Konten dari Pengguna

POV Pemula Ikut Trekking sama Kumpala ke Kawah Ratu, Dibikin Merana oleh Hujan

Potan
Lulusan HI, kerja di Kolaborasi kumparan.
1 Oktober 2022 20:23 WIB
clock
Diperbarui 22 Desember 2022 15:30 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Potan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Rombongan Kumpala pada trekking ke Kawah Ratu, Gunung Salak. Foto: Blessy
zoom-in-whitePerbesar
Rombongan Kumpala pada trekking ke Kawah Ratu, Gunung Salak. Foto: Blessy
ADVERTISEMENT
Baru sekitar sejam-an berjalan, jalur trekking yang katanya ramah buat pemula itu berubah menjadi jalur yang saya pertanyakan tingkat kesulitannya setelah diguyur hujan.
ADVERTISEMENT
Jalur trekking ke Kawah Ratu itu dialiri dengan air cokelat yang bikin setiap pijakan jatuh terpeleset atau terjebak di lumpur, jika bukan menapak dengan baik.
Gila, berat sekali rasanya perjalanan ke kawah yang menurut salah satu anggota Kumpala (Pecinta alamnya kumparan) punya bau seperti "kentut" itu.

Nostalgia Naik Tronton

Foto bersama sebelum berangkat naik tronton di kantor kumparan di Jati Padang. Foto: Dok. Istimewa
Bangun pagi ternyata bukan juga sesuatu yang mudah bagi kita-kita yang bekerja di media. Di grup WA (WhatsApp), kita semua diminta sudah berada di kantor pada pukul 05.00 pagi. Namun, pada kenyataannya, termasuk saya, baru bisa sampai di tikum (titik kumpul) setengah jam lebih lama dari waktu yang direncanakan. Bahkan, Fahmi menjadi peserta terakhir yang sampai di tikum, sebelum akhirnya tronton (Tronton polisi) meninggalkan Jati Padang dan satu orang yang tidak ada kabarnya pada pukul 6 pagi lewat sedikit, Sabtu 10 September 2022.
ADVERTISEMENT
Ada yang asyik ngobrol hingga sibuk ambil video untuk kepentingan media sosial, menggambarkan suasana penuh energi di dalam tronton. Meskipun, tak dapat dipungkiri, di tengah semua semangat pagi itu, tetap ada yang berusaha melunasi tidurnya meski tidak bisa nyender dan ditemani lantunan suara mesin yang juga bergetar hebat.
Tak banyak memang yang bisa dilakukan selama perjalan, namun hal yang menjadi highlight dari ngobrol dan menyimak obrolan, bagi saya dan lainnya yang duduk di dekat mesin, adalah pengalaman ramai-ramai naik tronton bikin kita sedikit bernostalgia.
“Terakhir gue naik tronton juga sama-sama waktu zaman kuliah, Thom. Tapi itu kan udah berapa tahun lalu lamanya,” kelakar Bang Aldo merespons jawaban saya, yang memang baru dua tahunan lulus dari bangku kuliah, soal kapan terakhir naik tronton.
Penampakan tronton di Sabtu (10/9) pagi, untuk posisi duduk yang paling dekat mesin. Foto: Denia Okta.
Singkat cerita, setelah satu kali berhenti untuk sarapan dan toilet-break di kawasan IPB (Institut Pertanian Bogor) hingga tronton kami yang ngikut nebeng konvoi tronton (tampaknya punya militer) ber-tet-tot-tet-tot-tet agar bisa menerobos jalanan yang tetap macet meski di hari Sabtu, akhirnya sampai juga di titik awal trekking ke Kawah Ratu, Gunung Salak.
ADVERTISEMENT

Via Jalur Pasir Reungit

Air sungainya jernih dan bisa diminum langsung. Foto: Blessy
Rombongan akhirnya sampai di lokasi awal trekking dan memulai perjalanan di sekitar jam 10 kurang. Cukup ngaret jika mengingat rencana awalnya itu memulai trekking melalui pada pukul 7 pagi. Saat tiba, rombongan kami sudah ditunggu 2 orang yang akan memandu perjalanan melalui jalur Pasir Reungit.
Sebelum jalan, rombongan sempat mendapat briefing dari petugas dan ranger di sana mengenai perjalanan yang akan dilalui. Disebutkan jarak tempuh jalur yang akan dilalui adalah sepanjang 3 kilometer-an dengan estimasi waktu tempuh 2-3 jam, artinya jika ditotalkan pergi-pulangnya 6 kilometer dan memakan waktu 4-6 jam.
“Lumayan juga waktunya,” kata saya di dalam hati. Ranger kemudian mengungkapkan memastikan apakah semua sudah membawa jas hujan untuk di perjalanan karena jika sudah siang di sana pasti turun hujan. Briefing pun ditutup dengan doa bersama yang disusul teriakan jargon tim yang dibuat ‘asal jadi’ di tempat.
ADVERTISEMENT
“Semoga tidak hujan,” harap saya dalam hati saat memulai perjalanan.
Penampakan kontur Jalur Pasir Reungit. Foto: Blessy
Sekitar 30 menitan berlalu sejak terakhir bangunan buatan manusia terlihat, ditemani hijau dan lebatnya belantara sekitar, kedua kaki yang dibalut dengan sandal gunung baru masih dengan semangat-semangatnya melangkah. Meski tak dapat dipungkiri, pergelangan kaki sudah sedikit mengeluh karena sangat sibuk mengatur pijakan kaki di jalur yang berbatu.
Selain pergelangan kaki, ternyata badan juga mulai mengeluh. Tetapi bukan karena lelah atau pegal, melainkan karena keputusan untuk tidak memakai pakaian yang berbahan dri-fit alias bahan jersi bola alias yang menyerap keringat. Sebab, meskipun hawanya sejuk, saya yang gampang berkeringat ini jadi terlihat seperti orang yang habis melakukan jumping jack selama 5 menit tanpa henti, basah semua. Jadi, jika Anda seperti saya pakai pakaian berbahan dri-fit akan sangat membantu menjaga kenyamanan saat trekking.
Saya, yang pegang tongkat dan beralaskan sendal gunug, membuat keputusan buruk karena tak pakai baju berbahan dri-fit. Foto: Blessy.
Kendati demikian, salah kostum yang saya alami mungkin tidak seberapa dengan yang dialami Arika. Saya dan rombongan (Bang Aldo, Bang Tama, Fanny, Bang Feby, dan satu pemandu) yang berada di barisan belakang mendapati Arika, ditemani temannya, Qynthara dan satu pemandu lain, yang tadinya sudah tak terlihat karena begitu cepatnya barisan depan, sibuk berusaha mengakali salah satu sol sepatunya yang sudah menyerah alias mangap.
ADVERTISEMENT
Malangnya, tak lama dari itu, sol yang sebelahnya juga ikutan menyerah. Padahal yang dipakainya memang sepatu gunung, tapi tampaknya level kontur jalur Pasir Reungit masih terlalu tinggi bagi pijakan seorang pemula. Namun apa boleh buat, dia pun tetap melanjutkan trekkingnya sampai selesai.
Sepatu Arika yang akhirnya diikat karena solnya yang mangap. Foto: Dok.Istimewa.
Terlalu sibuk memermak sepatu Arika, suasana berubah jadi gelap seperti saat menjelang azan magrib. Padahal kami baru habiskan waktu sekitar sejam sejak jalan jam 10 pagi tadi. Diawali dengan gerimis yang masih kita remehkan untuk beberapa saat, tiba-tiba berubah jadi hujan deras dan memaksa kita yang enggan siap-sedia jadi buru-buru memakai jas hujan. Maka, demikian genaplah sabda si ranger ketika briefing tadi.

Hujan-hujanan

Bang Aldo dengan gaya tipikal petualang pada sebuah batang pohon yang tumbang. Foto: Iqbal
Ketika hujan deras turun, dapat saya akui telah membuat perjalanan trekking ke kawah jadi lebih menarik. Sebab kalau saya ingat-ingat, jika tak hujan selama di perjalanan, alam hanya menyuguhkan belantara hijau yang itu-itu saja. Pemandangan baru benar-benar berubah ketika sudah dekat dengan lokasi kawah.
ADVERTISEMENT
Walaupun sebenarnya ada sejumlah sungai-sungai yang dilewati, mulai dari yang harus dilewati dengan menapakinya dasarnya langsung hingga dengan yang menyeberanginya melalui batang pohon yang dijadikan jembatan. Tetapi tetap saja pemandangannya hanya belantara dengan jalur berbatu yang menyiksa pergelangan kaki. Tidak ada faktor luar yang memberikan rasa takjub atau perasaan lainnya yang bisa membuat kita lupa akan lelahnya berjalan.
Bang Iqbal bergaya, sementara Fanny (Kuning) sedang ditangani Icha (Hijau) karena jarinya yang kram. Foto: Edmiraldo
Akibat hujan yang sangat deras turun, semua jadi lupa akan monotonnya hutan belantara. Setidaknya bagi saya, kehijauan yang begitu-gitu saja itu tertutup karena suntikan adrenalin yang didapat dari setiap langkah kaki yang diambil. Pergelangan kaki yang tadinya panas karena kontur jalur yang menyiksa, jadi sedikit adem karena beberapa kali harus terendam karena jalur yang kebanjiran.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Selain itu, hujan deras juga buat hawa jadi lebih sejuk. Bahkan sampai pada titik ketika napas kelelahan dihembuskan, sedikit gumpalan asap pun terbentuk. Cukup menyenangkan bagi saya karena Depok atau pun Jakarta sangat tak mungkin berikan pengalaman itu. Kabut pun juga muncul meski itu jam setengah 12 siang. Kami lontarkan kata-kata mendukung ke rekan serombongan, juga ke mereka yang kami jumpai dari arah yang merupakan tujuan kami sambil saling bertukar senyum.
Suasana nyemil di bawah bivak. Foto: Dok. Istimewa.
Setidaknya ada sebanyak dua kali bivak didirikan sebagai tempat beristirahat bebas basah bagi rombongan yang lebih dari setengahnya adalah pemula ini. Di bawah bivak rombongan perempuan berteduh, menyantap, dan saling berbagi makanan. Camilan favorit pun jatuh ke tempe goreng yang dibawa Bang Iqbal.
ADVERTISEMENT
Beda dari yang perempuan, para lelaki minggir dan berteduh dengan jas hujannya masing-masing agar dapat menikmati asap rokok tanpa membuat yang tak merokok ribut. Hebat memang mereka yang merokok itu, entah karena faktor pengalaman atau bukan, sebab tak ada bara yang terlalu redup dan asap yang tak mengebul meski di tengah hujan yang deras. Kendati demikian, saat hujan reda, diketahui sejumlah batang justru dibuat kuyup dan jadi tak layak isap.

Kawah Ratu, Seperti Medan Peperangan

Suasana Kawah Ratu dari lensa kamera film 35mm. Foto: Thomas.
Hujan reda, dan di saat yang bersamaan pemandangan pun berubah. Rombongan berdiri di ujung belantara seraya (pinjam perumpamaan salah satu peserta trekking) bau ‘kentut’ aka belerang yang sesekali tercium menjadi pertanda kalau kawah sudah dekat. Meskipun begitu kami masih perlu mendaki lagi, cukup curam, sebelum akhirnya sampai.
ADVERTISEMENT
Pemandangannya seperti medan perang, khususnya seperti pemandangan medan perang di perang dunia pertama. Hamparan pepohonan yang mati berlatarkan kepulan asap-asap yang tebal mengingatkan foto terkutuk dari no-man’s-land yang dihujani bom dan gas klorin yang dipakai untuk membunuh siapa pun yang berada di dalam parit. Beruntung yang ini adalah Kawah Ratu, bukan padang rumput Flanders pada periode 1914-1918.
Di ujung belantara dekat Kawah Ratu. Foto: Blessy.
Meski terkesan mencekam, pada kenyataannya pemandangan Kawah Ratu jauh dari kata mencekam dan cukup menakjubkan. Foto demi foto hingga video diambil. Berbagai pose dilakukan, mulai dari berdiri di dekat kawah yang bergelembung mendidih sampai menggunakan papan bertuliskan “Kawah Ratu, Status: Aktif Normal.”
Blessy (Kiri belakang), Saya (Kanan belakang), Denia (Kiri depan), Fanny (Tengah), dan (Qynthara). Foto: Iqbal.
Saya pun punya misi tersendiri. Sejak hujan tadi saya tak bisa menunaikan misi saya untuk mengambil foto-foto dengan kamera analog saya. Saat kesempatan itu muncul saya coba ambil gambar-gambar dari sesuatu yang menarik di sana, jika bukan mengambil foto pemandangan. Ada tumpukan batu yang disusun, sesajen yang diletakkan bagi penunggu kawah, hingga rombongan keluarga orang Jepang yang cukup inspiratif.
Foto anak kecil orang Jepang yang mandi belerang. Foto: Thomas.
Sibuk dengan mengambil dokumentasi, sampai-sampai saya dan beberapa lainnya cuma punya waktu tak sampai 20 menit untuk santap siang. Meski saat kita sampai itu sekitar jam 2 siang kurang. Adapun sekitar jam setengah 3-an kita terpaksa memulai perjalan turun agar rombongan terhindar dari berjalan di tengah kegelapan.
ADVERTISEMENT
Percayalah, jalan pulangnya menyebalkan.

Anak Kecil Jepang

Bang Iqbal membantu salah satu anak orang Jepang turun. "Terima kasih," katanya usai dibantu. Foto: Thomas.
Bagi saya, melewati jalan yang sama dua kali itu menyebalkan. Selain tak ada kebaruan, aktivitas melewati jalan yang sama itu biasa sudah memakai tenaga-tenaga basian, maunya langsung sampai saja. Namun menariknya untuk perjalan turun, saya justru malah merasa banyak melihat hal yang baru. Yakni jalur yang berubah jadi lebih menyebalkan karena didominasi lumpur.
Walau sebenarnya saat hujan jalurnya juga berlumpur. Tetapi bedanya yang ini tak ada aliran air deras dari hujan yang bisa langsung bersihkan lumpurnya. Jalur ini sendiri ternyata disebut juga sebagai jalur ‘basah’ karena jika hujan jalur itu dapat dikatakan berubah jadi ‘sungai’.
Jadi, tadinya saya pikir pilihan memakai sandal gunung lebih nyaman karena kaki tidak berubah jadi akuarium karena kemasukan air kalau pakai sepatu. Ternyata sendal gunung justru lebih buruk karena lumpur-lumpurnya yang langsung kotori kaki. Sementara yang pakai sepatu, kakinya hanya jadi keriput saja jika sepatunya rembes.
ADVERTISEMENT
Kontur yang sama, tapi ditambah lumpur yang buat belok adalah kombinasi yang cocok untuk buat orang-orang terpeleset. Hasilnya, bukan hanya kaki, celana pun juga kotor. Penampilan pun jadi lebih kotor dibandingkan saat menuju ke kawah, padahal di jalur yang sama. Intinya jalan pulang jadi lebih berat dan banyak mengeluhnya.
Jalur berlumpur nan menyebalkan. Foto: Blessy.
Ingat rombongan keluarga orang Jepang yang sebelumnya saya sebut? Rombongan itu mendahului kami pada perjalanan ke bawah. Rombongan yang berjumlah 6 orang itu, terdapat 3 anak kecil yang kayaknya masih berada di bangku sekolah dasar. Mereka membalap rombongan kami yang umur paling mudanya dapat dipastikan tak ada yang masih belasan tahun. Saat memulai turun, kami memang jalan di depan mereka. Namun kayaknya jadi dibalap karena kita terlalu banyak berhenti untuk istirahat.
ADVERTISEMENT
Tak masalah sebenarnya jika mereka membalap kami, bukan kompetisi juga kan. Namun, rasanya menarik saja melihat mereka menyikapi jalur yang juga kami lewati itu. “Apakah ternyata mereka sudah lebih berpengalaman? Saya ragu, tapi jika iya, pada umur berapa ya trekking pertama mereka,” tanya saya di dalam hati.
Banjir sisa-sisa hujan sebelumnya masih menggenangi jalur saat perjalanan turun. Foto: Blessy
Sekitar pukul setengah 6 sore lewat sedikit rombongan kami melewati gapura tempat membeli tiket trekking, setidaknya itu bagi saya yang berada di rombongan paling belakang. Matahari sudah hilang saat kami sampai. Saat rombongan kami sampai dan hendak bersih-bersih, rombongan keluarga orang Jepang tadi justru terlihat sudah membayar makan malam yang mereka beli dari warung yang nantinya digeruduk pesanan Indomie dari kami.
Apakah itu yang dimaksud dari perwujudan efisiensi orang Jepang? Hahaha.
ADVERTISEMENT
Total waktu yang dihabiskan rombongan Kumpala pada trekking ke Kawah Putri adalah sekitar 7 setengah jam. Itu pun menurut catatan yang dicatat aplikasi bawaan smartphone saya. Mungkin akan berbeda-beda dengan yang lain, setidaknya begitulah gambarannya durasi yang kami lewati.
Tangkapan layar terkait catatn jarak dan durasi perjalanan di Kawah Ratu dari smartphone Thomas.
Oh iya ingat sepatu Arika itu, belakangan saya ketahui dari sejak di kawah solnya sudah tidak ada. Dan begitu sampai di bawah, sepatu itu dibuang. “Trauma,” kata Arika saat ditanya soal kesannya dari trekking yang merupakan pengalaman pertamanya itu.
Setelah semua bersih dan kenyang, kami pun pulang dengan si tronton lagi. Berat sekali rasanya trekking ke Kawah Ratu itu.