Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Oleh: M. Fikri Nur Amirulloh
ADVERTISEMENT
Indonesia darurat berbahasa? Memangnya ada apa?
Pepatah lama mengatakan, “Bahasa menunjukan bangsa.” Sepintas, peribahasa ini terlihat sangat sederhana, tapi sesungguhnya memiliki makna yang sangat luas. Bahasa, dalam bentuk tuturan atau ucapan yang sering menjadi menjadi petunjuk utama dalam penilaian diri seseorang.
Sebagai salah satu penanda identitas, ternyata bahasa juga mencerminkan kedudukan/posisi penutur dalam tata kemasyarakatannya. Latar belakang sosial penutur yang berbeda akan membuat bahasa yang digunakan berbeda pula.
Pada penutur yang berpendidikan tinggi, misalnya, akan terlihat perbedaan karakter penggunaan bahasanya dengan penutur yang tidak berpendidikan/berpendidikan rendah, sekalipun mereka menggunakan bahasa yang sama.
“Maka bahasa ini bukan sekedar lambang alat komunikasi, menurut pengetahuan saya, bahasa ini adalah cara memunculkan diri sendiri,” jelas Dr. dr. Taufiq Pasiak, M.Kes., M.Pd.I. dalam Webinar yang berjudul Otak dan Tanda Bahasa dalam Keadaban Berbangsa (FSK FSRD ITB).
ADVERTISEMENT
“Jadi dulu bahasa dan pikiran adalah dua hal yang berbeda, hari ini bahasa dan pikiran itu adalah hal yang sama. Pikiran itu bersifat internal ketika dikeluarkan dan keluarnya itu berbentuk bahasa’” sambungnya.
Seiring perkembangan zaman, kini dunia memasuki era Revolusi Industri 4.0. kemajuan teknologi memasuki era digital ini berdampak pula dengan komunikasi manusia yang menggunakan bahasa sebagai medianya. Media sosial pun turut meramaikan era teknologi ini.
Menilik bahasa yang kerap digunakan dalam media sosial, seperti facebook, twitter setidaknya telah membuka pemikiran kita tentang arti pentingnya moralitas bahasa. Maksudnya, bagaimana cara penggunaan bahasa itu tersampaikan, sikap berbahasa dan etika bahasanya.
Tidak sedikit bahasa yang digunakan dalam media sosial (sosmed) begitu memaksakan kata-katanya yang cenderung bermakna kasar. “Saling serang” menggunakan bahasa kerap terjadi dalam komunikasi jejaring sosial.
ADVERTISEMENT
“Kita sekarang berada di tradisi lisan digital dalam situasinya menurut saya sudah mendekati ke level bahaya. Nyaris tidak bisa dibedakan antara diskusi dengan gibah, antara ilmiah dan tahayul misalnya,” ucap Dr. Acep Iwan Saidi, S.s., M.Hum dalam webinar yang sama.
“Saya katakan bahwa kita sedang berada di level berbahaya, sebab memang sudah tidak bisa dibentuk bahkan pandemi yang sedang kita hadapi saat ini tidak mampu menghentikan situasi sekarang. Karantina, isolasi, itu tidak membuat situasi ini menjadi hening. Yang terjadi malah sebaliknya, situasi kita dalam keadaan tidak normal berbahasa,” sambungnya.
Gaya bahasa sarkasme pun sering terlontar menyambut lawan bicara di dunia maya ini. Hal ini kalau dibiarkan akan merusak keutuhan berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT
“Efek dari digitalisasi lisan ini menyebabkan bahasa hanya menjadi gema, menjadi gaung, menjadi pantulan dari berbagai arah sehingga segalanya menjadi tidak jelas. Ini bahasa menjadi kosong menurut saya,” ucap Dosen ITB itu.
Pengguna bahasa sering tidak memperdulikan kesantunan berbahasa. Padahal, bahasa Indonesia lahir sesuai dengan citra bangsa Indonesia yang sangat menjunjung etika budaya timur. Kesopansantunan dalam bahasa Indonesia sebagai warisan budaya.
“Di sisi lain tabuhan bahasa ini menyedot energi yang luar biasa. Seluruh hasrat kita tersalurkan disitu semuanya selesai dalam perbincangan, demonstrasi ideologis yang berjalan sekarang nyaris sudah tidak ada lagi," ujar Acep.
"Jika ada, hanya berlangsung beberapa saat saja, tidak ada heroisme yang dijalan, tidak ada jiwa yang revolusioner yang tersisa hanya distraksioner. Semua dikalahkan oleh bahasa yang nyaris tidak ada memilliki makna tersebut,” pungkasnya.***
ADVERTISEMENT