Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
OPINI: Puasa dalam Kepemimpinan Politik
25 Mei 2018 20:25 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
Tulisan dari redpolitica tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Abdul Rivai Ras
Founder BRORIVAI CENTER
Puasa dalam kepemimpinan politik dapat dilihat dalam dua perspektif, yakni; pertama, sebagai ajang pelatihan kesehatan mental dan pikiran secara spritual; kedua, sebagai media yang ampuh untuk internalisasi nilai pendidikan karakter ke dalam diri masing-masing yang notabene menjadi bagian dari proses kepemimpinan dan respons kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Puasa pada dasarnya menciptakan ragam karakter yang utama sebagai prasyarat pemimpin ideal. Oleh karenanya, dalam konteks misi ibadah puasa, maka karakteristik pemimpin ideal termanifestasi dalam nilai-nilai ketakwaan sebagai buah ritual puasa yang kemudian dapat diaktualisasikan dalam kepemimpinan politik.
Sesungguhnya, implementasi nilai-nilai puasa dan hubungannya dengan aktualisasi kepemimpinan terletak pada bagaimana merancang suatu bangunan etos kepemimpinan yang mampu menguatkan persepsi tentang dimensi eksoterik ibadah puasa itu sendiri. Lebih dari itu, puasa dapat dipastikan memiliki keterkaitan erat dengan fakta kehidupan sosial yang empirik dalam memengaruhi sikap pemimpin serta memberikan landasan etik moral dalam menjalankan kepemimpinannya.
Selain itu, puasa juga melahirkan insan yang mampu bersikap lebih kritis dan peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Jika seseorang terlatih untuk bersikap kritis dan introspektif terhadap persoalan sosial yang timbul di masyarakat, diharapkan akan muncul kekuatan dan keberanian moral untuk melakukan koreksi dan tindakan-tindakan perubahan demi kesinambungan pembangunan.
ADVERTISEMENT
*Paradigma Kepemimpinan*
Dalam pemikiran Muhammad Abduh (1849-1905), menjelaskan bahwa konsepsi politik itu bercorak sosiologis, sehingga manusia hakikatnya adalah makhluk politik dan menjadi kebutuhan sebagai perekat sosial yang bersifat universal.
Untuk itu, pemimpin dalam Islam dapat dilihat dari dua konteks. Pertama, kewajiban untuk menegakkan Islam secara baik dan kedua, dalam mengatur urusan negara, sesuai dengan prinsip kepemimpinan Islam. Salah satu aspek penting kepemimpinan dalam Islam adalah terkait dengan proses pengambilan keputusan, yang diperintahkan Allah melalui musyawarah yang dewasa ini disebut “demokrasi”. (Baca, Surat Ali Imran ayat 159).
Dalam hal musyawarah, tugas kepemimpinan mencakup segala aspek, aktivitas, dan tindakan, yang di antaranya dapat menghilangkan kezhaliman, menegakkan keadilan, melenyapkan mudarat dan bahaya, serta menutup rapat sebab-sebab konflik dan permusuhan. Oleh karenanya, kepemimpinan Islam tidak dapat dipisahkan dari pertanggungjawaban yang mutlak terhadap rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Dalam lingkungan masyarakat yang berdaulat telah menjadi tugas seorang pemimpin untuk menyampaikan hak-hak para masyarakat kelompok rentan. Misalnya terkait dengan pengaturan atau regulasi politik yang berada di tangan pemimpin untuk mendorong pemerataan dan pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, maka seorang pemimpin politik mutlak menyampaikan dan menegakkan amanat yang telah dibebankan Allah kepadanya.
*Mencermati Model-model Kepemimpinan Politik*
Sebagai wawasan perlu mengetahui model-model kepemimpinan politik, agar dalam memahami tentang kepemimpinan dan menyiapkan pemimpin tidak salah arah. Demikian pula, model-model pemimpin saat ini penting untuk dikaji ulang. Seperti diketahui bahwa, Indonesia sebentar lagi akan melaksanakan Pilkada serentak pada Juni 2018 dan pemilihan presiden baru 2019. Model-model kepemimpinan politik ditengarai penting untuk mengidentifikasi karakteristik masing-masing calon bulati/walikota, gubernur dan presiden yang akan bersaing nantinya.
ADVERTISEMENT
Sekurangnya terdapat 4 model kepemimpinan politik, yaitu: (1) Negarawan, (2) Demagog, (3) Politisi Biasa, dan (4) Citizen-Leader. ‘Negarawan’ adalah seorang pemimpin politik yang memiliki visi, karisma pribadi, kebijaksanaan praktis, dan kepedulian terhadap kepentingan umum yang kepemimpinannya itu bermanfaat bagi masyarakat.
Sedangkan ‘demagog’ adalah seseorang yang menggunakan keahliannya memimpin untuk memeroleh jabatan publik dengan cara menarik rasa takut dan prasangka umum untuk kemudian menyalahgunakan kekuasaan yang ia peroleh tersebut demi keuntungan pribadi.
Berbeda dengan ‘politisi’ dimana biasanya disebut sebagai pemegang jabatan publik yang siap untuk mengorbankan prinsip-prinsip yang dimiliki sebelumnya atau mengesampingkan kebijakan yang tidak populer agar dapat dipilih kembali. Sementara ’citizen-leader’ adalah seseorang yang mempengaruhi pemerintah secara meyakinkan meskipun ia tidak memegang jabatan resmi di pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Apapun model kepemimpinan politik itu, yang terpenting adalah ia lahir dari sebuah proses pelatihan spritual dan kepemimpinan yang berkarakter dimana tempaan ibadah puasa yang dijalani selama sebulan telah membentuknya sebagai seorang pemimpin yang mampu menjaga kehendak dan kepentingan pribadinya, serta meletakkan di bawah kepentingan masyarakat yang lebih banyak.
*Tanggujawab Pemimpin*
Singkatnya, esensi puasa dalam kepemimpinan politik adalah kesadaran akan tindakan seseorang yang selalu terkait dengan kebesaran dan kekuasaan Allah Swt., sehingga kesadaran bahwa tugas dan tanggungjawab seorang pemimpin itu tidak dimaknai dalam hubungan yang materialistis atau bahkan secara ekonomis belaka, tetapi melainkan berada dalam ruang lingkup pengabdian diri kepada kekuasaan tunggal, Allah Swt.
Dengan demikian, pemimpin politik tak hanya hanya sebagai insan yang berpuasa, tetapi ia juga mampu menjadi seorang pemimpin yang mampu menahan keinginan duniawinya, menegakkan keadilan, dan melaksanakan amanat rakyat, termasuk peduli dalam urusan respons kemanusiaan, kebangsaan dan keummatan
ADVERTISEMENT