Konten dari Pengguna

Sapardi dan Puthut EA dari Kacamata Asas Termodinamika

R H Setyo
Pembaca Buku
20 Juli 2020 11:08 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari R H Setyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sapardi Djoko Damono dokumen Kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Sapardi Djoko Damono dokumen Kumparan.
ADVERTISEMENT
Antara ketabahan, kebijakan, dan kearifan itu diikat dalam rintik Hujan Bulan Juni. Kata yang tak terucap pun terseret dalam arus pusaran akar pohon. Metamorfosis puisi Sapardi Djoko Damono itu menjadi film. Kisah cinta Pingkan dengan Sarwono yang diperankan Velove Vexia dan Adipati Dolken dikonversi dari novel menjadi film. Bagaimana pun hasilnya, bagi seseorang yang lebih hobi membaca, maka film tersebut dianggap menjadi tafsir tunggal dalam novel tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam semua perubahan bentuk, puisi yang diguratkan Sapardi di atas kertas 31 tahun lalu telah menemukan tuannya. Dialah para pembaca yang imajinasikan jutaan kisah. Mereka punya cara masing-masing untuk merangkai cerita demi mengabadikan puisi Sapardi.
Para pembaca sastra pemula seperti saya, tidak ada cara lain untuk mengabadikan sajak-sajak Sapardi untuk membenarkan atau menambahkan daftar catatan kaki dalam perjalanan hidup. Tidak hanya puisi, mungkin bisa lagu, film, novel dan bahan apapun menikmati fenomena yang dirasakan. Hal ini telah saya tulis dalam opini Sapardi, Kau Abadi kemarin (19/7).
Ada beberapa puisi yang dibuat Sapardi cukup membumi. Selain ‘Hujan Bulan Juni’, ada ‘Aku Ingin, ‘Pada Suatu Hari Nanti’, ‘Dongeng Marsinah’, dan ‘Yang Fana adalah Waktu’ itu membuat nama Sapardi abadi. Puisi-puisinya itu telah menemukan tuannya dari belahan dunia manapun. Meskipun, kabar kepergian Sapardi tidak bisa dielakkan lagi, duka bagi dunia sastra Indonesia. Karena bukan hanya penyair, Sapardi merupakan guru besar di Universitas Indonesia. Dia mengabadikan tindakan berpuisi bergandengan erat dengan berbagai kajian teori.
ADVERTISEMENT
Apabila kita berbicara tentang kata,dalam pelajaran linguistik mungkin ringkasnya kata ialah gabungan dari suku kata atau bunyi yang membentuk sederetan wujud baru. Seperti frasa menjadi kalimat, bahkan hingga bait atau paragraf. Kesatuan dari bentuk itulah yang disebut Ferdinand de Saussure sebagai wacana atau discourse. Pemaknaan idealnya memang dihasilkan dari pembacaan yang utuh sebuah karya. Semakin banyak sudut pandang atau tafsir dalam membaca tulisan tersebut, maka semakin hidup karya itu. Dalam berbagai dimensi akan muncul pikiran baru untuk mendudukkan tulisan secara kontekstual.
Menikmati puisi Sapardi, saya hanya punya dua catatan kaki. Yakni tentang hubungan erat antara waktu dan keabadian. Kedua hubungan itu dibalut energi cinta. Para penikmatnya sangat merasakan romantika kata.
ADVERTISEMENT
Perihal waktu, bagi saya adalah panjang perjalanan tentang ketidakpastian. Sedangkan keabadian adalah kondisi sesuatu yang pernah terpisah, tapi akan terhubung karena cita-cita. Dan Sapardi,mengajari tentang kesejatian dan keabadian. Termasuk hal yang paling abadi dalam kehidupan ini ialah ketidakpastian. Ia seperti rimba gelap yang harus kita terangi sendiri. Kadang mencari teman untuk mengartikan kata kepastian. Tapi semua kepastian selalu hanya bersifat sementara. Sedangkan dalam mencari kepastian, membutuhkan upaya dan rencana yang bersifat kemungkinan. Demikianlah, kemungkinan Sapardi bermain-main dalam rasa pemaknaan.
Puisinya ‘Yang Fana adalah Waktu’ dalam tubuh puisinya itu tertulis isyarat perjalanan atau pengembaraan.
Pungutan detik Sapardi akhirnya pun usai. Dia kembali pada Sang Ilahi. Perjalanan kefanaan telah dituntaskan Sapardi. Begitu juga ketika Sapardi berusaha mengabadikan seorang Marsinah. Puisi panjang berjudul ‘Dongeng Marsinah’ yang ditulisnya selama tiga tahun pun demikian. Dia masuk dalam lorong-lorong imajinasi apa yang dirasakan Marsinah. Seorang buruh pabrik arloji asal Nganjuk itu digambarkan dengan sebuah perjalanan menjadi seorang pekerja yang merakit jarum, sekrup dan roda gigi. Lagi-lagi sebuah perjalanan waktu dengan makna dualitas. Antara hakikat waktu dan dibandikan dengan waktu yang berputar pada arloji.
ADVERTISEMENT
Melompat jauh dari Sapardi, tentang perjalanan dan keabadian ada seorang sastrawan muda yang menulis beberapa karya senada. Judulnya ‘Cinta Tak Pernah Tepat Waktu’, ‘Seorang Laki-Laki yang Keluar Rumah’, dan ‘Isyarat Cinta yang Keras Kepala’. Sebenarnya masih banyak lagi karya Puthut EA yang mungkin bisa dirasakan sejiwa dengan puisi-puisi Sapardi. Dalam sebuah cerita pendek berjudul ‘Isyarat Cinta yang Keras Kepala’ ada catatan kaki seperti Sapardi. Yakni tentang waktu dan keabadian, namun ia dalam bentuk kenangan. Sehingga, ketika para pembaca masuk dalam cerita tersebut, ia akan merasakan imajinasi tentang kerinduan. Bagaimana kerinduan itulah yang menjadi napas sang waktu dalam perjalanan kisah cinta yang keras kepala itu. Kenangan yang digambarkan itu akan menjadi keabadian dalam pikiran. “Yang fana adalah waktu, kita abadi,” kata Sapardi yang membisikkan suaranya dalam coretan kecil. Kata ‘kita’ pun dapat dimaknai ganda sebagai orang atau kenangan dari orang tersebut. Pun dalam akhir cerita berjudul ‘Isyarat Cinta yang Keras Kepala’ ada penutup membuat orang akan teringat dengan asas kekekalan energi atau termodinamika. Ringkasnya, istilah term berarti suhu dan dinamika ialah gerak. Dan maksud suhu dalam kajian teori termodinamika itu ialah tentang panas atau kalor. Artinya, ialah panas yang digerakkan oleh potensi alami atau sengaja digerakkan atau diupayakan.
ADVERTISEMENT
Jika dalam asas hukum termodinamika disebutkan jika “energi tidak dapat diciptakan ataupun dimusnahkan, tapi energi hanya bisa diubah bentuknya”. Kalimat ini senada dengan apa yang disampaikan Puthut dalam ceritanya.
Kenangan akan memanaskan ingatan untuk menggerakkan sel-sel dan saraf untuk mengaktifkan imajinasi tentang sesuatu hal. Khususnya, mereka yang mengisi waktu dan perjalanan kita. Termasuk, puisi dan segala cerita yang pernah menjadi pembenar dari fenomena yang kita alami. Selamat mengenang Sapardi. Selamat mengabadi.
Rino Hayyu Setyo Penulis adalah pegiat pendidikan nonformal.