Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Menyoal Persoalan Keterwakilan Perempuan
9 April 2022 17:05 WIB
Tulisan dari TIARMA DELSITA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keterwakilan Perempuan
Demokrasi dan kedaulatan rakyat salah satunya dapat diwujudkan melalui implementasi representasi keterwakilan yang baik termasuk representasi keterwakilan politik pada kelompok perempuan. Namun meskipun begitu, dalam kenyataannya kelompok perempuan sampai saat ini masih menjadi salah satu kelompok yang haknya masih termarjinalisasi baik secara politik, ekonomi, sosial, dan kultural. Bahkan, perempuan masih seringkali terpinggirkan dalam berbagai proses pengambilan keputusan. Sebenarnya, upaya peningkatan peranan dan kedudukan perempuan telah sejak dahulu dilakukan, pemerintah telah merumuskan berbagai kebijakan untuk dapat menyokong terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender, terutama di bidang politik. Hal ini misalnya dapat terlihat dari penerapan kebijakan affirmative action melalui sistem kuota khusus untuk meningkatkan representasi perempuan pada berbagai lembaga negara.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, dalam implementasinya angka keterwakilan politik perempuan di dalam lembaga khususnya parlemen belum pernah mencapai angka yang telah ditentukan. Pada perhelatan pemilihan umum sebelumnya, yakni Pemilu 2019, keterwakilan politik perempuan hanya berhasil diisi oleh 20,8 persen anggota perempuan saja. Dikutip dari data yang dihimpun Cakrawikara pada tahun 2019, data menunjukan bahwa sebenarnya terdapat kenaikan dari persentase angka keterwakilan politik di lembaga legislatif tingkat nasional, di mana DPR RI mencapai 20,3% dan DPD RI 30,8%. Dalam konteks parpol. Terdapat tiga partai dengan persentase keterwakilan perempuan tertinggi di DPR RI yang terdiri dari Nasdem 19 kursi (32,2%), PPP 5 kursi (26,3%), dan Golkar 19 kursi (22,3%). Selain itu, di tingkat provinsi, persentase keterpilihan perempuan yakni hanya sekitar 18,% (398 dari total 2207 kursi), di mana hanya dua DPRD Provinsi yang mencapai angka 30% kursi perempuan yakni DPRD Kalimantan Tengah sekitar 35.56% dan DPRD Sulawesi Selatan sekitar 30,59%. Kemudian di tingkatan DPRD Kab/Kota terdapat sekitar 15,3% atau sekitar 2559 dari total keseluruhan yakni 16770 kursi. Maka dari itu, melihat hal tersebut penulis mempertanyakan apa sebenarnya persoalan yang mendasari penerapan representasi keterwakilan perempuan?
ADVERTISEMENT
Adapun, beberapa penyebab dari masih terkendala nya keterwakilan perempuan antara lain salah satunya diakibatkan oleh partai politik itu sendiri. Kebijakan afirmasi seringkali masih sekadar menjadi bentuk pemenuhan dari syarat administratif bagi partai untuk mengikuti pemilu. Perempuan dicalonkan sekadar sebagai pemenuhan prasyarat jenis kelamin tanpa memandang secara utuh potensi dan kapasitasnya bagi fungsi perwakilan di DPR. Kemudian, afirmasi dalam partai tersebut juga masih lemah. Partai memang banyak mencalonkan perempuan, tetapi tidak secara khusus membuat program yang dapat menjadi penguatan kapasitas kader calon legislatif perempuan. Padahal, hal tersebut dapat menjadi langkah dalam meningkatkan kualitas serta kapabilitas para calon dari kalangan perempuan, sehingga dapat menekan kecenderungan dalam hal pengalaman berpolitik kader calon legislatif perempuan yang tertinggal dibanding calon laki-laki. Selain itu, banyak partai yang juga tidak memberikan dukungan khusus dalam proses pencalonan dan kampanye dalam meningkatkan kesempatan perempuan untuk terpilih. Padahal permasalahan utama keterwakilan perempuan saat ini sebenarnya tidak hanya dalam konteks pencalonan namun keterpilihan mereka sebagai wakil rakyat yang rendah juga menjadi persoalan.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut akhirnya menggambarkan adanya ketidakseriusan partai politik dalam pencalonan perempuan, di mana terdapat indikasi bahwa partai politik tidak serius untuk mendorong keterwakilan politik perempuan dalam Pemilu. Padahal, keterwakilan perempuan merupakan suatu urgensi, perempuan dapat membawa perubahan yang positif dengan mendorong masuknya berbagai isu dan persoalan ke dalam proses pembuatan kebijakan yang responsif gender. Dan apabila perempuan tidak terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan, maka kepentingan mereka cenderung tidak akan dapat dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Bahkan, hal tersebut akan berdampak pada adanya indikasi diskriminasi kebijakan yang akan lebih sering terjadi, apabila anggota parlemen laki laki tidak memperjuangkan kepentingan perempuan tersebut.