Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cerita Suro Sudarmo, Pergumulan Antara Pengabdian dan Keselamatan
27 November 2023 10:41 WIB
Tulisan dari Muhammad Pratomo Ambar Bawono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
SUKOHARJO — Siang itu, Minggu (19/11/2023), suara klakson Kereta Rel Listrik (KRL) relasi Yogyakarta-Solo terdengar dari kejauhan, menandakan kereta akan segera melintas.
ADVERTISEMENT
Seorang laki-laki beranjak dari lincak. Ia bergegas mengenakan rompi berwarna oranye dan topi untuk menghalau panas terik, serta mengalungkan serbet untuk menyeka keringat. Sejurus kemudian, pria itu menarik tali yang menghubungkan dua palang pintu sambil meniup peluit dan berteriak “stop! Sepur seko kidul!” (setop! Kereta dari selatan!). Ia adalah Suro Sudarmo yang biasa dipanggil Suro (66).
Palang pintu manual itu menutup jalan dari dua arah di Desa Purbayan, Kecamatan Baki, Sukoharjo. Tak ada pengendara yang bisa melintasi rel. Mereka harus menunggu. Tak lama kemudian, kereta melintas disertai hembusan angin kencang dan tanah yang ikut bergetar. Suro lantas membuka palang pintu sembari menyeru “alon-alon” (pelan-pelan), mengingatkan pengendara yang akan melintasi alas beton di antara batuan kricak dan rel.
Bisingnya suara kereta yang melintas sudah menjadi hal yang biasa Suro dengar. Debu-debu yang berhamburan menghalangi pandangan sudah dirasakannya setiap hari. Bila hujan tiba, itu adalah mimpi buruk baginya karena pengelihatan menjadi terbatas. Tak jarang, bila apes, cipratan air buangan toilet dari kereta yang melintas juga mengenainya.
ADVERTISEMENT
Suro merupakan seorang purnawirawan Polri. Sebelum mengabdikan diri menjadi relawan penjaga perlintasan tanpa palang, Suro berdinas di Yogyakarta. Setelah bertahun-tahun fokus menegakkan hukum, kini ia tak hanya menjaga aturan, tetapi juga nyawa orang. Aktivitas ini sudah dilakoni Suro selama kurang lebih dua tahun semenjak Kereta Rel Listrik Solo-Jogja diresmikan pada tahun 2021 silam.
Setiap hari, Suro mengawasi pintu perlintasan kereta di gang yang menjadi penghubung antara Dukuh Kudurejo dan Krasiyan. Lokasinya tak begitu luas. Perlintasannya hanya cukup untuk satu mobil. Bila terdapat mobil dari dua arah, maka harus bergantian. Pos penjaga yang bertempat di kedua bidang rel juga tampak sederhana. Meskipun demikian, perlintasan ini menghubungkan banyak RW di Baki, Sukoharjo. Maka dari itu, volume kendaraan yang melintas cukup padat. “Kalo sudah hari kerja, opo neh (apalagi) jam sibuk pagi dan sore, pasti rame dan macet. Bisa lebih dari 1000 (seribu) orang setiap hari,” terang Suro. “Apalagi dulu, waktu Tyfontex (pabrik tekstil) masih ada, buruhnya pada lewat sini. Lha, rumahnya sana (Purbayan timur) semua,” tambahnya.
Dalam menjalankan tugasnya, Suro tak sendirian. Ia mengungkapkan, “dulu awalnya ada 4 (empat) orang yang bersedia. Sekarang tinggal 3 (tiga)—shift tetap, dirinya, Wawan, dan Yamto.” Ada lima relawan lain (Teddy, Musio, Paryanto, Cipto Waluyo, dan Sarwono) yang juga turut membantu. Para relawan tersebut merupakan warga RT 01 dan 04 RW 06 Desa Purbayan, Baki, Sukoharjo. Secara bergantian, mereka berjaga dari pagi hingga malam mulai pukul 05.30 WIB hingga pukul 23.00 WIB. Selepas jam 23.00 WIB, palang akan ditutup.
ADVERTISEMENT
Ada dua shift yang berjaga. Shift pertama dari pukul 05.30 WIB hingga pukul 14.00 WIB. Sementara shift kedua dari pukul 14.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB. Bila ada yang berhalangan, maka rekan lainnya yang akan menggantikan.
Perlintasan Liar yang Hampir Dinonaktifkan
Senin (23/10/2017), insiden tabrakan kereta dengan mobil milik polisi, Iptu Sumanto, terjadi di perlintasan kereta api tanpa penjaga di Desa Purbayan, Baki, Sukoharjo. Sumanto meninggal di tempat setelah mobilnya tertemper Kereta Api (KA) Pasundan relasi Bandung – Surabaya.
Beberapa tahun kemudian, kecelakaan maut di tempat yang sama kembali terjadi pada Jumat (13/11/2020). Kali ini melibatkan seorang guru TK bernama Sholihah. Ia tewas setelah tersambar Kereta Api (KA) saat menyeberangi rel dengan motornya.
ADVERTISEMENT
Kejadian tersebut memicu respons tegas dari PT KAI. Cor jalan dihancurkan hingga portal pembatas dipasang agar tak bisa dilalui kendaraan. Dua dari tiga perlintasan tanpa palang di wilayah tersebut akhirnya ditutup, namun tidak dengan yang ada di Dukuh Kedurejo. Sempat akan diportal, warga menolak hingga ada yang sampai mengancam petugas.
Suro berujar, warga menuntut perlintasan di Dukuh Kudurejo tetap dibuka karena menjadi akses bagi warga di daerah tersebut. Sementara PT KAI, tetap berencana menutup perlintasan itu. Karena belum menemui titik terang, mediasi pun digelar. “Dulu dari PT KAI, Koramil, warga, dan Pemerintah Desa (Pemdes) rapat bersama di Bale Desa (Purbayan) untuk membahas masalah itu (perlintasan),” ungkap Suro. Dari situ, PT KAI akhirnya menyetujui dibukanya akses perlintasan untuk warga dengan syarat, yakni ada yang menjaga.
ADVERTISEMENT
“Sampe sekarang, dari Polisi Khusus Kereta Api (Polsuska) masih sering ke sini seminggu sekali. Ya, kadang nge-cek-in rel pas pagi dan malem. Kadang juga tanya ‘aman, nggak?’ gitu,” urai Cipto, Rekan Suro saat diwawancarai, Minggu (19/11/2023).
Selama berjaga di perlintasan, Suro dan rekannya memperoleh banyak pengalaman. Mulai dari mengusir orang gila hingga menegur anak-anak yang sedang bermain layangan atau petasan saat bulan Ramadhan. Ia juga mengungkapkan kendala palang perlintasan yang terletak di setelah tikungan. “Kereta itu seperti datang tiba-tiba. Jadi harus siaga, ga bisa cuman ngandelin sinyal elektrik dan halkie talkie (HT),” ungkapnya. Tak jarang, ia dan rekannya juga harus bergantian bila ingin buang air.
Selain itu, yang paling sering adalah mendapat umpatan dari warga yang ngeyel dan menerobos palang, padahal kereta sudah dekat. “Mau bar tak onek-onekke. Iso-isone, lho. Sepur wis cedak, wis tak semprit, tanganku wis ngene, malah mblandang. Nek koe sing ma*i ketabrak, ‘kan, rampung. Tapi kene, ‘kan, ora. Ijek urusan karo polisi,” (tadi habis menegur. Bisa-bisanya, kereta sudah dekat, sudah ditiup peluit, tanganku sudah begini—menghadang, masih menerobos. Kalau kamu meninggal, selesai. Tapi kami, belum. Masih berurusan dengan polisi) ungkap Musio (rekan Suro) yang kesal melihat pengendara yang melanggar palang perlintasan Kereta Api (KA). Hal senada juga disampaikan Wawan: “Dulu juga pernah, dah diingatkan, ngeyel, akhirnya ketabrak dan meninggal. Pas tahu ada layatan aku gak dateng, ‘moh, males.’”
ADVERTISEMENT
Simpati dan Upah Sukarela
Awalnya, selama ‘bertugas’ mulai dari pagi hingga malam, Suro tak mendapatkan upah dari siapa pun, hanya mengandalkan sumbangan sukarela dari warga yang melintas. Dari situ, bisa terkumpul uang rata-rata 50 ribu per hari. Setelah beberapa waktu, Suro dan rekannya mendapatkan upah yang diambilkan dari iuran warga. “Di sini ada 100 Kartu Keluarga (KK). Setiap keluarga per bulan diminta iuran 10 ribu, per bulan ya itu, untuk biaya operasional dan perawatan juga,” ungkap pria tiga cucu itu.
Tak hanya itu, kepedulian masyarakat juga tampak dari banyaknya orang yang memberikan makanan maupun minuman untuk konsumsi selama berjaga. “Itu, Mas, apalagi pas (hari) Jumat, panen kita. Banyak yang ngasih,” tutur Suro.
ADVERTISEMENT
‘Tugas’ yang Suro dan relawan lainnya lakukan tidak mudah dan berisiko tinggi. Tidak boleh lengah dan harus tetap siaga, karena nyawa taruhannya. Mereka berharap, masyarakat dapat tertib dan tidak suka melanggar.