Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Arahan Kanda
21 Oktober 2021 12:01 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Teuku Muhammad Shandoya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Malam itu, suara handphone Udin mendapatkan pesan WhatsApp dari Kakanda dalam organisasinya, “Salam adinda, malam ini kita ngopi ya! Ada beberapa hal yang ingin kanda sampaikan”, “Siap, baik kanda,” jawab udin, lalu bergegas menuju cafe di mana tempat kandanya ngopi.
ADVERTISEMENT
Kanda: Jadi begini adinda, ini kan sudah momentum politik, kebetulan kanda punya adinda yang ingin maju bla..bla..blaa..
Udin: Tapi kanda, bukannya doi tidak mencukupi persyaratan
Kanda: Sudah ikuti saja, semua bisa diatur!
Udin: Baik kanda, kami ikut arahan kanda (sontak udin).
Mereka pun berbincang hangat hingga larut malam, kanda pun melempar seribu jurus dan argumen demi meyakinkan dindanya, dan terakhir tak lupa kanda merogoh kocek dan memberikan amplop kepada Udin yang hendak berpamitan.
Begitulah kira-kira penggalan kisah para kakanda yang melakoni dirinya sebagai superior di hadapan para dinda, tak jarang kanda yang suka atau lebih tepatnya dikatakan offside yang terkadang mengambil peran lebih daripada pengurus definitif, sementara kanda sangat senang bermain di panggung belakang, celakanya lagi apabila kanda yang gemar playing victim serta memengaruhi keputusan adindanya.
ADVERTISEMENT
Jika kita melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ternyata istilah kanda memiliki arti sebagai sapaan hormat dari seseorang yang status sosialnya lebih tinggi atau seseorang yang lebih dewasa dalam pengalaman dan keterampilan. Tak jarang sapaan hangat “Kakanda” mengarah kepada suatu kepentingan tertentu dalam berkomunikasi.
Terminologi kanda telah bergeser yang awal mulanya merupakan tempat untuk berdiskusi dan bertukar pikiran, malah bias kepada pengambilan keputusan. Sungguh integritas kanda diragukan dalam konteks ini karena hanya akan menjadi “mesias palsu” alias juru selamat palsu dalam kehidupan berorganisasi pada dinda, bahkan tidak menutup kemungkinan mengalami kecelakaan terjun ke jurang kemudharatan, yang mana para kanda tidak akan sama sekali merasakan efek negatifnya.
Para kanda yang tak ingin kehilangan sifat superior akan terus menunjukkan superioritasnya kepada adindanya, selanjutnya kanda juga sering menghomogenkan pandangan dan tentunya tak kenal rasa malu, hal ini akan direpetisi dan menjadi sebuah siklus aktivitas yang akan seperti begitu saja, pun sebaliknya adinda yang akan terus meneguk bualan kandanya akan menghasilkan sebuah ekosistem yang tidak sehat dalam organisasi.
ADVERTISEMENT
Relasi kuasa kanda dan dinda dalam konteks ini hanya akan menciptakan budaya konsumtif terhadap adindanya. Hal ini dibuktikan dengan peniruan terhadap pikiran, perbuatan, dan penampilan kanda yang akan membuat adindanya tidak akan menyediakan filter terhadap perkataan kanda. Budaya yang seperti ini akan menciptakan kanda yang cenderung menjadi “berhala modern” yang tak sepatutnya disembah.
Hilir yang telah mengakar terhadap budaya konsumerisme hanya dapat diatasi dengan jalur pendidikan, kader tak hanya dicipta menjadi intelektual, namun menjadi intelektual progresif. Segala penyakit yang terdapat dan menjadi psikopatologi antara relasi kuasa kanda dan dinda menyebabkan impotensi perkaderan, maka satu satunya cara adalah menanamkan akal sehat bagi dinda yang berproses dalam organisasi.
Predecessor dan Post power Syndrome
Dalam aktivitasnya, tak jarang kanda yang ingin memberikan kontribusinya tetapi tidak dalam koridor ideal, pasalnya beberapa kanda yang memiliki kepentingan tertentu akan menjadikan dirinya secara tidak langsung menjadi post power syndrome, hal ini dikarenakan kecenderungan kanda yang barangkali senang mencampuri urusan adindanya.
ADVERTISEMENT
Predecessor dan post power syndrome jelas berbeda, keduanya bahkan sering disalah pahami oleh kanda, seyogyanya kanda berperan menjadi predecessor, yang mana menjadi tempat berdiskusi dan meminta saran, bukan untuk menjadi bagian dalam pengambilan keputusan (decession making).
Lingkungan kebebasan telah meracuni organisasi dengan infiltrasi “perkandaan duniawi”, bahkan ini tak jarang kita temukan dalam lingkungan organisasi, oleh karena itu hal demikian tak layak menjadi budaya yang diilhami oleh setiap kader khususnya adinda.
Budaya intelektual kini ditindih oleh pelbagai kepentingan apa saja, termasuk politik yang memerosotkan, menghantarkan para kakanda kepada jalan pragmatis dan oportunis. Kekuatan dan hegemoni yang overdosis telah dikuasai kanda yang sifatnya superior. Tentunya akan banyak sekali pekerjaan-pekerjaan bahkan minat dan bakat adinda yang potensial namun tak bisa disalurkan.
ADVERTISEMENT
Bahkan tak jarang post power syndrome yang merasa jabatan adalah segalanya dan perlu dipertahankan mati-matian, celakanya lagi mereka mengorbankan regenerasi perkaderan, yang seharusnya kendaraan organisasi dapat ditumpangi bergantian dan berkelanjutan akhirnya stagnan di tangan kanda durjana yang tak tahu malu.
Kecenderungan pendiktean tentunya didapatkan, ada banyak sekali suntikan-suntikan yang menginfiltrasi keputusan dan kekuasaan. Akibatnya organisasi menjadi tidak mandiri berproses dalam menjalankan amanah organisasi. Dengan demikian pemutusan rantai “perkandaan duniawi” selayaknya diputuskan, maka tempatkanlah seseorang sesuai dengan proporsional dan seidealnya, tak perlu ada gerakan tambahan yang berpotensi merusak citra organisasi.
Lebih parahnya lagi seruan menegakkan aturan atau konstitusi kepada adindanya, sementara kanda sama sekali tak menjalankan perintah aturan itu sendiri, bahkan celakanya keburukan itu dilakukan secara berjemaah. Sungguh, degradasi moral telah merenggut jiwa-jiwa yang sebenarnya hanif.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya orientasi dalam berorganisasi menjadi bias, dan tak menemukan titik terang, titik balik adalah keniscayaan, semua kemungkinan dapat terjadi, perubahan ke arah ideal mesti diemban oleh segenap kader dalam hal ini kanda dan dinda itu sendiri, pendistribusian kekuasaan yang konservatif harus bertransformasi ke arah egalitarianisme untuk membentuk ekosistem organisasi yang sehat.
Penulis Merupakan Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh