Konten dari Pengguna

Revolusi Mahasiswa dan Masyarakat Sipil Di Era Instagram

Muhammad Thaufan Arifuddin
Pengamat Media dan Politik. Penggiat Kajian Filsafat, Mistisisme Timur dan Cultural Studies. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas
27 Agustus 2024 10:26 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Thaufan Arifuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seminggu ini kita dibuat kaget dengan pergerakan mahasiswa bersama elemen masyarakat sipil di seantero penjuru negeri. Kemarin, generasi tua menertawai mereka sebagai generasi Tiktok yang lugu dan terlihat tak serius ketika turun ke jalan karena lebih banyak berfoto dan selfi saat demonstrasi. Tapi, persepsi ini didekonstruksi oleh gerakan mereka secara massif membela demokrasi dari pembajakan elit dalam empat-lima hari ini.
ADVERTISEMENT
Dua mahasiswa menggugat DPR dan Jokowi dalam aksi penyelamatan demokrasi di Kota Padang. Foto: Syifa Azzahra.
zoom-in-whitePerbesar
Dua mahasiswa menggugat DPR dan Jokowi dalam aksi penyelamatan demokrasi di Kota Padang. Foto: Syifa Azzahra.
Mereka membuktikan bahwa saat mereka aksi, mereka punya tujuan yang jelas untuk membela rakyat dan demokrasi. Tapi, mereka juga tidak melupakan aspek penting dari gerakan di era digital hari ini yaitu pentingnya dokumentasi yang dapat memperkuat kolektivisme di seluruh penjuru negeri. Saat aksi, siapapun dapat menyaksikan aksi massa secara live di platform media digital organisasi mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil via Intagram Live. No Live No Action.
Mereka secara aktif dan radikal turun ke jalan di hampir semua provinsi di Indonesia dan sukses mempressure elit politik. Mereka memenuhi gedung DPR RI dan Kantor DPRD di setiap provinsi. Mereka meminta pembatalan revisi UU Pilkada dan ketaaatan penuh pada putusan MK 60 dan 70 terkait ambang batas dan usia calon dalam suksesi demokrasi elektoral Pilkada. Bahkan, aksi massanya serupa badai yang tak reda jua.
Badai aksi massa di depan kantor DPRD Sumbar yang membawa spanduk bertuliskan "Darurat Demokrasi." Foto: Giska Amelia Putri.
Di Kota Padang sendiri, semua mahasiswa dari berbagai kampus bersama elemen masyarakat sipil dari organisasi masyarakat sipil, media, pedagang dan petani hingga akademisi berkumpul, berteriak garang, mendobrak kemapanan gerbang kantor DPRD. Mereka merangsek ke dalam untuk memeriksa seluruh ruangan anggota DPRD yang tak satupun menunjukkan wajahnya. Diduga anggota DPRD sedang bersembunyi di luar Kota atau sedang plesiran ke luar negeri.
ADVERTISEMENT
Orasi mahasiswa di depan gedung DPRD Sumbar diiringi kepalan tangan perlawanan dan di depan spanduk bertuliskan "Gedung Ini Disegel" dan "#Stop Berkilah." Foto: Keysha Annabel.
Pada aksi hari Senin (26/08/2024), mahasiswa dan semua elemen masyarakat sipil sukses memaksa Ketua DPRD Sumbar, Supardi dari Partai Gerindra, untuk tampil di depan massa aksi dan menyatakan bahwa DPRD Sumbar ikut dan patuh pada putusan MK. Tapi sayang, Ketua DPRD tak sanggup memenuhi permintaan massa aksi untuk menghadirkan semua anggota DPRD Sumbar untuk mendukung perjuangan mahasiswa dan semua elemen masyarakat sipil. Mereka seharusnya mewakili perjuangan rakyat, bukan mengabdi kepada rezim Jokowi yang terbukti mengangkangi hukum dan merusak demokrasi. Maka wajar, mahasiswa dan elemen masyarakat sipil mencabut mandat mereka yang hanya mengatasnamakan rakyat saja tanpa keinginan membela rakyat dan memperbaiki kerusakan demokrasi.
Semua kampus di Sumatera Barat bersatu bersama semua elemen masyarakat sipil mengabarkan peringatan darurat akan rusaknya demokrasi oleh pembajakan elit hari ini. Foto: Refal Azurri.
Mahasiswa dan semua elemen masyarakat sipil masih mengawal putusan MK ini di KPU dan mendesak KPU untuk taat dan patuh pada putusan MK serta mengeluarkan PKPU terbaru terkait Pilkada yang mengacu pada putusan MK terakhir nomor 60 dan 70. Namun, ini sejatinya bukan hanya soal pembajakan koalisi elit jahat di partai politik, DPR dan pemerintahan Jokowi yang mendelegitimasi putusan MK No 60 dan 70, tetapi juga watak koruptif elit di bawah rezim Jokowi selama 10 tahun yang merusak fundamen konstitusi dan esensi demokrasi di negeri ini.
Gedung DPRD Sumbar disegel oleh massa aksi. Foto: Muhammad Duta.
Rezim Jokowi bersama koalisi elit jahatnya berpura-pura bodoh akan rusaknya tatanan ekonomi politik di negeri ini. Ketimpangan ekonomi yang semakin menganga, elit politik yang bermain tambang dan merusak lingkungan, hancurnya sistem meritokrasi di negeri ini demi kroni dan keluarga, pelemahan terhadap KPK, peminggiran komunitas adat, pembungkaman kebebasan berbicara, biaya pendidikan tinggi yang semakin membumbung tinggi, tingkat pendapatan kelas menengah yang sangat rendah dan tidak merata, utang luar negeri yang menggunung, hilirisasi (bukan industrialisasi) yang hanya memperkaya elit dan Republik Tiongkok dan segudang persoalan artifisial politis lainnya menjadi akumulasi kemarahan mahasiswa dan semua elemen masyarakat sipil di negeri ini.
Hancurnya peradaban hukum dan meritokrasi karena nepotisme rezim Jokowi. Foto: Rahmat Aulia
Alhasil, kita tidak perlu mempercayai lagi elit politik jahat di negeri ini. Negeri ini harus dikembalikan kepada para anak muda yang mewarisi spirit dan visi perjuangan para founding fathers kita. Mereka rela miskin, lapar dan dipenjara demi Indonesia yang mereka cintai. Hidup mahasiswa, hidup rakyat Indonesia, hidup perempuan yang melawan.
ADVERTISEMENT