luas 867,58 km2 yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), Provinsi Sulawesi Tenggara, setelah dimekarkan dari Kabupaten Konawe pada tahun 2013.
ADVERTISEMENT
Secara geografis, Pulau yang berjarak sekitar 3 jam perjalanan laut dari Kota Kendari ini diberkahi dengan kekayaan sumber daya alam melimpah dari sektor perikanan, perkebunan, dan kehutanan. Dari hasil alam tersebut, banyak orang tua yang berhasil menyekolahkan anak-anak mereka hingga jenjang pendidikan tinggi.
Kekayaan alam Pulau kecil Wawonii nyatanya tidak terbatas pada sektor-sektor tersebut saja, melainkan sektor tambang komoditas nikel yang melimpah ruah terbenam di bawah tanah yang mereka pijak. Entah berkah atau bencana, eksistensi sumber daya mineral tersebut kini justru menjadi malapetaka seiring perkembangan zaman dan populernya kendaraan berbahan bakar listrik di dunia.
Pada awal tahun 2000an sebelum pemekaran, pemerintah daerah Kabupaten Konawe menerbitkan banyak izin-izin tambang di atas Pulau Wawonii. Izin-izin tersebut menjadi akses masuk bagi banyak perusahaan tambang untuk mengeksploitasi alam Pulau Wawonii selama bertahun-tahun lamanya.
ADVERTISEMENT
Lahirnya UU Nomor 27 Tahun 2007 yang melarang kegiatan pertambangan di pulau kecil secara tidak langsung telah membuat perusahaan-perusahaan tambang di Pulau Wawonii menghentikan kegiatan operasionalnya perlahan-lahan.
Hingga pemekaran terjadi pada tahun 2013, para tokoh dan masyarakat sepakat untuk tidak menjadikan tambang sebagai bagian dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) dalam rancangan peraturan daerah mereka guna menjaga lingkungan dan alam yang telah memberikan mereka kehidupan selama puluhan tahun lamanya.
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Salah satu perusahaan tambang, PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP), memulai kembali operasinya di Pulau Wawonii pada akhir tahun 2018 berbekal izin tambang yang diterbitkan sebelum UU 27/2007 dan IPPKH tahun 2014, serta RTRW yang diduga disusupi kepentingan dengan memuat kegiatan tambang.
ADVERTISEMENT
Pembukaan lahan di hutan dan aktivitas pertambangan yang diduga kuat ilegal oleh anak perusahaan tambang Harita Group tersebut telah mengakibatkan tercemarnya sungai dan sumber mata air masyarakat yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Terlebih, masyarakat juga dirugikan akibat praktik mafia tanah yang terjadi di lapangan yang telah memaksa mereka kehilangan lahan garapannya akibat tidak memiliki dokumen legalitas atas lahan di hadapan perusahaan tambang.
Perjuangan Masyarakat Wawonii Tenggara
Protes demi protes sudah dilakukan oleh masyarakat dan mahasiswa untuk menolak kehadiran PT GKP di Pulau Wawonii sejak tahun 2018. Perjuangan tersebut tidak hanya dilakukan di jalanan, melainkan juga di pengadilan. Pada bulan Agustus 2022, sejumlah 30 orang masyarakat dari Desa Roko-Roko Raya dan Desa Mosolo Raya, Kecamatan Wawonii Tenggara mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kendari untuk membatalkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) PT GKP.
ADVERTISEMENT
Dalam gugatannya, masyarakat mendalilkan IUP-OP PT GKP diterbitkan tanpa disertai Izin Lingkungan dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang sah dan berlaku. Setelah melalui serangkaian panjang proses persidangan, pada bulan Februari 2023, Majelis Hakim PTUN Kendari mengabulkan gugatan masyarakat dan membatalkan IUP-OP PT GKP.
Meskipun pada proses banding di PT TUN Makassar membatalkan putusan PTUN Kendari dengan pertimbangan hukum yang patut dipertanyakan, masyarakat tetap terus berjuang hingga kini perkara berlanjut pada tingkat Kasasi di Mahkamah Agung.
Selain melalui proses litigasi untuk membatalkan izin tambang PT GKP, masyarakat yang sama juga turut menguji beberapa pasal yang mengakomodir kegiatan pertambangan dalam Perda Konkep tentang RTRW ke Mahkamah Agung. Masyarakat menilai pasal-pasal Perda tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K).
ADVERTISEMENT
Permohonan tersebut akhirnya dikabulkan oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor: 57 P/HUM/2022, menyatakan batal dan bertentangan dengan hukum ketentuan pasal yang mengakomodir kegiatan pertambangan dalam Perda tersebut dan berimplikasi hukum melarang seluruh kegiatan pertambangan di Pulau Wawonii.
Selain Putusan tersebut, Mahkamah Agung juga memperkuat ketentuan pelarangan kegiatan pertambangan di Pulau Wawonii melalui Putusan Nomor: 14 P/HUM/2023 tentang pengujian Perda RTRW Konkep yang kembali diajukan oleh masyarakat.
Larangan Kegiatan Pertambangan di Pulau Kecil
Dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor: 57 P/HUM/2022 halaman 61, Mahkamah Agung mengatakan:
ADVERTISEMENT
Pertimbangan hukum tersebut didasari atas ketentuan Pasal 35 huruf j dan k UU PWP3K yang mengatur larangan melakukan kegiatan pertambangan minyak dan gas maupun mineral di pulau-pulau kecil yang dapat menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan serta merugikan masyarakat.
Ketentuan tersebut berkaitan dengan Pasal 134 ayat (2) UU Minerba yang secara tegas melarang kegiatan usaha pertambangan dilaksanakan pada tempat yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Pun secara tata ruang, UU Penataan Ruang juga melarang setiap pejabat yang berwenang untuk menerbitkan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (7).
Pada tingkat daerah, Pemprov Sulawesi Tenggara mengakomodir ketentuan larangan kegiatan pertambangan di pulau kecil tersebut dalam Perda RTRW dengan tidak menetapkan Konkep (Pulau Wawonii) sebagai Wilayah Usaha Pertambangan dan Perda RZWP3K yang melarang kegiatan pertambangan di wilayah pulau-pulau kecilnya.
ADVERTISEMENT
Penerbitan Perda RTRW tingkat Kabupaten yang Koruptif
Terlepas dari seluruh aturan hukum yang melarang kegiatan pertambangan di pulau kecil, Pemda Konkep menerbitkan perda RTRW tahun 2021 yang mengakomodir kegiatan pertambangan. Dalam ketentuan Pasal 24 huruf d, Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 36 huruf c Perda tersebut, pemerintah Konkep menetapkan kawasan pertambangan dan energi dengan luas 41 hektar di Kecamatan Wawonii Tenggara dan Wawonii Timur.
Sudah diduga, Perda Konkep tersebut kemudian dimanfaatkan oleh PT GKP untuk “melegalkan” kegiatan pertambangannya di Pulau kecil Wawonii, kendati jelas ketentuan ruang tambang dalam Perda tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, yang rasanya sangat patut dicurigai telah terjadi tindakan koruptif dalam penerbitannya.
Kecurigaan tersebut akhirnya terbukti ketika masyarakat Wawonii Tenggara berhasil memenangkan perkara Hak Uji Materi di Mahkamah Agung sebagaimana Putusan Nomor: 57 P/HUM/2022 dan Putusan Nomor: 14 P/HUM/2023.
ADVERTISEMENT
Pun “jika” tidak bertentangan, bagaimana bisa PT GKP memiliki IUP-OP seluas 850,9 hektare dan IPPKH seluas 707,10 hektare sedangkan ketentuan ruang tambang yang ditetapkan hanya seluas 41 hektare?
Kendati DPRD Konkep telah membentuk Panitia Khusus untuk merevisi perda tata ruang Konkep, namun hingga kini, Putusan Mahkamah Agung tersebut tidak kunjung juga dilaksanakan.
Status Hukum Kegiatan Pertambangan PT GKP yang Patut Dipertanyakan
Kegiatan operasi PT GKP didasarkan pada IUP-OP yang diterbitkan oleh DPMPTSP Provinsi tanggal 31 Desember 2019. Untuk perizinan lingkungan, PT GKP mengantongi Izin Lingkungan (termasuk AMDAL di dalamnya) yang diterbitkan oleh Bupati Konawe (sebelum pemekaran) tahun 2008. Selain itu, IPPKH PT GKP diterbitkan tahun 2014 oleh Zulkifli Hasan selaku Menteri Kehutanan pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Faktanya, Izin Lingkungan dan IPPKH milik PT GKP telah daluarsa atau tidak berlaku. Hal tersebut terungkap dalam persidangan di PTUN Kendari, PT GKP terbukti baru memulai rencana kegiatan operasi produksi pada sekitar tahun 2019, sehingga Izin Lingkungan yang terbit tahun 2008 tersebut telah melebihi batas waktu 3 tahun kewajiban memulai kegiatan yang diatur oleh undang-undang.
Fakta lain yakni IPPKH milik PT GKP yang diterbitkan tahun 2014 telah batal dengan sendirinya pada tahun 2016 dikarenakan alasan yang sama, yakni PT GKP baru memulai kegiatan pada tahun 2019. Sementara, IPPKH tersebut mengatur ketentuan batal dengan sendirinya apabila tidak dilakukan kegiatan nyata di lapangan dalam kurun waktu 2 tahun sejak diterbitkan.
Lantas menjadi pertanyaan, bagaimana bisa IUP-OP PT GKP terbit pada tahun 2019 sedangkan Izin Lingkungan dan IPPKH tersebut telah daluarsa atau tidak berlaku?
ADVERTISEMENT
Pencemaran Air Akibat Beroperasinya Kegiatan Pertambangan
Bagai api dalam sekam, dampak buruk tambang itu pun kini mengancam. Pulau Wawonii yang kaya raya kini menuai nestapa. Aktivitas PT GKP telah mengakibatkan tercemarnya sumber air, sungai, laut, hingga air-air yang mengalir ke rumah-rumah warga. Warna air berubah keruh kecoklatan bercampur lumpur hingga mengakibatkan terjadinya krisis air bersih dan memaksa warga untuk membeli air galon untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setidaknya terdapat lima desa yang terdampak, yaitu Roko-Roko, Dompu-Dompu, Sukarela Jaya, Bahaba, dan Teporoko.
Tuduhan masyarakat akan aktivitas PT GKP yang mengeruk dan menggunduli hutan selama tiga tahun terakhir sebagai penyebab tercemarnya sumber air bukan tanpa alasan. Seluruh warga yang telah hidup, tinggal dan menetap lama di Pulau Wawonii mengaku tidak pernah terjadi pencemaran air seperti ini. Dahulu jika terjadi hujan, air keruh mengalir ke sungai dan tidak sampai membuat keruh air yang mengalir ke keran-keran rumah warga.
ADVERTISEMENT
Dampak lingkungan tersebut sudah sejak lama dipersoalkan masyarakat, termasuk di persidangan. Masyarakat meminta kepada Majelis Hakim PTUN Kendari untuk menjatuhkan putusan penundaan pelaksanaan IUP-OP milik PT GKP hingga putusan berkekuatan. PT GKP berdalih telah melakukan serangkaian tes dan persiapan agar tidak mencemari lingkungan serta membantah sebagai pelaku pencemaran air tersebut. Sayangnya, upaya masyarakat tersebut tidak sesuai harapan. Majelis Hakim menolak permintaan tersebut.
Keadilan bagi Masyarakat Pulau Kecil
Tidak cukup hanya merusak lingkungan dan mencemari sumber air masyarakat Pulau Wawonii, PT GKP pun berusaha untuk mengganggu stabilitas kelestarian alam di pulau-pulau kecil dengan mengajukan judicial review terhadap ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU PWP3K ke Mahkamah Konstitusi yang diajukan tanggal 28 Maret 2023.
ADVERTISEMENT
Dalam permohonan yang teregister dengan nomor 35/PUU-XXI/2023 tersebut, PT GKP meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk melegalkan kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil. Permohonan judicial review tersebut merupakan respon PT GKP terhadap putusan Mahkamah Agung yang membatalkan ketentuan ruang tambang dalam Perda RTRW Konkep.
Setelah lebih dari 3 bulan berlalu sejak agenda sidang terakhir (Pemeriksaan Pendahuluan II) permohonan judicial review PT GKP dilaksanakan pada tanggal 9 Mei 2023, Mahkamah Konstitusi pada akhirnya menerbitkan jadwal sidang selanjutnya tanggal 30 Agustus 2023 dengan agenda mendengar keterangan DPR dan Presiden.
Masyarakat Pulau Wawonii yang semula menjadi Penggugat di PTUN Kendari dan Pemohon di Mahkamah Agung sudah mengajukan permohonan untuk menjadi pihak terkait dalam perkara tersebut. Sebagai pihak terkait kelak, masyarakat ingin menyampaikan pesan penting berisi harapan kepada Mahkamah Konstitusi untuk dapat memahami betapa bahayanya jika permohonan PT GKP sampai dikabulkan.
ADVERTISEMENT
Jika sampai hal itu terjadi, tidak hanya Pulau Wawonii saja yang menjadi korban, melainkan pulau-pulau kecil lainnya akan turut menjadi sasaran eksploitasi perusahaan tambang yang pada akhirnya akan merusak alam dan lingkungan.
Bagi masyarakat Pulau Wawonii, mereka percaya dengan ucapan nenek moyang para pendahulu mereka:
yang memilik arti: