Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Berkenalan dengan Komunisme Tiongkok
4 Januari 2022 10:35 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Tizar Shahwirman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika mendengar kata Komunisme , berbagai anggapan buruk, bahkan busuk, sering muncul di dalam kepala orang yang mendengarnya.
ADVERTISEMENT
Tidak percaya? Lihat saja komentar-komentar yang dilontarkan oleh para warganet ketika dihadapkan oleh konten-konten yang membahas Komunisme. Mereka tidak segan memainkan jemarinya di atas gawai canggih untuk melontarkan komentar negatif terhadap konten-konten tentang Komunisme.
Hal ini sering terjadi ketika Tiongkok menjadi tajuk utama karena negara tersebut memang memiliki sejarah yang panjang dan kelam dengan Komunisme.
Namun, alangkah baiknya jika kita memiliki pemahaman yang baik tentang Komunisme, khususnya Komunisme Tiongkok. Jemari kita harus terdidik untuk dapat menghasilkan argumentasi yang lebih tepat sasaran.
Nukilan pendek ini akan membahas dua pertanyaan terkait Komunisme Tiongkok. Sebelum masuk ke alam pikiran Tiongkok, kita harus memahami terlebih dahulu arti dari komunisme itu sendiri.
Selanjutnya, bagaimana Komunisme hidup berdampingan dengan alam pikiran Tiongkok dan dampaknya terhadap berbagai kebijakan publik yang dibuat oleh negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Komunisme Ala Lenin Tak Sepenuhnya Seirama dengan Komunisme Karl Marx
Saking buruknya citra Marx, khususnya di Indonesia, sejumlah karyanya dan tulisan yang membahas tentangnya sempat dilarang, bahkan dibakar secara besar-besaran.
Menurut penulis, menyalahkan Marx merupakan tindakan yang gegabah karena pandangan filosofis Komunisme yang menimbulkan bencana mengerikan bagi umat manusia tidak sepenuhnya bertumpu pada pandangan Marx.
Vladimir Lenin (1870-1924) adalah orang yang bertanggung jawab atas berbagai peristiwa kemanusiaan yang dimaksud di atas.
Lenin, dalam (Magnis-Suseno, 2003, 31-43), menginterpretasikan pandangan Marx tentang perjuangan proletariat (kaum buruh atau kelas bawah) dalam melawan Kapitalisme ke arah yang menghalalkan hal-hal buruk seperti kediktatoran Partai Komunis dalam mengelola negara. Maka dari itu, ketika kita mendengar kata Komunisme, maka istilah yang tepat dalam menggambarkan pandangan filosofis tersebut adalah Marxisme-Leninisme, bukan Marxisme.
ADVERTISEMENT
Komunisme atau Marxisme-Leninisme bertumpu pada pemikiran Marx dan Engels yang diinterpretasikan oleh Lenin (pemikiran murni Marx dan Engels tidak akan penulis bahas secara detail pada kesempatan ini).
Franz Magnis-Suseno (2013, 65-67) memaparkan bahwa terdapat tiga ajaran pokok Marxisme-Leninisme, yaitu Filsafat Marxis-Leninis, Ekonomi Politik, dan Komunisme Ilmiah. Pemikiran ini tercermin dalam tata kelola atau kebijakan-kebijakan publik yang dilakukan oleh Uni Soviet.
Filsafat Marxis-Leninis terdiri dari dua bagian, yaitu Materialisme Dialektis dan Materialisme Histori. Materialisme Dialektis adalah pandangan Engels dan Lenin yang menyebutkan bahwa hakikat atau substansi segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun rohani, adalah materi. Artinya bukan hal-hal yang bersifat adi-duniawi seperti roh, dewa, atau Tuhan.
Di samping itu, pandangan Materialisme Historis merupakan pemikiran Marx tentang hukum-hukum dasar perkembangan masyarakat. Pandangan tersebut menjelaskan faktor-faktor yang menentukan perkembangan masyarakat dalam kehidupan bersama manusia.
ADVERTISEMENT
Ekonomi Politik adalah kritik terhadap Kapitalisme dan Imperialisme. Kritik terhadap Kapitalisme adalah pemikiran Marx yang ia utarakan dalam karya termasyurnya Das Kapital yang berbicara tentang pertentangan antara kelas atas (pemilik modal) dan kelas bawah (buruh). Marx juga mengupas soal kehancuran Kapitalisme yang disebabkan oleh sistem cacat di dalamnya, sehingga dapat dipastikan Revolusi Proletariat oleh kaum buruh akan terjadi.
Apabila kritik terhadap Kapitalisme dicetuskan oleh Marx, Kritik terhadap Imperialisme dicetuskan oleh Lenin. Menurut Lenin,Imperialisme merupakan tingkat tertinggi Kapitalisme karena dalam bentuk inilah Kapitalisme menyebar ke seluruh dunia.
Pada suatu titik tertentu, ketika Kapitalisme sudah menyebar ke seluruh dunia dan pertentangan antar kelas terjadi di seluruh dunia, maka Revolusi Proletariat yang akan menghancurkan Kapitalisme niscaya akan terjadi (Magnis-Suseno, 2005, 234-239).
ADVERTISEMENT
Pemikiran Marxisme-Leninisme yang terakhir adalah Komunisme Ilmiah atau suatu teori atau taktik gerakan komunis internasional yang digagas oleh Lenin. Inti pemikiran ini adalah pandangan Lenin soal dibutuhkannya suatu Kediktatoran Proletariat yang diwakili oleh negara melalui peran Partai Komunis agar Revolusi Proletariat dapat terjadi.
Dengan kata lain, Komunisme Ilmiah adalah proses transisi, yang menurut Lenin niscaya akan terjadi karena bersifat ilmiah, dari Revolusi Sosialis (Revolusi Bolshevik di Uni Soviet yang mengambil alih kekuasaan) ke Sosialisme (Kediktatoran Proletariat yang menghancurkan Kapitalisme) dan dari Sosialisme ke Komunisme (situasi yang menggambarkan telah hancurnya Kapitalisme sehingga negara tidak dibutuhkan lagi).
Narasi Komunisme atau Marxisme-Leninisme memang menggugah, terutama bagi orang-orang yang merindukan suatu pembebasan dari segala keterasingan atau penindasan. Cita-cita Komunisme terdengar mulia walaupun realisasinya tidak seindah pemikiran filosofis yang mendasarinya karena telah menelan banyak korban jiwa.
ADVERTISEMENT
Menurut hemat penulis, alam pikiran Komunisme cacat karena status ilmiahnya (lihat pandangan Komunisme Ilmiah) menolak untuk disanggah, diragukan, atau dikoreksi.
Padahal, menurut Popper (2009, 471-476), falsifikasi atau proses menyanggah suatu teori atau hukum ilmiah merupakan aspek wajib dalam ilmu pengetahuan. Jika teori atau hukum ilmiah menolak untuk difalsifikasi, maka hal itu tidak lebih dari sekadar ilmu semu atau pseudoscience. Namun, hal ini berhasil dihindari oleh Mao Zedong ketika ia membawa Marxisme-Leninisme ke Tiongkok.
Bagaimana Komunisme Bertengger di Tiongkok?
Membahas Komunisme Tiongkok tidak bisa lepas dari sosok Mao Zedong, pendiri Partai Komunis Tiongkok yang juga merupakan Founding Father Republik Rakyat Tiongkok. Pada dasarnya, Komunisme atau Marxisme-Leninisme digunakan oleh Mao Zedong sebagai landasan perjuangan pembebasan dari segala ketertindasan yang disebabkan oleh Imperialisme dan Kapitalisme.
ADVERTISEMENT
Pandangan Marxisme-Leninisme yang penuh dengan narasi tentang harapan yang akan membebaskan manusia dari segala keterasingan telah menarik perhatian Mao. Terlebih lagi, Marxisme-Leninisme pada saat itu telah menunjukkan keampuhannya di Uni Soviet melalui Revolusi Bolshevik.
Hal ini yang membuat Mao yakin bahwa Marxisme-Leninisme merupakan ideologi yang tepat untuk diadopsi oleh Tiongkok sebagai jalan menuju pembebasan. Namun, Mao berbeda dari Lenin yang menganggap Marxisme-Leninisme merupakan ideologi yang sudah final dan tidak dapat disanggah (difalsifikasi), dikritik, atau disesuaikan dengan kondisi masyarakat tertentu.
Mao tidak menelan mentah-mentah Marxisme-Leninisme. Mao menyesuaikan ideologi tersebut dengan kondisi politik dan historis Tiongkok.
Sekurang-kurangnya, menurut Arif Dirlik (1996, 124), terdapat dua ciri khas Marxisme-Leninisme ala Tiongkok. Pertama, Marxisme-Leninisme disesuaikan oleh Mao berdasarkan tiga tuntutan situasi historis yang dihadapinya di Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Pertama, dimensi global atau Marxisme-Leninisme sebagai kekuatan untuk melawan hegemoni Kapitalisme internasional. Kedua, dimensi dunia ketiga atau Marxisme-Leninisme sebagai sarana untuk mematahkan hegemoni asing dan mengembalikan kedaulatan Tiongkok atas dirinya sendiri. Ketiga, dimensi nasional atau Marxisme-Leninisme sebagai sarana untuk memastikan kembali identitas Tiongkok.
Ketiga dimensi tersebut mengindikasikan dua hal terkait Marxisme-Leninisme ala Tiongkok. Kaum Marxis Tiongkok harus menguasai pengetahuan mendalam tentang bahasa serta sejarah Tiongkok (Schramm, 1971, 105) dan Marxisme-Leninisme berkaitan dengan kepentingan langsung Mao Zedong dalam menjalankan strategi revolusioner yang bertujuan untuk membebaskan rakyat Tiongkok dari penjajahan (Dirlik, 1996, 129).
Mao dalam (Magnis-Suseno, 2013, 103-104) menyebutkan ciri khas kedua dengan istilah-istilah yang saling berhubungan, yaitu Praksis, Kontradiksi, dan Garis Massa. Menurut Mao, Marxisme-Leninisme bukanlah suatu kebijaksanaan (teori) yang jatuh dari surga, tetapi berasal dari praksis revolusioner yang berasal dari pengalaman terasing dan tertindas yang dialami oleh manusia.
ADVERTISEMENT
Namun, Mao tidak berhenti pada posisi tersebut. Berbeda dari Marx atau Lenin yang menyatakan bahwa praksis menghasilkan teori revolusioner, lalu berhenti sampai di situ. Mao berbeda. Menurut Mao, pengetahuan dimulai dari pengalaman indrawi (praksis), lalu diolah oleh akal budi manusia sehingga keteraturan internal atau hakikat realitas dapat dicapai (teori), dan teori tersebut perlu diuji kembali melalui praksis untuk mengetahui apakah teori tersebut benar atau tidak. Sesuai dengan perjuangan revolusioner atau tidak.
Proses ujian tersebut mengandaikan perlunya umpan balik dari massa (rakyat) yang diakomodir oleh Partai Komunis. Proses praksis-teori-praksis yang bersifat dialektis tersebut disebabkan oleh hubungan saling menegasikan (kontradiksi) antara kenyataan (praksis) dan teori.
Mao menambahkan, perjuangan yang digambarkan melalui kontradiksi-kontradiksi tersebut berlangsung tanpa interupsi. Artinya, sesudah Komunisme berkuasa atau ketika negara sudah dihapus, perjuangan tidak akan pernah berhenti.
ADVERTISEMENT
Penulis memiliki dua tanggapan kritis terkait pandangan filosofis Komunisme ala Tiongkok yang dikembangkan oleh Mao.
Pertama, Komunisme Tiongkok jauh lebih masuk akal jika dibandingkan dengan Komunisme Uni Soviet yang digagas oleh Lenin. Komunisme Tiongkok terbuka untuk disanggah (difalsifikasi), dikritik, atau disesuaikan dengan kebutuhan sehingga Komunisme tidak dianggap final.
Komunisme selalu berkembang di Tiongkok. Hal ini terlihat secara terang benderang dari berbagai kebijakan publik yang tidak hanya dibuat oleh Mao Zedong, tetapi juga para penerus-penerusnya.
Kebijakan-kebijakan yang membuka ekonomi Tiongkok sejak pemerintahan Deng Xiaoping hingga Xi Jinping merupakan bukti nyata bahwa Komunisme sebagai ideologi Tiongkok selalu dapat berkembang dari masa ke masa. Menurut hemat penulis, hal inilah yang membuat Komunisme di Tiongkok masih berdiri tegak hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Kedua, dibalik aspek positif yang terlihat, Komunisme Tiongkok tetap memiliki kelemahan besar khususnya terkait isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM ).
Masih ingat dengan kebijakan Mao Zedong yang bernama Lompatan Jauh ke Depan (The Great Leap Forward), kebijakan yang bertujuan untuk memajukan ekonomi Tiongkok melalui industrialisasi besar-besaran pada 1958-1960? Atas nama perjuangan pembebasan rakyat Tiongkok dari segala keterasingan melalui transformasi ekonomi, jutaan manusia meninggal secara sia-sia karena dipaksa bekerja keras untuk membuat industrialisasi berhasil di Tiongkok.
Jika melihat pada situasi hari ini, kita juga bisa lihat orang-orang yang mendadak menghilang (contoh baru-baru ini: Jack Ma) karena mengkritik pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa HAM merupakan aspek yang dianggap tidak penting oleh pemerintah Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Ambisi untuk memajukan ekonomi membuat pemerintah Tiongkok bersikap tidak acuh terhadap HAM. Pertanyaan penting yang perlu dijawab oleh kita semua, Apakah kemajuan ekonomi memiliki arti atau makna yang baik jika HAM dikesampingkan? dan Apakah kemajuan ekonomi sama dengan situasi yang menggambarkan manusia telah bebas dari segala penindasan dan keterasingan?
Silakan Anda refleksikan!
Referensi:
Dirlik, Arif. "Mao Zedong and 'Chinese Marxism'." Dalam Marxism Beyond Marxism, diedit oleh Saree Makdisi dkk, 119-148. London: Routledge, 1996.
Popper, Karl. "Science: Conjectures and Refutations." Dalam Philosophy of Science: An Historical Anthology, diedit oleh Timothy McGrew dkk, 471-488. West Sussex: Wiley-Blackwell, 2009.
Magnis-Suseno, Franz. Dalam Bayangan Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
ADVERTISEMENT
Magnis-Suseno, Franz. Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013.
Magnis-Suseno, Franz. Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2016.
Schramm, Stuart R. The Political Thought of Mao Tse-tung. Westport: Praeger, 1971.