Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Psikologi dan Hukum: Dua Ilmu dalam Bingkai Kendali dan Harapan
25 November 2024 11:55 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Timothee Kencono Malye tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Psikologi, sebagai cabang ilmu yang mendalami perilaku manusia, kerap dipandang sebagai panduan menuju kehidupan yang lebih optimal. Pendekatannya yang humanis dan berbasis empati menjadikannya populer dalam berbagai konteks, dari terapi individu hingga pengelolaan organisasi. Namun, seperti halnya hukum, psikologi juga tak lepas dari dimensi kekuasaan: sebagai alat untuk membentuk perilaku sesuai norma yang diharapkan.
ADVERTISEMENT
Hukum dengan lugas menyatakan dirinya sebagai produk politik yang mengatur masyarakat melalui paksaan yang sah. Ketika peraturan disusun, hukum mengakui adanya tarik-ulur kepentingan yang melibatkan kekuasaan dan ideologi. Ia tidak menyembunyikan kenyataan bahwa perannya mencakup upaya mengendalikan perilaku untuk menciptakan keteraturan.
Di sisi lain, psikologi kerap tampil sebagai ilmu yang netral dan apolitis. Pendekatan ini memberikan kesan bahwa psikologi semata-mata bertujuan membantu individu mencapai potensi terbaiknya. Namun, dalam praktiknya, terdapat implikasi bahwa intervensi psikologis sering kali disusun berdasarkan asumsi tentang perilaku ideal yang dianggap sesuai oleh psikolog atau komunitas psikologi tertentu. Asumsi-asumsi ini, meski tidak selalu dinyatakan secara eksplisit, mencerminkan nilai-nilai tertentu yang bisa bersifat politis.
Apakah hal ini salah? Tentu tidak. Psikologi dan hukum, keduanya, adalah refleksi dari kompleksitas manusia yang memerlukan kerangka untuk memahami dan mengatur perilaku. Yang membedakan keduanya hanyalah tingkat keterusterangan dalam menyatakan perannya sebagai alat kendali. Psikologi memberikan narasi yang mendukung perkembangan individu, sementara hukum berfokus pada keteraturan sosial.
ADVERTISEMENT
Namun, penting bagi kita sebagai masyarakat untuk tetap kritis terhadap penggunaan ilmu sosial apa pun, termasuk psikologi. Dengan memahami bahwa psikologi tidak sepenuhnya netral, kita dapat lebih bijaksana dalam menerapkannya, baik dalam konteks pribadi maupun sosial. Hal ini bukanlah kritik, melainkan undangan untuk mendekati ilmu psikologi dengan penghormatan sekaligus kesadaran akan “roh” dari cabang ilmu ini sendiri.
Misalnya, latihan fokus yang sering dianjurkan dalam berbagai program pengembangan diri sebenarnya memiliki dampak mendalam pada otak manusia, berkat kemampuan otak untuk berubah melalui proses neuroplastisitas. Dengan latihan yang konsisten, struktur otak dapat beradaptasi, memperkuat koneksi di area tertentu yang mendukung konsentrasi dan efisiensi. Namun, di balik manfaat ini, terdapat maksud yang sering tak disadari: latihan fokus memang menjadi alat manajemen untuk mencetak individu yang lebih produktif dalam bekerja dan berkontribusi pada roda ekonomi masyarakat. Transformasi personal yang tampak altruistik ini, pada kenyataannya, sering selaras dengan kebutuhan sistem untuk menciptakan tenaga kerja yang lebih terukur, terarah, dan berorientasi pada hasil. Penulis hanya mencoba menjabarkan hal ini secara gamblang tanpa menghakimi apakah hal ini baik atau buruk demi menciptakan masyarakat yang ideal. Adapun perihal ini akan dapat dilihat saat teknologi AI and IoT telah sangat mapan dan bisa diandalkan, atau malah sebaliknya, tidak boleh terlalu diandalkan karena faktor risiko terkait.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, psikologi dan hukum tidak harus dipertentangkan. Keduanya memiliki peran besar dalam membentuk peradaban manusia. Yang perlu dijaga adalah kejujuran dalam memahami bahwa setiap ilmu, sekritis dan seilmiah apa pun, selalu melibatkan dimensi nilai dan kekuasaan. Dan itulah yang membuatnya relevan dan bermakna bagi kehidupan manusia.