Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Relevansi Korean Wave terhadap Dinamika Relasi Korea Selatan-Jepang
25 Oktober 2023 12:34 WIB
Tulisan dari Trisnia Ananda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Budaya populer Korea Selatan sudah dikenal bahkan diikuti oleh banyak penggemarnya di berbagai negara. Terminasi Korean Wave atau hallyu merupakan penyebaran budaya-budaya Korea Selatan seperti drama, musik, dan industri hiburan lainnya. Ekspor ini dimulai sejak tahun 1990, dengan penyebaran awal di Asia yang kemudian meluas di benua Amerika, Eropa, bahkan ke Afrika Utara (Kim,2011). Keberhasilan Korean Wave masih relevan hingga detik ini. Hal ini terlihat dari berkembangnya jumlah idol Korea Selatan yang acapkali mengadakan konser di berbagai negara.
ADVERTISEMENT
Melejitnya Korean Wave
Di kawasan Asia Timur, Korea Selatan bukanlah pelopor dalam industri hiburan. Industri hiburan Jepang sebagai produsen budaya terbesar di wilayah Asia memang lebih dulu ada dan lebih unggul pada 1990-an. Produk yang dihasilkan Jepang berupa manga (komik), anime (animasi), dan bentuk hiburan lainnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa Korea Selatan dan Jepang memanfaatkan hiburan industri sebagai instrumen soft power dalam mempromosikan negaranya. Sayangnya, akibat krisis 1997, negara Asia berusaha menekan pengeluaran di tiap aspek, termasuk impor program hiburan. Di sinilah Korea Selatan mampu menggaet negara Asia karena harganya yang seperempat harga lebih murah dari produk hiburan Jepang (Haq, 2016).
Pada awalnya, hubungan Korea Selatan-Jepang terkait industri hiburan baik-baik saja. Hal ini terlihat dari Korean Wave yang memasuki Jepang di 2003 melalui drama televisi ‘Winter Sonata’. Acara ini digemari oleh banyak orang utamanya wanita paruh baya karena nilai tradisional seperti kekeluargaan dan cinta yang digambarkan cukup kental sehingga citra Korea Selatan di mata penonton Jepang mengarah ke pandangan yang positif. Relasi keduanya masih baik ditambah lagi pada tahun yang sama, beberapa Korean Pop Idol (Kpop Idol) memulai debutnya dan meroket di Jepang. Pada 2011, dua grup wanita menempati posisi tinggi penjualan album di pasaran musik Jepang. Kedua grup tersebut yakni KARA dengan 451.000 album dan Girls’ Generation dengan 642.000 album (Park dalam Kemala, 2018).
ADVERTISEMENT
Anti Korean Wave
Konsumen drama Korea di Jepang kemudian mendorong penggemar untuk melirik budaya Korea Selatan. Sayangnya, tidak semua masyarakat Jepang merespon positif fenomena Korean Wave ini. Pada tahun yang sama, yakni 2011, seorang aktor Jepang mempublikasikan rasa tidak sukanya terhadap banyaknya program televisi Korea yang ditayangkan di Jepang. Hal yang sama juga diungkapkan melalui gerakan demonstrasi yang dilakukan 500 orang di depan gedung stasiun ternama Jepang, Fuji TV (CNN, 2011).
Pemicu protes-protes tersebut akibat ketegangan sengketa teritorial Dokdo (penyebutan Korea)- Takeshima (penyebutan Jepang) yang menuai perhatian kembali di 2011. Sengketa ini memaksa pembuat keputusan bisnis hiburan Korea Selatan menahan promosinya di Jepang. Seorang aktor Korea Selatan, Song Il Gook, bahkan dilarang berpartisipasi dalam acara estafet renang di Jepang karena mencuitkan komentar mengenai kemerdekaan Republik Korea yang bersamaan dengan kekalahan Jepang di Perang Dunia II. Pada saat itu, selebriti Korea Selatan seakan dipaksa untuk memanasi ketegangan keduanya dengan menyatakan bahwa Kepulauan Dokdo adalah benar milik Korea Selatan.
ADVERTISEMENT
Gerakan Anti-Jepang
Rupanya di Korea Selatan pun gerakan anti-Jepang terlihat beberapa kali. Salah satu contohnya yakni ketika penayangan survival show Produce 48 yang mendapat rating rendah yakni 2% karena mengikutsertakan anggota Grup 48 dari Jepang. Hal ini disebabkan oleh stigma negatif terhadap Jepang yang masih terdapat di kalangan publik Korea Selatan. Bahkan sebelum ditayangkannya Produce 48, banyak artikel negatif yang diunggah untuk menyudutkan para anggota Grup 48 yang berpartisipasi pada program tersebut. Dalam artikel tersebut, muncul tuduhan bahwa beberapa anggota Grup 48 yang berpartisipasi di Produce 48, menganut pandangan politik sayap kanan dengan simbol-simbol imperialis Jepang dan berkunjung ke Kuil Yasukini yang merupakan tempat penghormatan bagi penjahat asal Jepang ketika masa Perang Dunia II (Park dalam Kemala, 2018).
ADVERTISEMENT
Persoalan Historis
Rupanya, isu keduanya bukan hanya mengenai sengketa teritorial yang tak kunjung usai. Ketegangan keduanya jauh berlangsung sejak perdebatan mengenai comfort women yang masih belum selesai bagi Korea Selatan. Comfort women merupakan perempuan-perempuan yang diculik untuk memuaskan tentara Jepang. Menurut United Nation, diperkirakan ada 200.000 perempuan Korea yang menjadi comfort women. Menanggapi isu tersebut, Pemerintah Jepang menyangkal dan menolak untuk meminta maaf dengan dalih bahwa semua permasalahan perang serta kompensasi telah diselesaikan pada San Francisco Peace Treaty di tahun 1951 dan Perjanjian Damai Korea Selatan-Jepang pada 1965. Akhirnya, sejak 1991 Pemerintah Jepang mulai mengungkapkan permohonan maaf yang sayangnya acap kali ditolak dan dianggap sebagai permintaan yang tidak resmi oleh Korea Selatan (Soh dalam Lalitya, 2020). K-pop idol kembali menuai perhatian ketika artis Korea bernama Sulli yang membahas isu comfort women berhenti diikuti di akun media sosialnya oleh seorang artis asal Jepang.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya masalah historis, rupanya sentimen anti-Korea di Jepang juga didorong akibat perasaan khawatir masyarakat Jepang terkait nilai tukar yen yang menurun. Perekonomian yang melemah diakibatkan sektor industri seperti elektronik dan lokomotif menurun. Elektronik asal Jepang menempati urutan 6, sedangkan Korea Selatan berhasil berada di posisi ke-2 dan ke-4 di seluruh dunia. Promosi dengan menggaet K-pop idol mendorong masyarakat Jepang untuk menggencarkan anti-Korean Wave (Haq, 2016).
Pada dasarnya, kedua negara masih memiliki permasalahan yang akarnya belum diselesaikan. Kemunculan Korean Wave dengan idol sebagai aktor utamanya justru dikendarai sebagai instrumen yang meningkatkan ketegangan antar keduanya. Sebagai aktor-non negara yang mampu menggiring opini publik, utamanya penggemarnya, sebagai bentuk diplomasi publik, fokus K-pop idol sebaiknya memang dalam ranah menyebarkan kebudayaan dan membantu perekonomian negara saja tanpa mengusik topik sensitif dalam politik. Jika dikaitkan dengan konsep regionalisme, posisi geografis negara yang berdekatan memang memudahkan terjalinnya kerja sama ataupun interdependensi. Sayangnya, akibat persoalan historis serta upaya dominasi dalam kawasan, kedekatan geografis negara dapat mengancam posisi negara lain dan menimbulkan konflik.
ADVERTISEMENT