Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Cerita di Seribu Hari Teddy Rusdy
26 Maret 2021 14:18 WIB
Tulisan dari Try Sutrisno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Anda tentu tahu Densus 88, pasukan antiteror itu. Tetapi, apakah tahu siapa sajakah yang memainkan peran penting mengawali pembentukan pasukan antiteror di Indonesia itu? Saya akan menceritakan salah satu tokoh kuncinya.
ADVERTISEMENT
Pasti pernah mendengar juga Peristiwa Woyla, pembajakan pesawat Garuda Indonesia rute Jakarta-Medan oleh kelompok Komando Jihad pada 1981. Tokoh yang akan saya ceritakan ini juga memainkan peran penting di dalamnya. Termasuk dalam perburuan uang korupsi Pertamina sebesar 78 juta dolar Amerika pada 1992. Juga pendirian SMA Taruna Nusantara.
Teddy Rusdy. Ya, dialah yang saya maksud. Secara umum tentu sudah diketahui peristiwa-peristiwa itu berkait dengan L.B. Moerdani yang disebut peneliti sejarah militer David Jenkins “menyandang posisi unik yang sebagai pejabat pucuk Hankam, Kopkamtib, dan Bakin”. Tetapi, tokoh intelijen ini tentu tidak bekerja sendiri. Ia bekerja dengan yang disebut—sekali lagi mengutip Jenkins—“kelompok inti lingkaran dalam”.
Nah, Teddy adalah “kelompok inti lingkaran dalam” jenderal yang biasa akrab disapa Benny itu, Ia ikut memainkan peran penting dalam peristiwa-peristiwa operasi rahasia, maupun operasi semi rahasia bersejarah tersebut. Tetapi, ia jarang disebut. Jarang (jika tidak dapat dikatakan hampir tidak pernah) disebut dalam perkisahannya karena sebagai seorang perwira intelijen menuntutnya berada di luar panggung dan berusaha untuk tidak menonjol atau menarik perhatian alias low profile. Selain itu Teddy adalah orang yang tidak suka menceritakan dirinya. Inilah sebab mengapa saya ingin berbagi cerita tentang sahabat saya yang unik ini.
ADVERTISEMENT
Mengapa saya merasa perlu menceritakannya? Sebab pada 24 Februari 2021, Teddy, genap 1.000 hari meninggal. Saya kira ini adalah waktu yang tepat untuk melihat sedikit wajah Teddy yang mengamalkan pesan “An intelligence officer is a faceless Hero!” Saya berbagi sekelumit tentangnya bukan untuk memamerkan jasanya, menuntut dihargai, tetapi lebih kepada ingin menaruhnya dalam posisi sejarah dengan tepat dan terhormat.
Saya pribadi adalah orang yang merasakan peran pentingnya dalam ketentaraan Indonesia pada 1970-an dan 1980-an. Ini semakin terasa ketika pada tahun 1989 saya menjabat sebagai Panglima ABRI, sungguh turut merasakan darma baktinya sebagai Asisten Perencanaan Umum (Asrenum) Panglima ABRI di dalam usaha memecahkan masalah-masalah perencanaan strategis bagi Jajaran TNI dan Polri.
ADVERTISEMENT
Teddy adalah tokoh intelijen awal Indonesia yang ditemukan oleh Benny pada Februari 1975 di ruang kelas pendidikan Sesko ABRI. Teddy saat itu berumur 35 tahun dan telah berdinas selama 12 tahun serta menyandang pangkat mayor udara. Sebagai pejabat Asisten Intelijen Hankam/Komkamtib, Benny diminta hadir menjadi pengisi materi. Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974 dan peran lembaga intelijen dijadikannya materi yang menantang untuk dianalisis di kelas itu. Benny segera kepincut dengan cara Teddy menganalisis peristiwa yang mengguncang konstelasi politik nasional itu.
Dalam buku biografi yang ditulis istrinya sendiri, Sri Teddy Rusdy, Mas Teddy (2015) disebutkan bahwa Teddy mengenal Benny pertama kali pada 1963, tetapi hanya sebatas nama. Ketika itu Teddy sedang menjalani tugas operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat di daerah operasi Morotai. Benny dalam operasi Trikora adalah tokoh legendaris berpangkat mayor. Ia memimpin Operasi Naga yang hampir merenggut nyawanya dalam misi infiltrasi di hutan belantara sekitar Merauke.
ADVERTISEMENT
Teddy, sebagai awak pesawat amfibi yang bisa mendarat di air (laut), menerbangkan pesawat Albatros (PB) dan Catalina (PBY) yang mampu terbang delapan jam. Pesawat ini sangat ideal untuk tugas-tugas infiltrasi menerobos pertahanan Belanda menurunkan pasukan intel dan membawa logistik yang sangat dibutuhkan Pasukan Naga pimpinan Benny.
Pengalaman itu membuat Teddy merasa meskipun tidak pernah bertemu Benny, tetapi sudah dekat di hati. Ini semakin kuat ketika pada 1964, dalam upacara terpisah, Benny di Istana Negara dan Teddy di Pangkalan Udara Iswahyudi, Madiun, menerima anugerah “Bintang Shakti”. Ini suatu tanda penghargaan tertinggi yang diberikan oleh negara kepada Prajurit TNI yang terpilih karena jasa-jasanya di medan pertempuran yang melebihi panggilan tugasnya.
Tak ayal ketika usai masa kelas pendidikan Sesko ABRI dan melalui KSAU Marsekal Saleh Basarah, Teddy diminta untuk menemui Benny yang ingin ia membantunya sebagai Staf Intelijen di Markas Besar ABRI segera saja disetujuinya. Saat itu pula Teddy mengetahui bahwa ketika Benny masuk kelas rupanya sedang mencari bibit perwira intelijen. Sebab pada saat yang hampir bersamaan telah bergabung Letkol Angkatan Darat Sudibyo, Nugroho, Letkol Angkatan Laut Sudibyo Rahardjo, dan M. Arifin. Mereka berlima menjadi tim lingkar dalam Jenderal Benny sampai kemudian menjadi Panglima ABRI dan Menteri Pertahanan Keamanan RI.
Teddy di keperwiraan intelijen mengawali tugasnya sebagai Kepala Biro Asia Pasifik AS INTEL HANKAM/KOPKAMTIB. Lantas dengan cepat naik menjadi “Sekretaris Pribadi” AS INTEL KOPKAMTIB. Proses integrasi Timor Timur termasuk tugas pertama operasi intelijen yang diemban Teddy dan Operasi Flamingo yang dirancangnya menjadi kunci sukses pengintegrasian Timor Timur dan perkembangan menyeluruhnya.
ADVERTISEMENT
Setelah itu melalui Kepres No. 9 tahun 1977, ia mewakili asisten intelijen Hankam masuk dalam tim kerja yang bertugas menarik uang deposito hasil korupsi H. Ahmad Thahir, mantan pejabat Pertamina, dari Bank Sumitomo, Singapura. Uang korupsi itu disimpan sebagai “joint account” atas nama Thahir dan Kartika, istri mudanya, sejumlah DM 55.732.393 dan US 1.240.547. Tugasnya bersama tim adalah mengembalikan uang itu kepada pemerintah Indonesia. Tugas ini sukses setelah 14 tahun melalui jalan sangat rumit dan berliku pengadilan di Singapura. Teddy berpangkat letnan kolonel ketika menerima perintah sebagai anggota tim dan berpangkat Marsekal Muda TNI sebagai asisten perencanaan umum panglima ABRI, ketika kasusnya tuntas.
Selain itu yang penting juga disebut bagaimana Teddy memainkan peran penting memodernisasi kekuatan tempur TNI AU. Pada 1978, ia oleh Benny diminta menjalankan operasi intelijen Proyek Alpha yang rumit antar-negara, tetapi akhirnya sukses membuat pemerintah Israel menyetujui penjualan 30 buah pesawat A-4E Skyhawk kepada Pemerintah RI dan pelatihan penerbangnya.
ADVERTISEMENT
Masih terkait dengan pesawat udara, Teddy terlibat dalam upaya pembentukan pasukan anti teror yang berawal dari kerisauan atas banyaknya aksi terorisme di dunia. Sejak 1958 sampai dengan 1979 terjadi belasan kali pembajakan kapal udara oleh teroris. Berlatar belakang itulah Jenderal L.B. Moerdani meminta Mas Teddy untuk menyiapkan pasukan khusus antiteror secara utuh dan menyeluruh, mulai dari organisasi, tugas, pelatihan, pendidikan, peralatan, dan perlengkapan khusus, serta markasnya. Setelah persiapan-persiapan mendekati sempurna pada awal 1981, dan setelah melalui proses seleksi yang ketat, terpilih dua anggota kopassus yang dinilai tepat untuk dilatih di GSG-9, Jerman, yakni Mayor Inf. Luhut Panjaitan dan Kapten Inf. Prabowo Subianto.
Hal yang dikhawatirkan Teddy mengenai bahaya terorisme di wilayah Indonesia menjadi kenyataan. Lebih cepat dari antisipasi yang telah direncanakan untuk membentuk pasukan khusus antiteror. Pada 28 Maret 1981, pesawat DC-9 dengan nomor penerbangan GA 206 tujuan Medan dari Palembang menyiarkan bahwa pesawatnya telah dibajak (being hijacked). Kalangan intelijen segera tahu bahwa pelakunya adalah gerombolan ekstrem kanan, penyerbu pos polisi Cicendo, Bandung.
ADVERTISEMENT
Teddy bersama Brigjen TNI M.I. Sutaryo, Wakil Komandan STI Kopkamtib, menyusun 35 personel yang dibutuhkan dari Kopassus, dengan Letkol Sintong Panjaitan sebagai komandan dan Mayor Subagyo H. S. sebagai wakilnya. Pada 30 Maret 1981, setelah persetujuan dari Pemerintah Kerajaan Thailand diberikan, maka Pasukan Kopassandha pun masuk, menyerbu, dan membebaskan para sandera penumpang pesawat Woyla. Ini menjadi kisah dramatis dalam sejarah yang terus disebut-sebut sebagai sukses menangani terorisme.
Saya rasa ruang terlalu sempit untuk melanjutkan beberapa kisah lagi terkait peran penting Teddy sebagai seorang agen intelijen luar biasa yang menjalankan berbagai operasi rahasia untuk urusan luar negeri, dari operasi pembajakan, penguasaan Timor Timur, perkara korupsi atau pengawalan lawatan penting presiden yang terbuka maupun tertutup. Ia menolak jabatan KSAU menggantikan Marsekal Utomo. Pilihannya tetap di dunia intelijen sebagai Asisten Perencanaan Umum (Asrenum) Panglima ABRI merangkap Perwira Staf Ahli Kepala Badan Intelijen Strategis (KABAIS) ABRI. Mungkin inilah yang membuat beberapa orang menyebutnya sebagai James Bond/Agen 007 Indonesia. Saya kira berlebihan.
ADVERTISEMENT
Tetapi, saya ingat ketika menjadi Panglima ABRI. Saat itu tengah berjalan “Debenisasi” atau mengganti orang-orang yang dekat dengan Benny oleh Presiden Soeharto. Tetapi, Teddy tetap menjalankan tugas dari Benny untuk menjaga keselamatan presiden. Ia kemudian masuk sebagai tim pelapis tak resmi yang mengawal keselamatan presiden yang berangkat haji di tengah banyaknya aksi teror di Timur Tengah. Ini tugas yang sangat berisiko karena tidak terdaftar dalam rombongan resmi RI 1. Sebab kuatir membuat presiden tidak nyaman dengan melihat “orangnya benny”. Sebab itu selama jadi tim pelapis pengamanan diharuskan menyamar. “Jadi kami menyamar dari musuh dan menyamar dari objek yang diamankan ya?” seloroh Teddy kepada saya.
Berlatar itulah, ketika Presiden Soeharto meminta saya sebagai Panglima ABRI mengganti Teddy ada perasaan bangga bahwa permintaan presiden itu ditolak. Saya membangkang dan tetap mempertahankan Teddy.
ADVERTISEMENT
Kembali kepada James Bond/Agen 007 Indonesia itu. Sekali lagi saya rasa berlebihan. Saya lebih merasa pas mengikuti apa yang disebut istrinya sendiri, Sri Teddy Rusdy, bahwa ia seumpama Hanoman dan Mustakaweni. Ini adalah tokoh yang memainkan peran intelijen dalam pewayangan. Ia bekerja dalam sunyi, tetapi sangat rapi dan menentukan jalan peristiwa sejarah.