Konten dari Pengguna

Menulis Sebagai Etos Politis Menurut George Orwell

Muhammad Thaufan Arifuddin
Pengamat Media dan Politik. Penggiat Kajian Filsafat, Mistisisme Timur dan Cultural Studies. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
2 Juni 2024 11:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Thaufan Arifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menulis adalah sebuah seni dan aktivitas menjemput keabadian, laku pengabdian dan mewariskan peradaban untuk generasi selanjutnya. Itulah mengapa menulis bukan tanpa alasan berupa motif-motif filosofis. Selalu ada sebab di dalam setiap aktivitas dan karya yang telah lahir dan memberi pengaruh bagi siapa pun di dalam kehidupan.
Menulis harus dilakuka dengan etos politis menurut menurut George Orwell. Foto: www.pexell.com
zoom-in-whitePerbesar
Menulis harus dilakuka dengan etos politis menurut menurut George Orwell. Foto: www.pexell.com
Alasan menulis menurut George Orwell, sastrawan Inggris berpengaruh yang lahir pada tanggal 25 Juni 1903 dan meninggal pada 21 Januari 1950, paling tidak ada empat. Pertama adalah menunjukkan eksistensi diri. Dengan kata lain, menulis adalah cara seseorang menunjukkan egoismenya yang kreatif, arogan dan tanpa batas. Setiap tulisan yang lahir dari egoisme merepresentasikan ambisi besar dan kenestapaan diri penulis. Suatu antinomi yang paradoks dan dilematis seperti tercermin dalam karya-karya Friedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf eksistensialis post-modern Barat yang tangguh.
ADVERTISEMENT
Kedua, seseorang menulis karena motif pencariannya akan seni keindahan yang agung. Dengan kata lain, menulis adalah cara menerjemahkan estetika dalam diri penulis. Tulisan tidak lain adalah tafsir estetika seorang penulis. Seperti egoisme, estetika juga tanpa batas. Itulah mengapa setiap tulisan selalu membuat pembacanya takjub seiring besar, dalam dan tingginya estetika yang ditawarkan oleh penulis. Puisi-puisi Widji Thukul misalnya selalu membangunkan estetika perlawanan di dalam hati setiap pembaca dan pendengarnya.
Ketiga, setiap penulis memiliki motif agung untuk memanggul tugas kesejarahan. Dengan kata lain, penulis bukan hanya ingin menceritakan jalannya sejarah, tetapi juga menjadikan sejarah seperti serial cerita yang menarik, dapat dipahami dan mengubah generasi selanjutnya. Di titik inilah relevansi perkataan Pramudya Ananta Toer bahwa menulis demi keabadian. Menulis demi sejarah bumi manusia. Jika anda membaca Tetralogi Buru Karya Pram akan jelas nalar dan mindset kolonial yang menjangkiti elit bangsa ini seperti virus yang melumpuhkan peradaban negeri ini.
ADVERTISEMENT
Keempat, menulis dilakukan oleh seseorang demi tujuan politik, demi sebuah perubahan besar baik di level individu maupun level masyarakat. Menulis demi mengubah jalannya sejarah yang lebih hanif. Menulis demi kebenaran yang hakiki, menjaga kemanusiaan dan alam semesta ini.
Jika anda membaca karya Karl Marx, Manifesto Komunis, karya Tan Malaka, Madilog, karya Murtadha Mutahhari, Manusia dan Alam Semesta, Karya Bung Karno, Di Bawah Bendera Revolusi, maka anda mendapatkan karya-karya yang menggelorakan jiwa dan semangat perubahan sosial demi tugas kemanusiaan.
Tentu saja, George Orwell mengatakan bahwa setiap tulisan memiliki motif yang kontekstual dan harus melewati perjuangan yang berat dan melelahkan, apa pun alasan dan motifnya. Bahkan, kata George Orwell, menulis ibarat melawan penyakit kronis yang membutuhkan penderitaan dan optimisme tanpa henti.
Menulis kini bisa dilakukan di mana saja dan dengan media yang lebih kreatif di era digital hari ini. Foto: www.pexell.com
Namun, George Orwell tidak bisa membayangkan setiap tulisannya lahir tanpa motif politik yang kuat. Baginya, setiap tulisan yang lahir dari motif politik yang kuat akan menjadi monumen sejarah yang agung dan abadi. Sebaliknya, setiap tulisan yang tak didorong oleh kepentingan politik adalah tulisan yang naif, kering, tanpa makna dan tentu saja tak bisa menggerakkan apa pun dan siapa pun.
ADVERTISEMENT
Alhasil, menulis bukanlah pekerjaan mudah. Menulis adalah seni dan aktivitas menggerakan dan mengubah sejarah yang harus dimulai dengan menuliskan satu huruf dan kata untuk menjadi kalimat yang kemudian menjelma menjadi paragraf yang membentuk suatu wacana yang utuh dan politis.
Menulis hanya kenaifan dan sekedar kumpulan huruf, kata, kalimat, dan paragraf yang kering jika dilakukan tanpa motif politik yang kuat untuk menemukan kontradiksi dan demi melawan elemen refresif dalam realitas sosial yang konkret dan dialektis.
Mari menulis dengan motif politik yang membangunkan setiap orang menuju gerakan kolektivisme demi menjemput keadilan sosial di bumi manusia.