Konten dari Pengguna

Euthanasia: Tindakan Kontroversial atau Hak untuk Mati?

Iftitatul Musta'adah
Mahasiswa Keperawatan UNEJ
21 Oktober 2024 13:11 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Iftitatul Musta'adah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://www.shutterstock.com/image-vector/this-colorful-illustration-depicts-man-he-1654542313
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://www.shutterstock.com/image-vector/this-colorful-illustration-depicts-man-he-1654542313
ADVERTISEMENT
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, dengan kata “Eu” yang berarti baik dan “thanatos” yang berarti kematian, sering diartikan sebagai “kematian yang baik” atau “kematian yang mudah”. Euthanasia merupakan tindakan sadar untuk mengakhiri hidup seseorang dengan cara yang tidak menimbulkan rasa sakit. Biasanya tindakan ini dilakukan atas permintaan yang jelas dari individu yang mengalami penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan dan penderitaan yang tidak tertahankan, sehingga pasien memilih euthanasia sebagai jalan keluarnya (Harris, 2001; Terkamo-Moisio et al., 2019). Pada dasarnya tindakan ini berkaitan dengan hak individu untuk menentukan nasibnya sendiri. Euthanasia merupakan topik etika yang kontroversial dalam pelayanan kesehatan global (Khatony et al., 2021). Sejak perdebatan di Parlemen Eropa pada tahun 1991, tuntutan masyarakat untuk mengintegrasikan euthanasia ke dalam sistem kesehatan Eropa telah meningkat. Peraturan perundang-undangan yang mengatur euthanasia memberikan peluang bagi pasien dengan karakteristik tertentu untuk memutuskan mengakhiri hidupnya (Royes et al., 2017).
ADVERTISEMENT
Persoalan euthanasia seringkali menjadi dilema karena menyangkut berbagai aspek seperti etika, hukum, dan hak asasi manusia. Euthanasia pada dasarnya adalah suatu tindakan yang mengakhiri hidup seseorang, sehingga topik ini masih sensitif, terutama pada masyarakat yang cenderung konservatif. Beberapa negara yang menjadi pionir undang-undang euthanasia antara lain Belanda pada tahun 2001 dan Belgia pada tahun 2002. Selanjutnya, kebijakan ini diterapkan di Luksemburg pada tahun 2009, Kolombia pada tahun 2015, Kanada pada tahun 2016, Victoria bagian Australia pada tahun 2017, dan Selandia Baru pada tahun 2021. Di Selandia Baru, undang-undang mengenai euthanasia telah disetujui pada tahun 2020 dan mulai berlaku pada bulan November 2021. Sebelumnya, undang-undang terbaru yang disahkan mengenai euthanasia adalah Undang-Undang Organik Spanyol yang diundangkan pada tanggal 24 Maret 2021 (Bellon, F., dkk. ., 2022).
ADVERTISEMENT
Dalam proses pelaksanaan euthanasia, keputusan utama dan pelaksanaannya ada di tangan dokter profesional (De Beer et al., 2004; Pesut et al., 2019). Namun perawat juga mempunyai peran penting, karena seringkali merekalah yang pertama mendeteksi kebutuhan informasi dari pasien atau keluarga. Perawat juga sering menerima permintaan euthanasia secara langsung, berperan aktif dalam membantu pengambilan keputusan, mengidentifikasi kebutuhan emosional, menyiapkan informasi, memberikan pengobatan, dan memimpin langkah selanjutnya (Pesut et al., 2020).
Perawatan paliatif merupakan hak asasi manusia yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya yang menghadapi penyakit yang mengancam jiwa. Pendekatan ini berfokus pada pencegahan dan pengurangan penderitaan melalui identifikasi dini, penilaian dan pengobatan rasa sakit serta masalah fisik, psikososial dan spiritual (WHO, 2013). Perawatan paliatif sering dikaitkan dengan isu euthanasia dan kematian yang dibantu. Pada pertengahan abad kedua puluh, pendekatan modern terhadap perawatan paliatif dan hospice hampir secara universal bertentangan dengan euthanasia, baik dari sudut pandang moral maupun strategis, dan pandangan ini sebagian besar masih bertahan. Aktivis perawatan paliatif berpendapat bahwa permasalahan yang memicu permintaan kematian dengan bantuan atau seruan untuk legalisasi euthanasia umumnya dapat diatasi tanpa mempercepat kematian (Chambaere et al., 2016).
ADVERTISEMENT
Pro dan kontra terhadap euthanasia menimbulkan tantangan bagi masyarakat hukum, terutama terkait dengan persoalan “legalitas” euthanasia, khususnya pada masyarakat Indonesia yang menganut nilai-nilai komunal sehingga memicu perdebatan (Siregar, R. A., 2020). Berbeda dengan Belanda yang pada tanggal 10 April 2001 mengeluarkan undang-undang yang membolehkan euthanasia, dan berlaku efektif pada tanggal 1 April 2002, menjadikannya negara pertama di dunia yang melegalkan praktik euthanasia terhadap pasien dengan penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan, sehingga mereka diberikan hak untuk mengakhiri penderitaannya (Guwandi, A., 2008). Meskipun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang medis telah mendukung peraturan mengenai euthanasia, namun seringkali para petugas kesehatan masih menghadapi dilema dalam memutuskan apakah akan memberikan bantuan tersebut. Selain itu, jika bantuan sudah diberikan maka timbul pertanyaan apakah tindakan tersebut harus dihentikan. Tugas utama petugas kesehatan adalah menyelamatkan nyawa pasien, namun terkadang upaya tersebut justru memperpanjang penderitaan pasien. Menahan bantuan medis dalam situasi seperti ini dianggap sebagai bentuk euthanasia (Siregar, R.A., 2020).
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran yang diungkapkan dalam artikel bahwa euthanasia dapat mengalihkan fokus dari pengembangan perawatan paliatif adalah argumen lain yang mendukung pandangan bahwa euthanasia tidak boleh menjadi bagian dari perawatan yang baik bagi orang yang sekarat. Pandangan ini menekankan bahwa jika euthanasia dilegalkan, pilihan lain seperti memberikan perawatan fisik, psikososial, pastoral, serta manajemen rasa sakit dan gejala mungkin tidak akan dieksplorasi atau dioptimalkan. Namun, beberapa artikel menyatakan bahwa euthanasia tidak boleh dianggap sebagai solusi mudah atau jalan keluar dari penderitaan. Sebaliknya, perawatan total yang efektif terhadap pasien sekarat seringkali membuat mereka memilih untuk menunda atau bahkan menolak pilihan euthanasia (Wilkinson, D., 2015).
Meskipun sebagian besar artikel tentang euthanasia berpendapat bahwa euthanasia tidak mempunyai tempat dalam perawatan paliatif, penulis yang mendukung gagasan bahwa euthanasia dapat menjadi bagian dari perawatan paliatif setuju bahwa euthanasia hanya dapat menjadi pilihan jika kondisi pasien tidak dapat disembuhkan dan perawatan terbaik telah diberikan. (Inbadas, H., Zaman, S., Whitelaw, S., & Clark, D., 2017). Penghormatan terhadap otonomi pasien merupakan inti dari banyak perdebatan etika medis. Dalam pembahasan legalisasi euthanasia, prinsip otonomi menjadi salah satu argumen utama yang mendukungnya. Pasien dengan penyakit yang sangat serius berhak meminta euthanasia, dan jika permintaan tersebut bersifat otonom, dokter harus memenuhi permintaan tersebut. Menurut penulis yang mendukung euthanasia mengacu pada prinsip otonomi namun sekaligus menolak legalisasi euthanasia dianggap bertentangan (Quill, TE, Back, AL, & Block, SD., 2016).
ADVERTISEMENT
Belas kasih didasarkan pada keyakinan moral bahwa mempertahankan kehidupan dengan cara apapun adalah tindakan yang tidak manusiawi. Ketika seorang pasien menghadapi penderitaan yang tak tertahankan karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan, lebih baik dan lebih berbelas kasih untuk mengakhiri hidup daripada membiarkan mereka terus hidup dalam penderitaan. Oleh karena itu, euthanasia diusulkan sebagai tindakan belas kasihan terhadap mereka yang hidupnya tidak tertahankan (Landry, J.T., Foreman, T., & Kekewich, M., 2015). Namun, beberapa artikel mempertanyakan apakah penderitaan yang tak tertahankan benar-benar terjadi dalam perawatan paliatif. Menurut argumen non-euthanasia yang dikemukakan, penanganan nyeri dan gejala yang memadai dapat meringankan penderitaan yang tidak dapat ditoleransi dan mencegah orang meminta euthanasia. Namun, sebagian besar pendukung euthanasia berpendapat bahwa perawatan paliatif tidak selalu mampu mencegah penderitaan, dan mereka melihat kurangnya perawatan paliatif dalam situasi ekstrim sebagai argumen bahwa euthanasia dapat menjadi pilihan terakhir dari perawatan yang baik menuju kematian (Inbadas, H., Zaman , S., Whitelaw, A., & Clark, D., 2016).
ADVERTISEMENT
Meskipun sebagian besar petugas perawatan paliatif percaya bahwa perawatan paliatif mampu menghilangkan rasa sakit dan gejala lainnya secara efektif, beberapa orang berpendapat bahwa perawatan paliatif tidak selalu dapat mencegah penderitaan pasien sepenuhnya. Meskipun seringkali mengurangi penderitaan, hasilnya tidak selalu membuat kondisinya dapat ditoleransi oleh pasien (Clark, D., 2016). Perawatan paliatif tidak dapat menjamin bahwa setiap pasien akan mengalami kematian yang damai dan bebas rasa sakit. Jika penyakit pasien tidak dapat disembuhkan dan pasien menderita penyakit kronis serta meminta euthanasia dan keluarga menyetujuinya maka profesional kesehatan harus menghormati keputusan tersebut. Namun, jika pasien dengan penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan memilih untuk melihat kematian sebagai bagian dari kehidupan maka profesional kesehatan juga harus menghormati keputusan dan otonomi pasien.
ADVERTISEMENT
Euthanasia masih menjadi pro dan kontra di zaman sekarang, ada sebagian negara yang mendukung pemberian euthanasia dan juga ada yang tidak. Mungkin dari sudut pandang yang pro terhadap euthanasia beranggapan bahwa euthanasia dapat menjadi salah satu alternatif akan tetapi bagi pihak kontra euthanasia menjadikan individu tidak dapat merasakan kematian yang alami sebagai proses atau alur kehidupan. Akan tetapi kita sebagai tenaga kesehatan harus bisa melihat kondisi pasien, dampak yang akan terjadi serta persetujuan keluarga sebelum memberikan tindakan euthanasia sebagai bentuk menghargai otonomi pasien.
Iftitatul Musta'adah, mahasiswa Keperawatan UNEJ.
Reference
Bellon, F., Mateos, J. T., Pastells-Peiro, R., Espigares-Tribo, G., Gea-Sanchez, M., & Rubinat-Arnaldo, E. (2022). The role of nurses in euthanasia: A scoping review. International Journal of Nursing Studies, 134, 104286.
ADVERTISEMENT
Chambaere, K., Cohen, J., Bernheim, JL, Vander Stichele, R., & Deliens, L. (2016). Buku putih Asosiasi Eropa untuk Perawatan Paliatif tentang eutanasia dan bunuh diri dengan bantuan dokter: Menghindari tanggung jawab. Kedokteran Paliatif, 30(9), 893–894.
Clark, D. (2016). Untuk selalu memberikan kenyamanan: Sejarah pengobatan paliatif sejak abad kesembilan belas. Oxford: Oxford University Press.
De Beer, T., Gastmans, C., Dierckx de Casterle, B., 2004. Keterlibatan perawat dalam eutanasia: tinjauan pustaka. J. Med. Ethics 30 (5), 494–498. https://doi.org/10.1136/jme.2003.004028.
Guwandi. A Concise Glossary of Medical Law Terms: Jakarta: Balai Sagung Seto: 2008.
Harris, NM, 2001. Perdebatan eutanasia. JR Army Med. Corps 147 (3), 367. https://doi. org/10.1136/jramc-147-03-22.
Inbadas, H., Zaman, S., Whitelaw, A., & Clark, D. (2016). Deklarasi perawatan paliatif: Memetakan perspektif baru bentuk intervensi. Jurnal Manajemen Nyeri dan Gejala, 52(3), e7–e15.
ADVERTISEMENT
Inbadas, H., Zaman, S., Whitelaw, S., & Clark, D. (2017). Deklarasi tentang eutanasia dan bantuan medis sekarat. Studi Kematian, 41(9), 574–584.
Inbadas, H., Carrasco, J. M., & Clark, D. (2020). Representations of palliative care, euthanasia and assisted dying within advocacy declarations. Mortality, 25(2), 138-150.
Khatony, A., Fallahi, M., Rezaei, M., Mahdavikian, S., 2021. Perbandingan sikap perawat dan mahasiswa keperawatan terhadap eutanasia. Nurs. Ethics https://doi.org/10. Telepon: 1177/0969733021999751 969733021999751. 13 Juli.
Landry, JT, Foreman, T., & Kekewich, M. (2015). Pertimbangan etika dalam pengaturan eutanasia dan kematian dengan bantuan dokter di Kanada. Kebijakan Kesehatan (Amsterdam, Belanda), 119(11), 1490–1498.
Pesut, B., Thorne, S., Greig, M., Fulton, A., Janke, R., Vis-Dunbar, M., 2019. Implikasi etika, kebijakan, dan praktik dari pengalaman perawat dalam menangani kematian dengan bantuan: sebuah sintesis. JAWABAN Adv. Jurnal Keperawatan. 42 (3), 216–230. https://doi.org/10.1097/ANS.00000000000000276.
ADVERTISEMENT
Pesut, B., Thorne, S., Schiller, C., Greig, M., Roussel, J., Tishelman, C., 2020. Membangun praktik keperawatan yang baik untuk bantuan medis dalam menghadapi kematian di Kanada: studi deskriptif interpretatif. Glob. Qual. Nurs. Res. 7. https://doi.org/10.1177/2333393620938686 2333393620938686. Januari-Desember.
Quill, TE, Back, AL, & Block, SD (2016). Menanggapi pasien yang meminta bantuan dokter kematian: Keterlibatan dokter di akhir kehidupan. JAMA, 315(3), 245–246.
Royes, A., Casado, M., Valls, R., Corcoy, M., Sádaba, J., Méndez Baiges, V., García Manrique, R., Sobel, J., Thévoz, M., 2017. Dalam : Royes, A. (Ed.), Morir dan libertad. Edisi Universitas Barcelona.
Shatri, H., Faisal, E., Putranto, R., & Sampurna, B. (2020). Advanced Directives in Palliative Care. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 7(2), 9.
ADVERTISEMENT
SIREGAR, R. A. (2020). EUTHANASIA DIPANDANG DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN PASAL 344. YURE HUMANO, 4(1), 44-57.
Wilkinson, D. (2015). Menjaga pilihan di akhir kehidupan. Jurnal Etika Medis, 41(8), 575–576
World Health Organization (WHO). Essential medicine in palliative care [Internet]. Geneva: WHO; 2013 [cited 8 February 2018]. Available from: http://www.who.int/cancer/palliative/definition/ en/