Konten dari Pengguna

Kompleksitas Konsep “Feminisme“ dan Kaitannya dengan Hukum yang Berlaku

Timothee Kencono Malye
Hakim Pengadilan Negeri Teluk Kuantan
29 Oktober 2024 18:57 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Timothee Kencono Malye tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi keseimbangan. Sumber: pexels.com.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keseimbangan. Sumber: pexels.com.
ADVERTISEMENT
Feminisme sebagai gerakan sosial memang telah berperan besar dalam membentuk dunia modern. Dari memperjuangkan hak suara hingga kesetaraan upah dan hak reproduksi, feminisme telah menjadi trigger kemajuan besar bagi perempuan di seluruh dunia. Kini, feminisme berkembang menjadi ideologi yang lebih luas dan inklusif, bertujuan mengatasi masalah interseksionalitas dan meruntuhkan struktur patriarki. Namun, sambil mengapresiasi capaian ini, penting juga untuk menelaah dengan kritis dinamika terkini yang melingkupi feminisme serta kompleksitas relasi gender dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul kekhawatiran yang menyoroti kompleksitas, dan kadang kala kontradiksi, dalam feminisme kontemporer. Salah satu isu yang semakin mendapat perhatian adalah bagaimana sebagian orang berinteraksi dalam dinamika sosial. Topik ini perlu dihadapi dengan hati-hati, mengingat bersinggungan dengan perilaku sosial yang tertanam dalam, aspek neurologi dan psikologi, serta etika keadilan dalam wacana publik.
Walaupun feminisme mendorong kesetaraan, beberapa aspek dari “kodrat” (sifat-sifat umum bawaan yanag memang diprogram alam secara biologis – tentunya pengecualian-pengecualian akan selalu ada karena antar manusia memang pada dasarnya berbeda) manusia mungkin menyulitkan kesetaraan tersebut untuk terwujud sejelas yang diharapkan. Seperti halnya laki-laki, perempuan adalah individu kompleks dengan strategi sosial mereka sendiri. Namun, ilmu saraf dan psikologi menunjukkan bahwa perempuan sering kali lebih mahir dalam berinteraksi secara sosial dengan cara-cara yang melibatkan kompetisi tidak langsung, manipulasi, atau yang bisa disebut sebagai “permainan sosial.” Interaksi semacam ini dapat berdampak serius bagi laki-laki ketika disalahpahami atau tidak dimaklumi sebagai sesuatu yang valid adanya. Seperti halnya pengetahuan umum bahwa rerata pria mempunyai kekuatan otot yang lebih kuat dibanding rerata wanita, perlu juga dimaklumi bahwa rerata wanita mempunyai kemampuan “permainan sosial” yang lebih tinggi daripada rerata laki-laki.
ADVERTISEMENT
Sebuah studi tahun 2017 yang diterbitkan dalam Nature Human Behavior menunjukkan bahwa perempuan cenderung menunjukkan agresi tidak langsung lebih tinggi dibandingkan laki-laki yang cenderung pada konfrontasi langsung. Agresi ini dapat berupa gosip, pengucilan, dan fitnah—strategi yang bisa sama berbahayanya, bahkan lebih, dibandingkan kekerasan fisik, apalagi apabila telah sampai ke ranah hukum yang berlaku di suatu negara. Para psikolog mengaitkan hal ini dengan kebutuhan evolusioner perempuan untuk mempertahankan hubungan sosial sambil secara halus mengarungi hierarki kompetitif. Penerapan narasi feminisme yang terlalu berlebihan dalam mengatur interaksi semacam ini mungkin justru memperburuk kecenderungan ini, menciptakan ketidakseimbangan dalam upaya mengejar keadilan.
Studi serupa dari peneliti di McMaster University menemukan bahwa perempuan lebih mungkin menggunakan taktik halus, seperti pengucilan sosial atau penyebaran rumor, sebagai cara untuk menegaskan dominasi atau kontrol atas lingkungan mereka. Temuan ini menyarankan bahwa perilaku ini terjadi tidak hanya dalam interaksi sosial tetapi juga di lingkungan profesional. Meskipun perilaku ini tidak eksklusif bagi perempuan, frekuensi dan kehalusan cara melakukannya mungkin menjelaskan mengapa sering kali tidak terdeteksi atau tidak ditantang.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran lain yang berkembang adalah bahwa dalam upaya mengatasi ketidaksetaraan, gerakan feminisme secara tidak sengaja menciptakan ketidaksetaraan baru dalam dorongan untuk mengatur secara berlebihan. Meski beritikad baik, penerapan kerangka kerja feminisme yang terlalu ketat pada setiap interaksi sosial berisiko menggambarkan laki-laki dalam citra negatif secara tidak adil, terutama dalam kasus-kasus di mana tidak ada niat buruk.
Sebagai contoh, jumlah laki-laki yang mengklaim mereka salah dituduh atau dicela karena dianggap berbuat tidak pantas semakin meningkat. Meski tidak diragukan bahwa beberapa laki-laki telah menghadapi konsekuensi atas kesalahan mereka, ada juga bukti yang menunjukkan bahwa tidak semua tuduhan berakar pada kebenaran atau keadilan. Publikasi tuduhan semacam ini dapat merusak reputasi, mata pencaharian, dan kesehatan mental laki-laki jauh sebelum investigasi formal berlangsung. Biarkan narasi feminis mengatur interaksi ini terlalu ketat justru berisiko mengacaukan keseimbangan alami dalam dinamika sosial, yang pada akhirnya berdampak berat bagi laki-laki.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, kita sebaiknya membiarkan dinamika sosial antara laki-laki dan perempuan berkembang secara alami, tanpa terlalu mengatur hubungan interpersonal melalui narasi feminis. Pengaturan yang berlebihan tidak hanya memperumit hubungan manusia yang sudah rumit, tetapi juga bisa merugikan laki-laki, yang merasa seolah-olah mereka menjadi sasaran ketidakadilan.
Mengapa beberapa perempuan menggunakan strategi sosial ini ketika menghadapi konflik atau penolakan? Jawabannya mungkin terletak, sebagian, pada cara otak perempuan memproses rasa sakit sosial. Penelitian dalam ilmu saraf menunjukkan bahwa perempuan mengalami dampak penolakan lebih intens dibandingkan laki-laki, sering kali karena sirkuit saraf mereka lebih peka terhadap hubungan sosial.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Neuroscience menunjukkan bahwa perempuan menunjukkan aktivitas lebih tinggi di korteks cingulate anterior—bagian otak yang berhubungan dengan pengaturan emosi dan rasa sakit sosial—ketika merasa dikucilkan atau ditolak. Sebaliknya, laki-laki menunjukkan aktivitas yang lebih rendah di area ini dalam situasi yang sama. Sensitivitas yang meningkat ini dapat menjelaskan mengapa beberapa perempuan mungkin menggunakan permainan sosial atau agresi tidak langsung ketika merasa disakiti.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi, riset psikologis menggarisbawahi konsep agresi relasional, istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku yang bertujuan menyakiti orang lain melalui manipulasi hubungan sosial. Perempuan, terutama yang merasa terancam secara sosial, mungkin menggunakan agresi relasional untuk mengembalikan kendali atau membalas dendam pada mereka yang dianggap telah menyakitinya. Perilaku ini, meskipun sering dianggap tidak berbahaya atau “sekadar gosip,” dapat berdampak besar pada kehidupan mereka yang menjadi sasaran, terutama laki-laki, yang bisa jadi dicitrakan negatif tanpa adanya kesempatan untuk membela diri. Terlebih lagi apabila ternyata “sekedar gosip” tersebut sampai ke ranah penegakan hukum. Di beberapa pidana yang Penulis tangani, terdapat kejadian-kejadian dimana sepasang muda-mudi berpacaran kemudian berhubungan seks secara konsensual (terbukti dari pemeriksaan di persidangan), namun ujung-ujungnya yang dipidana adalah pihak laki-laki walaupun mereka seumuran, dengan tuduhan pencabulan atau persetubuhan. Padahal saat pemeriksaan di persidangan jelas-jelas si wanita sebetulnya bahkan dalam beberapa kesempatan menginisiasi terlebih dahulu hubungan seks yang terjadi. Tanpa bermaksud mengerdilkan pentingnya perlindungan terhadap perempuan, terutama yang berada dibawah umur, perlu dicatat bahwa keseimbangan penilaian terhadap narasi feminis dan narasi konsevatif (“bahwa pria memang lebih kuat ototnya dan terkadang memaksa secara fisik, namun wanita pun seringkali bersikap manipulatif”) perlu diperhatikan.
ADVERTISEMENT
Penting untuk menekankan bahwa ini bukanlah tuduhan terhadap semua perempuan atau feminis secara keseluruhan. Banyak perempuan yang berkontribusi pada masyarakat dengan integritas dan keanggunan, dan feminis tetap menjadi kekuatan penting bagi keadilan sosial. Namun, seiring berkembangnya gerakan ini, ia juga harus siap menghadapi aspek-aspek hubungan gender yang lebih sulit, termasuk cara-cara di mana dinamika kekuasaan dapat berubah dan disalahgunakan oleh siapa saja, tanpa memandang gender. Mengabaikan hal ini akan terus melanggengkan siklus ketidakseimbangan yang dapat merugikan baik laki-laki maupun perempuan.
Marilah kita ingat bahwa laki-laki pun rentan terhadap dinamika sosial yang bisa membuat mereka merasa diperlakukan tidak adil. Ketika permainan sosial dan agresi tidak langsung digunakan untuk menyakiti orang lain, khususnya dalam kasus di mana laki-laki secara tidak adil difitnah atau dicemarkan, kita harus mengenali perilaku ini apa adanya: suatu bentuk penyiksaan psikologis dan emosional. Masa depan feminis bergantung pada kemampuannya untuk memperjuangkan kesetaraan sejati, yang berarti menangani baik dinamika kekuasaan yang terlihat maupun yang tersembunyi dalam masyarakat kita.
ADVERTISEMENT
Dalam mengejar kesetaraan, kita harus membiarkan dinamika alami antara laki-laki dan perempuan berkembang tanpa dibebani oleh narasi feminis yang terlalu ketat dalam mengatur setiap interaksi sosial. Pengaturan berlebihan bisa merugikan laki-laki, menimbulkan kebencian, dan menghalangi hubungan antarmanusia yang sejati. Kekuatan feminis terletak bukan pada kontrol atas interaksi ini, tetapi dalam menciptakan lingkungan di mana saling menghormati, keadilan, dan pengertian dapat tumbuh.