Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Seni sebagai Sebuah Terapi
3 September 2020 5:06 WIB
Tulisan dari Teguh Adhi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pembaca Kumparan pasti tidak ada yang menduga bahwa tahun 2020 akan menjadi tahun yang penuh kenelangsaan ya. Teman-teman yang kehilangan mata pencaharian, berita duka dari sanak saudara hingga orang-orang beken, tenaga kesehatan yang berguguran, atau tingkat perceraian yang melonjak di masa pandemi. Semua berita buruk tersebut berputar di sekitar Pandemi COVID-19 yang seperti menjadi tema utama kehidupan kita untuk tahun ini.
ADVERTISEMENT
Di tengah ancaman virus flu berbahaya kita dituntut untuk menjaga imunitas tubuh. Sayangnya segala kenelangsaan dan berita buruk tersebut juga dapat berpengaruh langsung terhadap kualitas imunitas tubuh.
Mengapa Seni?
Agar imunitas tubuh tetap tinggi, pembaca Kumparan dapat menjadikan seni sebagai sebuah pilihan terapi untuk tetap positif dan bahagia. Tapi mengapa seni? karena seni adalah sumber daya terapi yang tak terbatas!. Wujudnya pun bermacam-macam, dapat audio, dapat visual, atau audio visual.
Unsur seni juga terdapat di mana-mana hal-hal di sekitar kita. Dalam design monitor desktop yang ada di hadapan anda, dalam wallpaper gawai cerdas yang sedang anda genggam, dalam teknik pengambilan gambar untuk video YouTube yang baru anda selesai tonton.
ADVERTISEMENT
Sekarang pertanyaannya adalah apakah semua orang dapat memiliki rasa seni? Jawabannya IYA!. Tidak ada studi yang membuktikan bahwa seni merupakan sesuatu yang genetik. Seni merupakan aktualisasi ide dan rasa yang muncul dari hati. Semua orang memiliki hati, dengan demikian semua orang memiliki rasa seni. Rasa seni itu yang perlu diasah melalui practice, practice, dan practice.
Saya pribadi senang menggambar atau sketching. Kedua orang tua saya pernah bekerja di bagian design di salah satu perusahaan tekstil di Jawa Barat. Namun demikian saya tetap percaya kalau hobi saya gak ada kaitannya dengan faktor genetik. Saya suka menggambar karena itu yang saya lihat orang tua saya lakukan setiap hari ketika saya kecil. Menggambar, menggambar, dan menggambar.
Saya mendapati menggambar dapat mengalihkan pikiran saya ke tempat yang lebih tenang. Kegiatan terebut juga melatih saya untuk dapat membayangkan secara jelas seperti apa hasil akhir yang saya inginkan. Dengan gambaran jelas tentang hasil akhir, saya lebih mudah untuk fokus kepada proses dalam mencapai hasil akhir tersebut.
ADVERTISEMENT
Seni juga melatih kita untuk lebih memperhatikan keadaan sekeliling kita. Meskipun seni adalah ekspresi dari dalam hati namun seringkali inspirasinya datang dari faktor luar. Dengan kata lain, mengasah rasa seni juga melatih sensitivitas kita akan lingkungan sekitar.
Dengan hal-hal positif yang saya rasakan tersebut, saya jadikan seni sebagai sebuah terapi utamanya untuk mengatasi kecemasan. Kecemasan ini mungkin sesuatu yang sedang dirasakan hampir semua orang di masa pandemi dengan segala ketidakjelasannya.
Mengasah Rasa Seni
Berbicara tentang mengasah rasa seni, pembaca Kumparan dapat melatih bakat seni apapun yang dimiliki dengan bantuan dari komunitas seni yang banyak tersedia di sekitar kita. Saya percaya seni juga merupakan sebuah kegiatan yang komunal. Tidak hanya hasilnya yang dapat dinikmati bersama, namun prosesnya juga.
ADVERTISEMENT
Di kota saya, Bandung, ada sebuah komunitas bernama Bandung Sketch Walk. Mereka biasanya berkeliling Kota Kembang untuk menggambar gedung-gedung tua dan gedung-gedung à la art deco. Anggotanya terdiri dari anak-anak hingga dewasa dengan tingkat kemampuan menggambar yang beragam. Setiap orang dapat belajar dari anggota yang lain.
Bagi anda yang sibuk mencari nafkah pada siang hari dan baru dapat fokus ke seni pada after office hours, anda dapat bergabung dengan komunitas bernama Sketsa Pulang Kerja (SKP). Komunitas ini juga memiliki cabang di sejumlah kota besar. Tidak hanya berdiskusi seni, tapi komunitas ini juga dapat menjadi kesempatan untuk membangun jejaring kerja.
Dengan adanya pembatasan sosial, komunitas-komunitas ini tentunya beradaptasi dan memodifikasi kegiatannya. Yang penting tujuan mereka untuk mengasah rasa seni dan saling berbagi bakat tetap tercapai.
ADVERTISEMENT
Jadi pembaca kumparan, kira-kira seni apa yang ingin anda asah sebagai bentuk terapi? Apapun itu, jangan lupa untuk tetap sehat dan bahagia ya.