Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Integritas, Kunci KPU-Bawaslu Menghadapi Tekanan dan Residu Pemilu 2019
14 September 2023 5:29 WIB
Tulisan dari Agus Sutisna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemilu dan Pemilihan serentak tahun 2024 merupakan momen pertama dalam lanskap sejarah elektoral Indonesia, dimana Pemilu (Pileg dan Pilpres) dan Pemilihan (Gubernur, Bupati dan Walikota) akan diselenggarakan secara bersamaan di tahun 2024 meski pada tanggal dan bulan yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Dari sisi teknikalitas elektoral, Pemilu dan Pemilihan 2024 mendatang tampaknya tidak akan menimbulkan kesulitan yang berarti, karena secara teknis tidak ada yang benar-benar baru dari pesta demokrasi lima tahunan ini.
Kecuali dalam beberapa hal saja, misalnya terkait pengaturan detail tahapan dan jadwal kegiatan yang akan beririsan antara jadwal Pemilu dan Pemilihan. Atau terkait tatakelola (pengadaan, pengalokasian dan distribusi) logistik dan penggunaan beberapa aplikasi kepemiluan yang belakangan sudah menimbulkan masalah, Silon misalnya. Sistem Informasi Pencalonan yang digunakan sebagai alat bantu manajemen pencalonan ini sempat bermasalah dan dipersoalkan oleh Bawaslu. Selain ini, tidak ada hal baru yang potensial menambah kesulitan.
Namun demikian, ujian dan tantangan bukan berarti tidak ada. Berdasarkan pengalaman pemilu dan pemilihan sebelumnya serta fenomena dinamis sosio-politik yang saat ini dan kemungkinan akan terus berkembang di ruang publik, dua isu krusial berikut ini tampaknya bakal (atau mungkin sudah?) menjadi ujian dan tantangan berat yang harus dihadapi oleh KPU dan Bawaslu.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan menghadapi ujian dan tantangan ini akan sangat menentukan apakah proses dan hasil Pemilu nanti dipercaya oleh publik atau tidak. Kepercayaan publik atas proses dan hasil Pemilu ini penting karena ia berhubungan dengan aspek legitimasi para kandidat (Caleg maupun Capres-Cawapres) di kemudian hari. Semakin tinggi derajat kepercayaan publik semakin tinggi tingkat legitimasi politik para kandidat terpilih.
Tekanan pihak eksternal
Ujian dan tantangan berat pertama yang potensial akan dihadapi penyelenggara Pemilu 2024 adalah kemungkinan adanya tekanan (termasuk intimidasi) pihak eksternal untuk “cawe-cawe” dalam pelaksanaan tahapan, proses dan ujungnya terhadap hasil Pemilu. Dalam hal ini terutama dari partai politik.
Situasi tersebut potensial bisa terjadi karena partai politik, khususnya partai-partai koalisi pemerintah, merasa memiliki “saham” mengantarkan para kandidat penyelenggara Pemilu hingga terpilih dalam proses seleksi KPU maupun Bawaslu, baik di pusat maupun di daerah.
ADVERTISEMENT
Tekanan pihak-pihak eksternal juga bisa datang dari aktor-aktor politik non-partai. Mereka bisa berasal dari tokoh-tokoh ormas, elit penguasa atau pribadi-pribadi berpengaruh (akademisi, profesional, aktifis, tokoh masyarakat dll) yang pada waktu proses seleksi menjadi anggota Tim Seleksi baik di pusat maupun daerah. Idem ditto dengan partai politik, mereka (meski tentu tidak semua) sangat mungkin akan merasa memiliki “andil” membantu para penyelenggara terpilih dalam proses seleksi KPU maupun Bawaslu.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa mereka yang terpilih menjadi anggota Tim Seleksi ini diendors melalui jejaring ormas, organisasi ekstra kampus dan organisasi kepemudaan, serta partai politik. Sedikit banyak secara kultur dan/atau keorganisasian mereka memiliki afiliasi politik dengan partai politik atau kandidat Caleg dan para bakal Capres-Cawapres yang sudah mengorbit saat ini.
ADVERTISEMENT
Residu Pemilu 2019
Ujian dan tantangan berat berikutnya adalah terkait residu skeptisme atau keraguan (sebagian) masyarakat terhadap hasil Pemilu 2019 silam. Terlepas dari klaim pihak penyelenggara sendiri dan pemerintah atau pengakuan objektif lembaga-lembaga dan pegiat Pemilu terhadap proses dan hasil Pemilu 2019 yang dianggap sukses, fair dan demokratis. Pemilu 2019 bagaimanapun telah menyisakan residu, sampah sisa berkenaan dengan tingkat kepercayaan publik.
Beberapa isu pada Pemilu 2019 silam, yang sebetulnya sebagian besar terbukti kemudian adalah hoax atau misinformasi, telah terlanjur tersebar demikian rupa dan mengendap dalam benak sebagian masyarakat sebagai fakta-fakta perihal “cacat proses dan hasil” Pemilu 2019.
Isu-isu itu antara lain adalah adanya jutaan daftar pemilih siluman (daftar pemilih yang diselundupkan), kotak suara kardus yang sengaja didesain untuk memberi ruang kecurangan, pemilih Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang didaftar dan sengaja dipersiapkan untuk dimobilisasi bagi kemenangan pasangan calon tertentu, rekayasa penghitungan dan rekapitulasi suara, penetapan hasil Pemilu yang diakukan tengah malam, hingga ke musibah meninggalnya ratusan petugas badan adhoc Pemilu (PPK, PPS, KPPS) di berbagai daerah.
ADVERTISEMENT
Kesemua isu itu, sekali lagi, telah dibantah dengan penjelasan, bukti-bukti otentik bahkan melalui proses peradilan Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) misalnya terkait isu DPT siluman. Demikian juga soal musibah meninggalnya para petugas badan adhoc Pemilu yang sempat beredar kabar bahwa mereka “diracun”. Semua telah dibantah, dan mestinya clear.
Akan tetapi sekali lagi, kesemua isu tersebut sudah terlanjur mengendap dalam benak sebagian masyarakat sebagai rentetan fakta yang telah membuat Pemilu 2019 dianggap menyisakan cacat proses maupun hasil. Maka dalam konteks ini penting diwaspadai dan diantisipasi bahwa beragam isu krusial ini akan kembali muncul dan men-downgrade kepercayaan publik terhadap kerja-kerja KPU dan Bawaslu, yang pada gilirannya potensial dapat mendelegitimasi proses dan hasil Pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Integritas adalah Kunci
Lantas, apa yang harus dilakukan KPU dan Bawaslu terkait dua isu krusial diatas ? Kata kuncinya adalah integritas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Integritas dimaknai sebagai mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan atau kejujuran.
Sementara itu menurut Kamus Kompetensi Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), integritas artinya bertindak secara konsisten antara apa yang dikatakan dengan tingkah lakunya sesuai nilai-nilai yang dianut (nilai-nilai dapat berasal dari nilai kode etik di tempat dia bekerja, nilai masyarakat atau nilai moral pribadi).
Terhadap kemungkinan bakal munculnya tekanan pihak-pihak eksternal untuk “cawe-cawe” mengendalikan proses dan hasil Pemilu, para kommisioner (KPU maupun Bawaslu) yang memiliki integritas tinggi akan selalu menyadari posisinya sebagai penyelenggara yang wajib menjaga diri dari segala potensi atau kecenderungan penyimpangan dalam melaksanakan tugas, tegak lurus pada kewajiban dan fungsinya sesuai peraturan perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Untuk menjaga dan mengejewantahkan integritas itu, penyelenggara Pemilu dibekali dengan seperangkat regulasi yang mestinya sudah benar-benar difahami dan dilaksanakan sejauh ini. Mulai dari Sumpah /Janji Jabatan, norma-norma terkait dalam UU 7 Tahun 2017 dan regulasi turunannya dalam Peraturan KPU (PKPU), maupun yang secara khusus diatur dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu (KEPP).
Tentu saja, di luar perangkat normatif itu, para penyelenggara Pemilu juga mestinya memahami ada banyak prinsip etik yang diturunkan dari nilai-nilai demokrasi sebagai landasan pacu perhelatan elektoral digelar serta prinsip etik yang diturunkan dari idealisme berbangsa dan bernegara, yang kesemuanya amat sangat jelas mengarahkan mereka menjadi penyelenggara Pemilu yang bermoral dan berpegang pada hati nurani. Tinggal apakah mereka mau atau tidak. Itu saja.
ADVERTISEMENT