Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Siapakah Yang Lebih Layak Mendapat Gelar Sarjana Pendidikan ?
4 Juli 2018 22:20 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
Tulisan dari Tatang Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Tatang Hidayat *)
Tanggal 22 Agustus 2017 merupakan momen wisuda mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, momen tersebut akan menjadi momen yang bersejarah bagi para wisudawan, tak terkecuali bagi hidup saya.
ADVERTISEMENT
Perasaan gembira, haru, dan sedih mewarnai diri ini, mungkin apa yang saya rasakan sama juga dirasakan wisudawan lainnya. 4 tahun perjuangan menjalankan proses perkuliahan di kampus UPI Bumi Siliwangi terbayar sudah pada momen tersebut. Orang tua, sanak keluarga dan para sahabat ikut merasakan kebahagiaan, ucapan selamat silih berganti berdatangan dari teman-teman seperjuangan.
Prosesi wisuda merupakan momen yang sakral dan sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat, sehingga yang merasakan kebahagiaan bukan saja para wisudawan, tetapi sanak keluargapun ikut merasakan hal yang sama. Betapa tidak, pada hari itu saya melihat teman-teman seperjuangan diantarkan oleh para keluarganya dari berbagai daerah, terlihat dalam pandangan saya begitu banyak yang mengantar para wisudawan, mungkin saja diantara mereka terdiri dari kakek, nenek, paman, bibi, tetangga, sahabat dan lain-lain ikut merasakan kebahagiaan meskipun sekedar menunggu di sekitar kampus.
ADVERTISEMENT
Tepat pukul 07.45 Upacara Wisuda Gelombang II Tahun 2017 Universitas Pendidikan Indonesia di mulai, iring-iringan rektor beserta para guru besar dan para dosen mulai memasuki ruangan yang disertai musik khas prosesi wisuda.
Entah mengapa, ketika hymne UPI dan mars UPI dilantunkan, mata ini tak terasa mulai meneteskan air mata. Teringat 4 tahun yang lalu ketika MOKA-KU UPI 2013 melantunkan hymne UPI dan mars UPI di gedung yang sama tetapi sekarang dilantunkan dalam suasana yang berbeda.
Ketika prosesi wisuda tersebut berlangsung, saya sedikit mengingat waktu kebelakang yang tidak terasa waktu 4 tahun berjalan begitu cepat, teringat masa-masa awal menginjakkan kaki ke kampus UPI Bumi Siliwangi, sejak masa itu pula saya banyak mendapatkan pelajaran yang berharga dalam menjalankan perkuliahan.
ADVERTISEMENT
Teringat ketika awal mengikuti silaturahim bersama keluarga besar mahasiswa Ilmu Pendidikan Agama Islam (IPAI) di Masjid Al-Furqon UPI. Waktu itu saya bertemu dengan seorang kawan yang bernama Ade Rahmat Gumilar yang biasa dipanggil Gugum. Setelah pertemuan tersebut, ternyata saya baru tahu bahwa beliau memiliki kekurangan dari segi penglihatan, tetapi dengan kekurangan yang ada dalam diri beliau, tidak serta membuat beliau putus asa, hingga saya bahagia bisa melihat beliau akhirnya bisa memakai toga dan menjadi kebanggaan orang tuanya.
Beliau adalah seorang penghafal Alquran dan menjadi kebahagiaan bagi diri saya pribadi bisa mendampingi beliau beberapa waktu ketika sama-sama menjadi santri Ma’had Usyaqil Quran dibawah asuhan Ustadz Muhammad Suhud Al-Hafizh.
4 tahun selama kuliah di UPI, meninggalkan kesan yang begitu indah dan sulit untuk dilupakan. Begitu banyak suka dan duka yang dirasakan, teringat 4 tahun yang lalu pertama kalinya saya diantar oleh orang tua ke Pondok Pesantren Mahasiswa Miftahul Khoir Bandung untuk pesantren sambil kuliah, begitu beratnya bagi saya untuk pertama kalinya jauh dari orang tua.
ADVERTISEMENT
Tetapi, peristiwa tersebut menjadi pelajaran bagi diri saya untuk hidup mandiri dan menjalankan aktivitas sebagai seorang santri dan mahasiswa. 2 status yang berat harus saya jalani ketika awal-awal tinggal di kota Bandung, saya harus menjadi seorang santri di sisi lain saya harus menjadi seorang mahasiswa. Tetapi, dari 2 status tersebut saya mendapat pelajaran hidup yang sangat berharga dan tak akan pernah terlupakan.
Ketika menjadi mahasiswa, aktivitas saya selain kuliah juga aktif di dunia dakwah kampus yang kegiatannya bukan hanya sebatas kajian, tetapi kita juga sering melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada para penguasa sebagai bentuk aktualisasi ajaran Islam yang terkadang harus turun kuliah dan praktikum lapangan di depan gedung-gedung penguasa, baik itu di Balai Kota Badnung, DPRD Kota Bandung, Gedung Sate, DPRD Jawa Barat, hingga Istana Negara yang dengan aktivitas tersebut terkadang membuat khawatir kedua orang.
ADVERTISEMENT
Tuduhan radikalis dan ekstrimis selalu dinisbatkan kepada para aktivis dakwah kampus, tak terkecuali kepada diri saya. Tetapi, jika tuduhan tersebut harus saya terima karena kecintaan saya kepada Islam, Baginda Nabi Agung Muhammad SAW dan perjuangan para ulama, maka dengan bangga saya terima. Karena, konsekuensi seorang pecinta ketika mencintai mencintai kekasih (Rasulullah SAW), maka harus ridho dengan segala resiko.
4 tahun sudah kesabaran orang tua, khususnya ibu saya yang tak kenal lelah dan henti-hentinya memberikan dukungan dan do’a dalam setiap sujudnya untuk kesuksesan anaknya. Setiap pulang ke rumah, ibu merupakan permata hati yang selalu menerangi ditengah-tengah kegelapan hati yang tengah melanda diri ini.
Selama masa itu pula, ibu selalu mendidik dengan penuh kasih sayang untuk kesuksesan anaknya. Ketika anaknya bisa makan enak, belum tentu ibu merasakan hal yang sama. Tetapi, ketika anaknya sakit, pasti ibu orang yang pertama merasakan kekhawatiran dan terkadang ikut merasakan sakit juga.
ADVERTISEMENT
Teringat ketika proses mengerjakan skripsi, jujur saja hakikatnya saya bisa sidang tepat waktu itu karena pertolongan Allah SWT melalui asbab do’a orang tua dan para guru. Betapa tidak, saya baru selesai persyaratan sidang mengikuti sidang ketika hari terakhir ditutupnya pendaftaran sidang. Di sisi lain, saya mendapatkan dosen pembimbing yang dikalangan mahasiswa IPAI merupakan dosen yang menakutkan dalam membimbing skripsi, tetapi dalam pandangan saya justru merupakan anugrah bisa dibimbing oleh beliau.
Saya mendapatkan pelajaran yang berharga ketika menyelesaikan tugas skripsi, sehingga akhirnya beliau memperbolehkan saya sidang tepat waktu. Jujur saja awalnya dalam perkiraan saya kemungkinan sidang itu bulan Agustus dan wisudanya Desember, karena melihat kenyataan harus bimbingan 2 minggu sekali, tetapi semua itu bisa berubah atas izin Allah SWT.
ADVERTISEMENT
Kembali ke upacara wisuda, tidak terasa upacara wisuda akan selesai dan ditutup dengan do’a yang dibacakan oleh dosen PAI. Tetapi, masih ada yang mengganjal dalam hati ini, terus terang saja sebenarnya sebelum wisuda itu saya ingin bicara 4 mata dengan Rektor UPI bapak Prof. Dr. H. R. Asep Kadarohman, M. Si. Saya ingin menanyakan apakah bisa gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) ini dipindahkan layaknya gelar Doktor Honoris Causa yang bisa diberikan?.
Karena saya memandang, begitu banyak orang yang lebih layak menyandang gelar S.Pd. salah satunya adalah ibu saya. Betapa tidak, ibulah yang selama ini mendidik saya dari kecil, mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi tidak henti-hentinya beliau selalu menemani anaknya.
ADVERTISEMENT
Ibu saya bukanlah lulusan perguruan tinggi, tetapi justru beliau bisa mendidik anaknya menjadi seorang sarjana. Pertanyaannya, jadi siapakah yang lebih layak mendapatkan gelar S.Pd. ?. Sejatinya yang lebih layak mendapatkan gelar S.Pd. adalah ibu kita, beliaulah yang tidak henti-hentinya mendukung dan mendo’akan dalam setiap sujudnya. Bagi kawan-kawan seperjuangan, jaga dan rawatlah Ibumu sebagaimana engkau menjaga dan merawat Ibu Pertiwi. Tetaplah berbuat bakti kepada orang-tua, khususnya ibu kita semua.
Karena, sejatinya merekalah yang lebih layak dan pantas mendapatkan gelar S.Pd., maka tidak baik bagi kita merayakan wisuda ini dengan euforia yang berlebih, karena sejatinya ada yang lebih layak menyandang gelar S.Pd. sesungguhnya, yakni ibu kita semua.
*) Wisudawan Program Studi Ilmu Pendidikan Agama Islam Universitas Pendidikan Agama Islam 2017
ADVERTISEMENT