Konten dari Pengguna

Eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia

TORANDO EL EDWAN
Mahasiswa Strata-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
31 Mei 2022 11:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari TORANDO EL EDWAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Masarakat Hukum Adat. Foto: dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Masarakat Hukum Adat. Foto: dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
Konsepsi negara hukum Indonesia menganut sistem pluralisme hukum yaitu dengan memberlakukan hukum hukum barat, hukum agama Islam dan hukum adat menjadi satu kesatuan. Keberagaman Indonesia menjadi hal yang tidak ternilai harganya dan harus dipertahankan keistimewaanya. Salah satunya yaitu Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang memiliki ciri khas masing-masing pada setiap wilayah dan tersebar luas di seluruh Indonesia. Untuk menjamin eksistensi MHA, negara diamanatkan berdasarkan ketentuan Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) untuk mengakui dan menghormati kesatuan MHA beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup.
ADVERTISEMENT
Setidaknya terdapat tiga poin penting yang berkaitan dengan isu pengakuan MHA. Pertama, kondisi MHA di Indonesia saat ini masih mengalami diskriminasi bahkan sampai tersingkir dari tanah mereka sendiri. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya konflik lahan dan kekayaan alam yang terjadi antara MHA dengan korporasi ataupun pemerintah yang terus terjadi, dan tak jarang menimbulkan konflik horizontal seperti kasus desa Wadas di Purworejo Jawa Tengah.
Kedua, permasalahan MHA saat ini sering menimbulkan konflik disebabkan oleh perbedaan prinsip antara MHA dengan non MHA, terutama dalam hal yang administratif. Melansir data dari Perkumpulan Hukum dan Masyarakat (HuMa) Indonesia, mencatat sepanjang 2018 saja ada sekitar 326 konflik sumber daya alam dan agraria di seluruh Indonesia. Konflik tersebut melibatkan area seluas 2.101.858 hektare dengan korban total mencapai 186.631 jiwa. Dari total jumlah korban tersebut, 176.637 berasal dari MHA.
ADVERTISEMENT
Ketiga, tidak terintegrasinya regulasi mengenai MHA. Regulasi mengenai MHA sendiri saat ini diatur di beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang terdapat substansi yang bertentangan, di antaranya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Kehutanan, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Akibat dari tidak terintegrasinya regulasi tersebut, berdampak pada belum optimalnya pengakuan, penghormatan, dan jaminan terhadap MHA di Indonesia.
Atas adanya tiga isu hukum mengenai MHA diatas menjadi hak menarik ketika berbicara mengenai eksistensi MHA saat ini. Meskipun MHA memiliki dasar yuridis pada UUD 1945 namun hingga saat ini Indonesia belum memiliki UU mengenai MHA, sehingga eksistensi mengenai landasan yuridis MHA tidak diatur secara khusus. Hal ini berimplikasi pada bentuk perlindungan masyarakat hukum adat itu sendiri. Adapun contoh implikasi terhadap bentuk perlindungan MHA tersebut terdapat pada proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan.
ADVERTISEMENT
Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terdapat sekitar 20.000 warga masyarakat adat akan menjadi korban proyek IKN di Kalimantan Timur, yang terbagi dalam 21 kelompok adat, 19 kelompok di Penajam Paser Utara dan 2 kelompok di Kutai Kartanegara. Hal ini berpotensi terjadi sengketa struktural yang dihadapi masyarakat adat melawan investor di wilayah tersebut terkait dengan sumber-sumber ekonomi, khususnya hak-hak ulayat yang dikuasai oleh MHA. Diperkirakan terdapat sekitar 1,5 juta orang akan bermigrasi secara bertahap ke IKN di Kalimantan Timur untuk menunjang kegiatan IKN. Keadaan berpotensi semakin mendesak dan mengasingkan masyarakat adat hingga terjadi proses marginalisasi terhadap MHA di sekitar IKN.
Perlindungan hukum MHA harus diutamakan, karena MHA tergolong masyarakat yang rentan karena tidak akan mampu bersaing secara ekonomi dengan para pendatang. Selain itu keberlangsungan ekonomi MHA bergantung pada ruang hidup tradisional yang berada di hutan, sawah, kebun, sungai, dan laut. Akibat dari proyek pembangunan IKN, MHA berpotensi akan banyak kehilangan tanah untuk penopang IKN. Dampaknya merekaakan kehilangan pekerjaan tradisional mereka. Ini berpotensi masyarakat adat yang berada di lokasi IKN akan menjadi buruh di tanahnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Adanya proyek pembangunan IKN yang mana lama pembuatan UU IKN yaitu 43 hari dengan kurang melibatkan partisipasi masyarakat terutama MHA, adalah bentuk nyata dari lemahnya perlindungan dari MHA. Perlu adanya penguatan status MHA dan hak-hak tradisional akan menjadi kuat jika Pemerintah Pusat menjabarkannya ke dalam peraturan hukum yang lebih konkret.
Eksistensi MHA pada UUD 1945 belum mengakomodir bentuk perlindungan hukum dari MHA itu sendiri, yang dibuktikan dengan permasalahan seperti pembangunan IKN. Untuk itu terhadap Pemerintah dan DPR agar segera membuat regulasi khusus yang terintegrasi untuk melindungi dan menjamin MHA dengan membahas dan mengesahkan RUU MHA. Karena pada pokoknya, MHA tidak terbatas pada persoalan hak, kewajiban, pemilikan dan penguasaan terhadap benda-benda bergerak dan tidak bergerak, materiel dan imateril, akan tetapi dapat mencakup perlindungan terhadap hak-hak cipta masyarakat tradisional.
ADVERTISEMENT