Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Serambi Mekkah, Tan Malaka dan Konser
31 Juli 2024 8:44 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Teuku Muhammad Shandoya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Refleksi Ironis
ADVERTISEMENT
Di Serambi Mekkah atau yang kita kenal dengan Provinsi Aceh dimana, syari’at Islam diterapkan dengan ketat—atau setidaknya begitulah klaimnya. Syariat Islam sendiri telah berlangsung secara de jure dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Provinsi Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan syari’at Islam. Bahkan diluar itu secara de facto syari’at Islam telah lama berlaku semenjak berdirinya kerajaan Aceh Darussalam era Sultan Iskandar Muda, hal ini menandai telah mengkristalnya ruh-ruh syaria’t Islam dalam kehidupan masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Bayangkan sebuah negeri yang menerapkan hukum syariat, di mana setiap pelanggaran kecil terhadap norma agama langsung mendapat ganjaran. Tapi, lihatlah, angka pemerkosaan di sini begitu tinggi. Mungkin saja ada yang salah memahami ayat suci, atau mungkin pemahaman itu hanya berlaku untuk hal-hal tertentu. Kasus pemerkosaan yang merajalela di sini mungkin dianggap sebagai ujian kesabaran bagi korban, dan penyembuhan bagi pelaku yang harus bertobat—meskipun penjara sering kali menjadi tempat terakhir mereka.
Narkoba, si iblis putih yang seharusnya dijauhkan dari setiap individu beriman, justru menemukan rumahnya di sini. Razia demi razia menemukan barang haram itu di tempat yang sama setiap kali. Mungkin saja, narkoba ini hadir untuk menguji keimanan generasi muda. Hukuman berat untuk pengguna dan pengedar narkoba mungkin dirasa perlu untuk mengajarkan mereka bahwa ketergantungan pada zat itu adalah dosa, kecuali tentu saja, jika dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
ADVERTISEMENT
Lalu, mari kita berbicara tentang alam. Perusakan hutan berjalan seiring dengan doa-doa syukur atas rezeki alam yang melimpah. Para pelaku pembalakan liar mungkin menganggap bahwa pohon-pohon itu tumbuh kembali lebih cepat jika ditebang dengan doa. Hutan yang semakin tandus adalah bukti nyata dari iman yang begitu kuat hingga mampu mengalahkan keberlangsungan ekosistem.
Antara Kebatinan dan Kemajuan
Di negeri yang penuh dengan misteri dan mistis, segala sesuatu mungkin terjadi. Ini bukanlah kisah dalam novel Tan Malaka tentang logika mistika, tetapi realitas yang terjadi di tanah Serambi Mekkah, Aceh. Konser musik yang seharusnya menjadi hiburan rakyat, justru menjadi kambing hitam atas bencana alam yang melanda. Bagaimana bisa? Mari kita gali lebih dalam, dengan sedikit sentuhan satire ala Sang Revolusioner.
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini masyarakat di serambi Mekkah sering kali mengandalkan hal-hal supranatural untuk menjelaskan segala hal, mulai dari politik hingga cuaca. Tan Malaka, dalam berbagai tulisannya, mengajak kita untuk berpikir kritis dan rasional. Namun, nampaknya logika mistika punya cara tersendiri untuk bertahan.
Tan Malaka, tokoh revolusioner yang sering kali berbicara tentang logika dan mistika, pasti akan terperangah jika melihat bagaimana masyarakat Aceh menghubungkan konser dengan angin kencang. Dalam bukunya, ia berbicara tentang bagaimana logika harus dipadukan dengan mistika untuk memahami kenyataan. Namun, sepertinya kita telah melampaui batas mistika itu sendiri. Padahal bukannya kita telah memiliki smartphone untuk melihat prediksi cuaca oleh otoritas terkait.
Bayangkan, sekelompok musisi datang dengan niat tulus untuk menghibur, mengangkat semangat masyarakat yang mungkin sudah penat dengan rutinitas harian. Namun, tiba-tiba, badai datang. Angin kencang berhembus, merobohkan tenda, dan menyebabkan kerusakan. Apa yang terjadi? "Ah, ini pasti karena konser!" seru beberapa warga dengan yakin. Logika mistika bekerja di sini, di mana segala sesuatu yang tidak dapat dijelaskan secara langsung harus memiliki penyebab mistis.
ADVERTISEMENT
Tan Malaka pasti akan tertawa terbahak-bahak jika melihat bagaimana konser bisa disalahkan atas bencana alam. Dalam logika mistika versi Aceh, konser bukan sekadar hiburan, melainkan sebuah ritual yang bisa memanggil kekuatan alam. Mungkin, menurut beberapa orang, suara gitar listrik dan drum memiliki frekuensi tertentu yang bisa membangkitkan angin kencang. Atau mungkin, lirik lagu yang dinyanyikan memanggil roh-roh angin untuk ikut bergoyang. Atau bahkan kita lupa terhadap ulah tangan manusia yang menjadi penyebab gundulnya hutan.
Lebih jauh lagi, bayangkan jika kita menerapkan logika ini pada semua aspek kehidupan. Jika ada kemacetan di jalan, mungkin itu karena ada orang yang menyanyi terlalu keras di mobilnya. Jika panen gagal, mungkin karena ada festival musik di desa sebelah. Ah, betapa mistisnya hidup kita!
ADVERTISEMENT
Tan Malaka, jika melihat fenomena ini, mungkin akan menggelengkan kepala dan tersenyum sinis. Bagaimana bisa prediksi BMKG yang ilmiah terbantahkan oleh masyarakat. Oleh karenanya Tan Malaka berpendapat bahwa masyarakat harus membangun logika rasional dan kritis untuk mencapai kemajuan. Namun, nampaknya logika mistika punya pesonanya sendiri yang sulit dilepaskan. Namun, mari kita kembali pada kenyataan.
Tan Malaka mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam mistika tanpa logika. Bencana alam terjadi karena faktor alam, bukan karena konser atau hiburan. Kita harus mampu membedakan antara hiburan dan kejadian alamiah. Jika kita terus menerus mencari kambing hitam atas segala musibah, kita tidak akan pernah maju. Serambi Mekkah mungkin akan menjadi tempat suburnya syari’at dan semoga saja syari’at yang dilaksanakan tidak akan relevan dengan kemunduran.
ADVERTISEMENT