Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
ASN dalam Dilema Seretan Korupsi
23 November 2023 14:01 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Taufiq A Gani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepanjang tahun 2023 ini, serasa tidak habisnya media memberitakan tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik di pusat dan daerah. Kita lihat juga bagaimana dominasi keterlibatan pejabat yang berlatar belakang kader partai politik sebagai aktor utama. Dari beberapa analisis terlihat bahwa seorang pejabat berlatar belakang kader partai politik sulit memisahkan kepentingan unit pemerintahan yang dipimpin dengan kepentingan pribadi dan partai politik (Nikolaus Harbowo, 2021; Anisah Septi Arum, 2023)
ADVERTISEMENT
ASN sebagai bagian birokrasi unit pemerintahan yang dipimpin oleh pejabat seperti di atas kerap terimbas dalam perilaku korupsi. ASN tersebut berada dalam dilema. Sulit bagi mereka yang menjadi bawahan untuk menghindar. Mereka terperangkap dalam konflik kepentingan dan tidak dapat menegakkan integritas dalam perencanaan dan pengelolaan anggaran atas arahan pimpinannya.
ASN dan pejabat pimpinannya di atas sangat rentan untuk termotivasi melakukan korupsi. Jack Bologna mengenalkan teori GONE sebagai model motivasi tindak korupsi, di mana Greedy (Keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan). KPK memformulasikannya teori tersebut sebagai dua hal yaitu serakah dan tak pernah puas. Tidak pernah ada kata cukup dalam diri pemimpin yang serakah. Keserakahan bersama dengan kesempatan menjadi katalisator terjadinya tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu terlihat juga, Pemerintah Indonesia begitu gencar mengeluarkan kebijakan menyempurnakan program reformasi birokrasi dan manajemen aparatur pemerintah. Tujuannya adalah untuk membentuk pemerintahan digital dengan aparatur dan layanan publik yang berkelas dunia. Bapak Presiden Joko Widodo dalam arahannya mengharapkan digitalisasi dalam pemerintahan dapat menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.
Sedemikian kerasnya usaha melakukan reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi, Pemerintahan Indonesia di awal tahun 2023 terpaksa menelan pil pahit kembali dengan merosotnya nilai persepsi korupsi sebesar 4 poin dari 38 untuk tahun 2021 menjadi 34 untuk tahun 2022 berdasarkan hasil pengukuran dari Transparency International. Nilai yang didapat tidak terbantahkan, berbagai kejadian sepanjang awal tahun 2023 memperlihatkan keterlibatan pejabat publik kader partai politik dan ASN harus berhadapan dengan tindak pidana khusus korupsi.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, solusi bagi pemimpin atau pejabat di Indonesia sudah pernah didiskusikan pada artikel kumparan sebelumnya, yaitu "Mencari Pemimpin yang Selesai dengan Dirinya Sendiri" (Taufiq A Gani, 28 Maret 2023). Namun solusi yang ditawarkan dalam artikel tersebut masih sangat berorientasi atau mengandalkan pembentukan karakter diri sendiri atau kepribadian calon pemimpin untuk berintegritas.
Motivasi artikel baru ini disiapkan karena penulis merasa solusi di atas akan terasa sangat berat bagi ASN, karena mereka akan selalu berada dalam dilema, yaitu menegakkan integritas dalam bayang-bayang tekanan dari pimpinan tanpa ada daya upaya untuk melawan, menghindar atau mencegah. Mereka tidak mampu melakukan perlawanan karena merasa tidak aman, terancam dan terlindungi. Mereka memerlukan jaminan keamanan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam lingkungannya.
ADVERTISEMENT
Pimpinan yang menjadikan ASN dalam dilema dapat berasal dari mana saja, yaitu ASN, TNI/Polri atau kader partai politik yang diangkat menjadi pimpinan unit pemerintahan sesuai aturan yang berlaku. Namun kali ini, artikel ini berfokus pada pimpinan yang berasal dari kader partai politik. Alasannya adalah karena partai politik kurang tersentuh agenda Reformasi Birokrasi yang sedang dijalankan pemerintah untuk menciptakan birokrasi pemerintahan yang bersih, akuntabel dan bebas korupsi.
Dengan demikian, artikel ini juga bertujuan untuk melihat peran dan upaya pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan regulasi yang mendorong partai politik menerapkan birokrasi yang bersih dan akuntabel, sehingga membuka peluang bagi para kader yang berkesempatan menjadi pimpinan di birokrasi pemerintahan dapat menunjukkan dan menegakkan integritas dalam kepemimpinannya.
ADVERTISEMENT
ASN Berakhlak Dan Perilaku Korupsi
BerAKHLAK adalah nilai-nilai dasar yang harus dimiliki oleh ASN, yaitu Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, Kolaboratif. Nilai ini adalah sesuai dengan UU No. 5/2014 tentang ASN yang saat ini sudah dicabut dan diganti dengan yang baru yaitu UU No. 20/2023. Tulisan ini akan banyak membahas salah satu nilai yaitu akuntabel. Maksud dari nilai ini tidak lain adalah perilaku yang harus mereka wujudkan dengan mempertahankan integritas dan bebas dari konflik kepentingan.
Mereka harus menjadi garda terdepan dalam mendukung reformasi birokrasi dan membangun pemerintahan yang bersih dan efisien. Namun menjadi pertanyaan adalah bagaimana mereka dapat mempertahankan dua unsur utama di atas (integritas dan bebas dari konflik kepentingan) saat berada dalam situasi tekanan dari pimpinan.
Untuk membantu keluar dalam situasi yang sulit tersebut, ASN perlu dibekali dengan pemahaman yang mendalam tentang batasan perilaku yang dapat diterima. Mereka juga perlu dilatih untuk menghadapi situasi yang mengandung risiko konflik kepentingan atau tindakan koruptif. Dalam mengatasi tekanan dari pimpinan dan menjaga integritasnya, mereka seharusnya dapat berpartisipasi memberantas korupsi dengan cara melaporkan indikasi korupsi tapi dengan jaminan keamanan dan terlindungi secara hukum.
ADVERTISEMENT
Sistem pelaporan dengan jaminan perlindungan dan keamanan ini disebut whistle blowing. Di Indonesia sistem ini merupakan implementasi dari UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (kemudian diubah dengan UU No 31/2014). Selanjutnya istilah whistle blower system untuk pencegahan korupsi tersebut dalam Instruksi Presiden RI No. 17/2011 tentang Aksi Pencegahan Dan Pemberantasan Korupsi.
Dengan perlindungan ini, jika ASN berada dalam situasi sulit seperti di atas, melalui whistle blower system, mereka dapat melaporkan tindakan koruptif tanpa takut. Sistem pengaduan internal yang aman dan rahasia dapat memberikan ruang bagi mereka untuk memberikan informasi tanpa mengkhawatirkan keamanan pekerjaannya. Ini menciptakan lingkungan yang mendukung integritas dan memberikan jaminan bahwa tindakan yang dilaporkan akan diinvestigasi secara adil.
ADVERTISEMENT
Adelia Nur Hasanah, Maria, dan Anggeraini Oktarida (2023) melakukan penelitian penerapan whistleblowing pada pencegahan fraud dalam pengadaan melalui E-procurement di pemerintah Kabupaten Banyuasin. Dengan metrik yang digunakan, mereka menemukan bahwa whistleblowing memberikan kontribusi signifikan (sebesar 46,87%) terhadap pencegahan fraud di pemerintah Kabupaten Banyuasin.
Namun demikian, Zayanti Mandasari (2020) dalam artikel yang dipublikasikan di website ombudsman RI menyebutkan bahwa walau banyak instansi pemerintah yang sudah menerapkannya , namun belum semua instansi penyelenggara pelayanan publik sadar betul terkait pentingnya sistem ini. Masih terlihat penerapannya hanya sebagai "penggugur kewajiban", dalam upaya mengejar predikat WBK (Wilayah Bebas dari Korupsi) dan WBBM (Wilayah Birokrasi Bersih Melayani).
Demikian juga masih disayangkan beberapa kasus yang dilaporkan oleh whistle blower seperti kasus korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Citemu, Kecamatan Mundu, Cirebon, Tahun Anggaran 2018-2020 yang menyeret pelapor.
ADVERTISEMENT
Kita mengharapkan ke depan keadaan seperti ini dapat diperbaiki, sehingga ASN dapat tetap keluar dari tekanan dan menegakkan integritasnya.
Reformasi Birokrasi Dan Partai Politik
Pejabat publik dari kader partai politik adalah orang baru yang ditempatkan dalam birokrasi instansi pemerintah. Sebagai orang baru, pejabat tersebut bisa jadi belum menyatu secara maksimal dengan nilai-nilai integritas yang seharusnya terbangun dalam reformasi birokrasi. Apalagi konsolidasi demokrasi belum menampakkan praktik yang baik untuk bangsa Indonesia.
Politik uang yang menyebabkan tingginya biaya yang diperlukan bagi pencalonan sebagai peserta Pemilu menyebabkan kader yang lolos sebagai pejabat publik kehilangan integritas dalam pengelolaan keuangan selama periode pemerintahannya. Kader tersebut mengambil jalan pintas dengan penyalahgunaan kekuasaan, menjalankan kepemimpinan dengan pendekatan politik kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri.
ADVERTISEMENT
Dalam Siaran Pers 03/HM.01.04/KPK/56/05/2022 disebutkan bahwa berdasarkan data hingga April 2022, KPK telah menangani 310 perkara yang melibatkan anggota DPR dan DPRD, 22 perkara yang melibatkan Gubernur, serta 148 perkara yang Walikota/Bupati dan Wakil. Angka tersebut menyumbang 35 persen dari keseluruhan jumlah perkara. Angka ini harus menjadi perhatian dalam kerangka pelaksanaan konsolidasi demokrasi Indonesia.
Kita mengharapkan pimpinan partai politik tetap mengedepankan pembinaan integritas terhadap kadernya dalam berjuang mendapatkan kursi jabatan di parlemen dan eksekutif. Di samping itu pesan-pesan reformasi birokrasi untuk membentuk birokrasi pemerintahan yang bersih dan berintegritas tidak tercapai.
Reformasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintahan diharapkan juga membina partai politik dalam pengelolaan dan pelaporan keuangannya. Undang Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik Pasal 34 menyebutkan sumber keuangan partai politik ada tiga, yaitu (i) iuran anggota, (ii) sumbangan yang sah menurut hukum, (iii) bantuan keuangan dari APBN/APBD. Sayangnya sampai saat ini kewajiban pelaporan keuangan kepada BPK hanya untuk penerimaan dari APBN/APBD (diatur dengan PP No 5/2009 yang mengalami perubahan dua kali yaitu dengan PP No 1/2018 dan PP No 5/2009).
ADVERTISEMENT
Padahal laporan penelitian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menunjukkan bahwa bantuan keuangan dari negara hanya menutupi kurang dari 5% kebutuhan partai politik. Dari penelitian ini terindikasi kuat, sumber pembiayaan partai politik adalah dari sumbangan berbagai pihak. Memang benar menurut undang-undang ada kewajiban untuk membuat pembukuan penerimaan, tapi belum ada peraturan teknis di bawah undang undang di atas yang mengatur pemeriksaan atas laporan tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2018 mencoba menyusun Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) yang salah satu komponennya terkait dengan keuangan partai politik. Namun sayang SIPP ini tidak terimplementasi dengan baik karena regulasi kebijakan dan teknisnya tidak mendukung.
Dalam diskusi implementasi aksi pencegahan korupsi di tubuh partai politik (27/01/23), Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Ditjen Polpum) Kemendagri bapak Bahtiar menawarkan solusi: "Daripada mengubah PP, lebih baik UU Parpol yang harus kita benahi dengan mencantumkan SIPP sebagai dasar hukum implementasinya".
ADVERTISEMENT
Sebagai kesimpulan, dua solusi sudah dibahas dalam artikel ini, yaitu (i) whistleblower system - sistem pelaporan tindak korupsi yang aman dan menjamin perlindungan bagi ASN (pelapor) dan (ii) perbaikan regulasi untuk sistem pelaporan dan audit keuangan partai politik yang mencakup semua pemasukan dan pengeluaran, bukan hanya dari APBN/APBD.
Kedua program tersebut adalah bagian dari Reformasi Birokrasi yang sedang dijalakan oleh Pemerintah Indonesia.
Dari pembahasan terlihat bahwa dua solusi tersebut sebenarnya sudah banyak diungkapkan oleh beberapa pihak, artikel ini mengangkat kembali pentingnya solusi tersebut untuk dijalankan. Ini semua untuk melindungi ASN dalam bayang-bayang korupsi yang dilakukan oleh pimpinannya.