Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Perhelatan pemilu serentak di Indonesia telah memasuki babak akhirnya, namun ternyata banyak lubang besar yang ditinggalkannya di tengah masyarakat. Salah satunya adalah lunturnya rasionalitas serta kearifan berpolitik.
ADVERTISEMENT
Seolah tidak malu, banyak tokoh publik dan politik yang terang-terangan mengumbar sentimen berlebihan pada pihak tertentu. Tanpa mempertimbangkan data objektif, mereka memaksakan pandangan-pandangan yang sesuai dengan kelompok afiliasinya di atas kelompok yang berlawanan.
Menurut penulis sekaligus filsuf asal Britania Raya Julian Baggini, yang ia ungkapkan pada The Guardian, fenomena itu terjadi karena masyarakat diandaikan sebagai objek sebuah percakapan politik yang berat sebelah semata. Juga tidak ada warga negara yang diizinkan untuk membantah kekeliruan yang ada. Hal ini diperparah ketika tidak adanya pertukaran argumen untuk keluar dari kecemasan massal yang sedang terjadi. Seolah-olah, betul bahwa "Dunia tidak siap dan tidak bersedia mengucapkan selamat tinggal pada kebenaran."
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, fakta dan kebenaran menjadi sesuatu yang too good to be true. Kekuatan argumen yang bersandar pada rasionalitas, yang menurut filsuf Jerman Jurgen Habernas adalah ruh demokrasi itu sendiri, merupakan barang langka yang sulit didapat.
[Penulis : Izzudin|Editor : Nadhira]