Konten dari Pengguna

Melewati Jurang dan Belantara Media Sosial

TIAN ROSTIAWATI
Mahasiswi, Universitas Pamulang
4 April 2023 19:59 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari TIAN ROSTIAWATI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://unsplash.com/photos/FPt10LXK0cg
zoom-in-whitePerbesar
https://unsplash.com/photos/FPt10LXK0cg
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan yang lalu saya memutuskan untuk uninstall beberapa aplikasi media sosial seperti Facebook, dan Aplikasi TikTok di ponsel saya. Saya sangat menyadari bahwa beberapa waktu mereka telah menghabiskan bahkan menyita hampir lebih dari lima sampai enam jam sehari bahkan bisa lebih dalam satu hari.
ADVERTISEMENT
Saya akui belum bisa melepas salah satu media sosial yakni Instagram. Sungguh, saya sebelumnya lebih banyak menghabiskan waktu di dua media sosial yakni Instagram dan TikTok.
Andai waktu tersebut saya pergunakan untuk menuntaskan utang-utang bacaan dari buku-buku yang menumpuk di sudut kamar atau sedikit menulis suatu gagasan dari buku tersebut, bahkan untuk sekadar dapat berolahraga pada hari libur kerja, mungkin sedikit membantu untuk dapat menikmati hidup yang lebih banyak digunakan di ruang kerja.
Belantara media sosial yang sangat luas, berbagai macam fenomena yang terus tumbuh dan juga hidup. Dari saya bangun hingga memejamkan mata untuk tidur malam, saya selalu berada di sana, ikut tumbuh, ikut hidup dalam belantara.
Terkadang tersesat hingga berjam-jam, menimbulkan overthingking, dan perasaan-perasaan yang sangat mengganggu pikiran, sampai terjatuh pada jurang kecanduan. Mungkin yang mengalami hal ini bukan cuma saya seorang.
ADVERTISEMENT

Nyata dan Tidak Nyata

Ilustrasi bermain sosial media. Foto: photobyphotoboy/Shutterstock
Akhir-akhir ini, yang saya rasakan adalah justru saya telah menciptakan sesuatu yang tidak nyata, misalnya “jarak”. Saya begitu jauh dari orang-orang yang selalu saya anggap dekat.
Contoh sederhana ketika sedang duduk bersama dengan keluarga, teman-teman di kampus, alih-alih membuka obrolan, tapi malah menunduk menatap ponsel dan sibuk menekan-nekan menu layar dan tak jarang asyik berbincang dengan kolom komentar, konten video, musik, bahkan dengan teman dunia maya.
Faktanya di Sulawesi terdapat suatu norma yang dianut oleh masyarakatnya. Padahal hal ini memang seharusnya saya lakukan, bahwa ketika sedang berbicara dengan seseorang, pentingnya untuk dapat memperhatikannya bukan hanya mendengarkannya.
Beberapa bulan yang lalu, saya membeli buku—lupa bahwa buku-buku sebelumnya saja masih belum selesai, tetapi sudah loncat ke buku satu ke yang satunya.
ADVERTISEMENT
Buku Filosofi Teras yang ditulis oleh Henry Manampiring yang memperkenalkan saya dengan Filsafat Stoa, bagaimana saya membedakan apa yang bergantung pada saya, dan apa yang tidak bergantung pada saya, latihan mengatasi emosi, dan bahagia secara Apatheia yang artinya dimana situasi pikiran kita tidak terganggu oleh nafsu-nafsu seperti amarah, kecewa, rasa pahit serta iri hati.
Begitulah sepenggal gagasan-gagasan yang dibawa oleh Henry Manampiring dalam bukunya, karena saya baru membaca awalan nya saja. Tapi saya sudah berjanji pada diri saya sendiri bahwa saya akan menyelesaikan bacaan dan berharap bisa mempraktikkannya di hari-hari saya.
Buku yang saya lupakan adalah “Dunia Sophie” Jostein Gaarder. Saya selalu bertanya-tanya buku ini apa memang tidak cocok untuk saya? Apa itu hanya alasan saya saja? Atau memang terlalu berat untuk saya?
ADVERTISEMENT
Saya sudah membacanya di halaman ke 102 tapi selalu saja tidak bisa saya lanjutkan. Dan berniat mengulang membacanya pada halaman satu. Sepertinya saya akan memberikan diri saya sendiri untuk sebuah reward, jika saya berhasil menuntaskan buku ini.
Akhirnya saya melakukan perenungan selama beberapa hari. Walaupun kadang saya gagal, hingga akhirnya saya melakukan riset kecil-kecilan dengan berhenti sejenak berselancar di media sosial, berhenti mencari tahu apa yang sedang trending saat ini.
Ponsel saya hanya saya fokuskan pada pesan WhatsApp dan sedikit untuk membuka Instagram, sebab saya membutuhkannya untuk urusan pekerjaan, dan komunikasi dengan teman-teman serta tugas perkuliahan saya.

Membuat Pola Baru

Setelah menyadari bahwa media sosial telah mencuri banyak hal dari saya, hal itu juga yang menyadarkan saya untuk mengubah pola hidup yang lebih sehat dan baru, dan berusaha keluar dari belantara tersebut.
ADVERTISEMENT
Sejatinya media sosial adalah tempat orang-orang melakukan validasi atas dirinya, penghakiman dan menghakimi. Satu lagi yaitu tempatnya pamer, meski sebenarnya manusia berhak atas hal itu.
Hal ini pengingat bagi saya untuk mengalihkan perhatian, dengan pola yang saya terapkan seperti menjauhkan ponsel dan mengambil buku, dan barangkali, proposal skripsi yang sedang saya garap mungkin akan cepat selesai dari target tenggat waktu, musabab saya banyak berhutang pada waktu yang sudah saya sia-siakan.