Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Jalan-jalan ke Jogja? Yuk mengenal Masjid Gedhe Kauman!
19 November 2023 12:20 WIB
Tulisan dari A Noviansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika anda traveling ke Jogjakarta dan mengunjungi alun-alun atau kompleks keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat jangan hilangkan kesempatan berkunjung ke Masjid Gedhe Kauman ya…
Masjid Gedhe Kauman atau Kagungan Dalem Keraton Jogjakarta adalah salah satu bangunan cagar budaya bagian dari perjalanan sejarah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Masjid ini selesai dibangun pada 29 Mei tahun 1773 atas perintah Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) I yang dibantu oleh Kiayi Penghulu Fakih Ibrahim Dipodiningrat dan Kiyai Wiryokusumo yang merupakan arsitek berpendidikan di Belanda.
ADVERTISEMENT
Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat yang didirikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I memang banyak mengadopsi nilai-nilai keislaman. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan gelar Sultan kepada raja, serta terdapatnya unsur masjid dalam kompleks istana atau keraton.
Mengutip sebuah tulisan yang berjudul Arsitektur dan Peran Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta dalam Lintasan Sejarah tulisan Umi Masfiah, diceritakan bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono I yang bernama asli Bendara Raden Mas (BRM) Sujono adalah seorang muslim yang taat. Informasi dari situs kratonjogja.id menyebutkan bahwa dalam dokumen Serat Cebolek diceritakan bahwasanya Sri Sultan HB I memiliki kebiasaan berpuasa Senin-Kamis, sholat lima waktu dan mengaji Alquran. Ketika BRM Sujono menjadi raja/ sultan, banyak bangunan masjid yang didirikan, antara lain Masjid Agung atau Masjid Gedhe, Masjid Pathok Negara, dan masjid-masjid yang berstatus Kagungan Dalem lainnya.
ADVERTISEMENT
Masjid Gedhe Kauman merupakan simbol harmonisasi perpaduan antara budaya Jawa serta unsur agama Islam. Sejak awal berdiri, masjid ini digunakan sebagai pusat beribadah bagi keluarga keraton dan warga masyarakat, tempat berlindung dan berkumpulnya para pejuang pada masa penjajahan Hindia Belanda, serta tempat kegiatan kajian dan pengembangan kebudayaan.
Pembangunan masjid Gedhe Kauman juga tidak terlepas dari pembentukan dan pemberdayaan masyarakat di kampung sekitar masjid yang lebih dikenal dengan Pakauman atau kampung Kauman. Para santri yang berada di Pakauman tersebut berasal dari keluarga abdi dalem yang diberi tugas untuk memakmurkan masjid. Mereka adalah para abdi dalem tersebut terbagi menjadi Ketib, Moadin, Berjamangah dan Merbot. Para abdi dalem ini dibimbingan oleh Penghulu masjid.
ADVERTISEMENT
Arsitektur masjid Gedhe Kauman memiliki ciri khas perpaduan Islam dan Jawa yang masih memiliki pengaruh Hindu. Terdapat 36 tiang kayu besar sebagai penyangga atap yang berupa gelondongan kayu Jati Jawa utuh tanpa sambungan. Dari 36 buah penyangga tersebut, terdapat 4 buah penyangga utama dengan diameter 40 cm dan memiliki ketinggian 16 meter.
Ciri khas dari masjid ini terlihat dari atapnya yang tidak menggunakan kubah melainkan atap tumpeng tiga. Atap tumpeng tiga yang diberi nama Atap Tajuk Teplok ini memiliki filosofi tingkatan kehidupan manusia dari hakikat, syariat dan makrifat. Pada bagian ujung atap diberikan mustaka yang berbentuk Gadha dan daun Kluwih. Gadha bermakna ke-Esa-an Allah SWT sedangkan daun Kluwih bermakna keistimewaan bagi manusia yang telah menuju kesempurnaan hidup.
Ciri khas lainnya di bagian interior yaitu terdapat mimbar besar yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran berwarna emas yang sangat cantik serta sebuah ruangan kecil (maksurah) di sisi kiri shaf terdepan yang merupakan tempat khusus bagi Sultan untuk melaksanakan sholat. Sementara itu untuk mihrab (tempat imam memimpin sholat) memiliki ukuran sekitar 2 x 3,5 meter dan dihiasi dengan kaligrafi Surat Ali-Imran ayat 39.
Akibat ruang utama masjid pada saat itu sudah tidak dapat menampung jumlah Jemaah yang semakin banyak, maka pada tahun 1775 dibangunlah serambi masjid yang juga dapat digunakan untuk shalat, pertemuan, kajian, dan perayaan hari-hari besar Islam. Masjid Kauman tercatat pernah mengalami beberapa kali renovasi, antara lain pada tahun 1862 (pemugaran), tahun 1868 (renovasi pasca gempa), tahun 1933 (penggantian lantai serambi dan atap masjid) serta pada tahun 1936 (pemasangan marmer Italia pada lantai masjid).
Salah satu kisah yang menarik tentang masjid ini adalah mengenai arah kiblat yang tidak akurat (tidak mengarah Ka’bah). Salah satu Ketib saat itu yakni KH. Ahmad Dahlan yang baru kembali dari pendidikan di Mekah Al Mukaromah dan membawa ilmu pengetahuan agama Islam, meyakini bahwa arah Kiblat Masjid Gedhe kurang tepat dan harus diperbaiki (disesuaikan sehingga membentuk garis lurus dengan Ka'bah di Mekah). Hal ini tentunya mendapat pertentangan keras dari para kiyai senior saat itu yang sangat konservatif. Namun akhirnya setelah didaulah menjadi ulama keraton KH. Ahmad Dahlan berhasil mengubah arah Kiblat yang memiliki perbedaan sekitar 23 derajat. Konon penyesuaian arah kiblat oleh KH. Ahmad Dahlan ini menjadi acuan bagi penentuan arah kiblat umat muslim di Indonesia lho…
Jadi, jika anda penasaran untuk mengetahui lebih jauh tentang sejarah atau arsitektur masjid Gedhe Kauman Kesultanan Jogjakarta, jangan lupa berkunjung ke masjid ini ya…
ADVERTISEMENT