Konten Media Partner

Aliansi Malang Melawan Sebut Polisi Tangkap Demonstran dengan Kekerasan

12 Oktober 2020 15:40 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aksi Tolak Omnibus Law. Foto: Ben
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Tolak Omnibus Law. Foto: Ben
ADVERTISEMENT
MALANG - Tim Bantuan Hukum Aliansi Malang Melawan menuding aksi penangkapan demonstran aksi menolak UU Cipta Kerja atau Omnibus Law pada Kamis lalu (8/10/2020), melanggar hukum. Ada banyak pengakuan demonstran ditangkap secara represif dengan kekerasan oleh oknum kepolisian.
ADVERTISEMENT
Hal ini diungkapkan Tim Bantuan Hukum Malang Bersatu (LBH Malang 19), LBH Surabaya Pos Malang, dan LBH Neratja Justitia, melalui keterangan tertulisnya, pada Senin (12/10/2020).
Mereka menyebut, penangkapan terhadap demonstran disertai dengan tindakan yang mereka sebut assesive use a force (eighenrechting) yang melanggar hukum dan prosedur penangkapan. Mulai memukul dengan tongkat, menendang wajah, kepala, tangan, kaki, dan tubuh demonstran.
ads
“Selain itu, penangkapan masa aksi di bawah umur juga tidak ditangani dengan prinsip restorative justice secara serius oleh Polisi,” ungkap Daniel Siagian dari LBH Surabaya Pos Malang.
Dia mengatakan, hal ini didapatkan dari pengakuan sejumlah demonstran yang ditangkap kemarin. Mereka mengaku mendapat perlakuan kekerasan hingga menyebabkan luka lebam dan memar di beberapa bagian tubuh. Ada juga yang mengalami luka di kepala. Bahkan, sebagian dilarikan ke rumah sakit.
ADVERTISEMENT
“Padahal secara normatif, kebebasan berpendapat di muka umum dilindungi undang-undang,'' tegasnya.
Adapun, aturan yang dimaksud, yakni merujuk pada UU No 9/1998 tentang Kebebasan Berpendapat di Muka Umum, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab untuk: melindungi HAM, menghargai asas legalitas, prinsip praduga tak bersalah, dan menyelenggarakan pengamanan, serta Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Kemudian, lanjut dia, Perkap Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum menjelaskan secara umum, bahwa pelaku yang taat diberikan perlindungan hukum dan pelaku anarkis ditindak tegas dengan cara-cara manusiawi (tidak dianiaya, diseret, dilecehkan, dan sebagainya).
Masih kata dia, dalam Pasal 24 Perkapolri 9/2008, bahwa dalam menerapkan upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif. Misalnya tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul.
ADVERTISEMENT
Adapun, sebut dia, dari sekian 129 demonstran yang ditangkap, sebanyak 17 orang merupakan anak di bawah umur, 5 orang perempuan, dan sisanya merupakan mahasiswa dan warga sekitar.
Terpisah, Prasetya, perwakilan demonstran dari Aliansi Malang Melawan, menuturkan hal serupa. Menurutnya, tindakan represif yang dilakukan polisi, tidak dapat dibenarkan dan melanggar hak asasi manusia.
Dia menyebutkan peraturan lain terkait pengamanan demonstrasi ini, yaitu Peraturan Kapolri No 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Protap Dalmas). Aturan yang kerap disebut Protap itu tidak mengenal ada kondisi khusus yang bisa dijadikan dasar aparat polisi melakukan tindakan represif.
Dalam kondisi apapun, kata dia, Protap justru menegaskan bahwa anggota satuan Dalmas dilarang bersikap arogan dan terpancing perilaku massa. Protap juga jelas melarang anggota satuan Dalmas melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai prosedur.
ADVERTISEMENT
“Termasuk melarang hal rinci seperti mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual, atau memaki-maki pengunjuk rasa pun dilarang,” jelasnya.
Disamping larangan, lanjut dia, Protap juga memuat kewajiban menghormati HAM setiap pengunjuk rasa.
“Jadi, pada prinsipnya, aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi tidak memiliki kewenangan untuk memukul demonstran. Kebebasan menyatakan pendapat dilindungi oleh konstitusi,” imbuhnya.
Dari sekian pertimbangan tersebut, Aliansi Malang Melawan dalam rilisnya menyatakan sikapnya, yakni mengecam tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap massa aksi Tolak Omnibus Law.
Lalu, mereka menuntut Polresta Malang Kota untuk bertanggung jawab penuh dalam proses pemulihan korban kekerasan aparat, baik secara medis maupun psikis.
''Kami juga menuntut dibebaskannya seluruh massa aksi yang ditahan di Polresta Malang Kota, dan massa aksi seluruh Indonesia tanpa syarat,'' pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Terpisah, Kapolresta Malang Kota, Kombes Pol Leonardus Simarmata, menyangkal tudingan tindakan represif tersebut.
Leo menuturkan, pihaknya sudah melakukan penanganan demo sesuai prosedur. ''Kita sudah sesuai prosedur. Sesuai tahapan penanganan demo anarkis. Penanganan kami sudah sesuai protap dan aturan SOP Polri," sebutnya.