Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tentang Fenomena Penghakiman Kolektif dan Intoleransi dalam Masyarakat
6 November 2024 17:14 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Timothee Kencono Malye tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah masyarakat yang kuat dengan pengaruh ideologi tertentu, sering kali muncul fenomena di mana kelompok atau individu terdorong untuk menghakimi perilaku atau pilihan hidup orang lain. Fenomena ini lebih banyak terjadi secara kolektif dan jarang dilakukan sebagai kritik individu. Dari sudut pandang psikologi dan neurosains, perilaku ini dapat dipahami sebagai kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan sosial serta memperkuat identitas kelompok.
ADVERTISEMENT
Dalam psikologi sosial, manusia memiliki kebutuhan mendasar untuk diterima dan dihargai dalam lingkup sosialnya. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan menonjolkan identitas kelompok yang dianggap lebih baik, sering kali dengan menyoroti kesalahan atau kekurangan orang lain. Ketika mengkritik atau menghakimi orang lain, individu atau kelompok merasa mendapatkan penguatan posisi sosial, sesuatu yang berakar pada kebutuhan psikologis untuk dianggap “lebih baik.”
Penelitian neurosains menunjukkan bahwa proses ini melibatkan aktivasi bagian korteks prefrontal otak, yang terkait dengan pengambilan keputusan dan penilaian. Ketika seseorang merasa statusnya lebih "unggul" dalam interaksi sosial, otak menghasilkan neurotransmiter seperti dopamin, menciptakan rasa puas yang memperkuat kecenderungan ini. Inilah yang dikenal sebagai reward mechanism dalam otak, di mana tindakan menghakimi secara kolektif memberikan penghargaan berupa kepuasan diri dan pengakuan sosial. Dengan demikian, sikap menghakimi tidak hanya tentang penegakan nilai, tetapi juga tentang memenuhi kebutuhan psikologis untuk merasa "di atas" pihak lain.
ADVERTISEMENT
Menariknya, fenomena penghakiman ini cenderung hanya muncul dengan kuat ketika dilakukan dalam kelompok. Studi psikologi sosial mengungkapkan bahwa keberanian seseorang untuk mengkritik atau menghakimi orang lain meningkat secara signifikan ketika ia didukung oleh anggota kelompok yang berpandangan sama. Hal ini menunjukkan bahwa keberanian mereka sangat bergantung pada dukungan kolektif dan mengalami penurunan drastis ketika harus bertindak sendiri. Dalam konteks ini, keberanian sosial yang muncul sering kali kurang berbasis pada keyakinan individu yang sejati, melainkan terbentuk melalui persepsi aman yang diberikan oleh kehadiran kelompok.
Fenomena ini dapat terlihat, misalnya, pada individu yang berasal dari komunitas atau kelompok dengan pandangan ideologis yang kuat. Ketika seseorang dari komunitas tersebut melanjutkan studi atau tinggal di lingkungan berbeda, seperti contohnya di negara-negara Eropa dengan pandangan yang lebih pluralistik, mereka cenderung tidak secara eksplisit menonjolkan pandangan “keras” mereka. Hal ini menunjukkan bahwa keberanian untuk bersikap keras sering kali bukan lahir dari keyakinan yang kokoh, melainkan dari kekuatan jumlah dan dukungan kolektif yang menciptakan rasa aman. Dengan kata lain, keberanian ini bersifat situasional dan bergantung pada dukungan kelompok, sehingga rapuh di hadapan lingkungan yang tidak mendukung keyakinan tersebut, apalagi apabila tidak didukung dengan reasoning rasional yang kuat.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini juga diperkuat oleh apa yang dalam psikologi dikenal sebagai moral licensing atau efek "pemberian izin." Fenomena ini menggambarkan kecenderungan manusia untuk merasa berhak menilai orang lain setelah melakukan tindakan yang dianggap “benar” atau sesuai dengan norma kelompok. Dengan kata lain, setelah menunjukkan kebaikan atau kepatuhan, seseorang merasa memperoleh semacam "izin sosial" untuk memberikan kritik atau menilai perilaku orang lain.
Dalam masyarakat yang mengutamakan keseragaman nilai, perilaku ini bisa berujung pada ketidakmampuan menerima perbedaan dan cenderung bersikap intoleran. Intoleransi ini diperkuat oleh kebutuhan akan kepastian identitas yang dianggap "benar," sehingga kelompok atau individu berupaya menghindari disonansi kognitif — ketidaknyamanan yang muncul saat berhadapan dengan perbedaan yang menantang keyakinan kelompok. Dalam psikologi, kebutuhan ini sering kali mengarah pada tindakan manipulatif, seperti menyederhanakan atau memutarbalikkan fakta demi membentuk pandangan yang sejalan dengan konsensus kelompok. Distorsi ini, meskipun melanggengkan posisi kelompok, sering kali dilakukan dengan mengorbankan objektivitas dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks yang lebih kompleks, ada juga fenomena di mana kelompok atau individu menghalalkan cara-cara manipulatif untuk mempertahankan citra atau status mereka. Tindakan seperti manipulasi emosional, penyebaran informasi yang salah, atau mengaburkan fakta (yang dalam psikologi dikenal sebagai gaslighting) bisa terjadi demi menjaga posisi kelompok yang dianggap lebih “benar.” Manipulasi ini sering kali dibungkus dengan klaim posisi yang “lebih tahu” atau “lebih berhak” untuk mengatur atau menilai perilaku orang lain, demi mempertahankan status sosial.
Sikap ini tidak hanya berdampak pada individu yang menjadi sasaran, tetapi juga menciptakan efek yang luas dalam masyarakat. Ketika manipulasi ini berlangsung lama dan diterima sebagai hal yang sah, nilai-nilai seperti objektivitas, keadilan, dan toleransi perlahan terkikis. Dampak jangka panjangnya adalah terbentuknya masyarakat yang semakin sulit menerima perbedaan, dan mudah terpecah oleh polarisasi yang terjalin dari identitas kelompok yang berlebihan.
ADVERTISEMENT
Mengatasi penghakiman kolektif ini membutuhkan pendekatan yang mengutamakan introspeksi dan empati. Introspeksi membantu individu dan kelompok mengidentifikasi motivasi dasar dari setiap penilaian yang diberikan, terutama jika penilaian tersebut berpotensi menyakiti atau mengasingkan orang lain. Sementara itu, empati mengajarkan individu untuk memahami sudut pandang yang berbeda tanpa merasa lebih baik atau lebih benar secara mutlak. Penelitian menunjukkan bahwa pemahaman empatik dapat membantu mengurangi kecenderungan untuk menghakimi.
Sebagai masyarakat, penting untuk mengedepankan dialog yang sehat dan terbuka, menghindari narasi manipulatif atau penilaian sepihak yang hanya mempertegas perbedaan tanpa upaya untuk memahami. Dengan memupuk kesadaran akan kompleksitas perilaku manusia, serta membuka ruang untuk perbedaan, masyarakat bisa membangun ikatan sosial yang lebih kuat dan inklusif. Pada akhirnya, tujuan bersama bukanlah mempertahankan citra atau status tertentu, melainkan membangun masyarakat yang damai dan saling menghormati perbedaan.
ADVERTISEMENT