Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Idul Fitri: Momentum Revitalisasi Fitrah Kehambaan dan Fitrah Kekhalifahan
24 Mei 2020 7:03 WIB
ADVERTISEMENT
Alhamdulillah, memasuki hari Idul Fitri 1441 H, sebagai seorang muslim, kita harus bersyukur meskipun kita dalam keadaan prihatin karena pandemi COVID-19 ini. Setelah selama satu bulan melakukan ibadah puasa, idul fitri ini merupakan momentum bagi kita untuk mengingat kembali kepada fitrah dan hakikat jadi diri kita baik sebagai hamba sekaligus sebagai khalifah. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Rum ayat 30 yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
ADVERTISEMENT
Ketika menafsirkan ayat di atas, Syekh Ahmad Musthafa al-Maraghi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “fitrah” adalah al-tahayyu liqubul al-haqq wa din al-tawhid (kesiapan mental untuk menerima kebaikan dan agama yang Esa/tauhid). Sesuai penafsiran ini, sesungguhnya manusia ketika lahir diliputi oleh potensi kebaikan-kebaikan. Ia dalam keadaan baik dan berpihak pada kebaikan serta kesucian. Ia memiliki hati suci dan tidak mau untuk dikotori. Inilah sesungguhnya potensi dasar yang dimiliki oleh manusia. Namun demikian, potensi kesucian yang dimiliki manusia seringkali terkikis oleh gangguan dan rongrongan terutama dari luar dirinya. Kondisi lingkungan keluarga dan masyarakat sosial lainnya turut memberikan andil terhadap pengikisan potensi kefitrahan. Oleh karena itu, orang yang fitrah sesungguhnya adalah orang yang mampu membentengi diri dari godaan-godaan yang tidak baik.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, ibadah puasa merupakan sarana yang diberikan oleh Allah agar manusia mampu mempertahankan kefitrahannya itu. Ibadah puasa mengajarkan kepada kita agar menghilangkan atau meminimalisasi nafsu-nafsu kemanusiaan dan meneladani sifat-sifat keilahian/ketuhanan. Ibadah puasa pun mengisyaratkan agar manusia senantiasa agar dapat melakukan yang terbaik, ikhlas, jujur dan nilai-nilai kebaikan lainnya. Jika manusia mampu melakukan pesan-pesan moral ibadah puasa itu dalam kehidupannya, maka layaklah ia berada dalam kefitrahannya dan mendapatkan predikat muttaqin. Mudah-mudahan, kita semua yang hadir di tempat ini termasuk di dalamnya, amin.
Memahami fitrah manusia sejatinya juga menyadari akan hakikat dirinya. Allah SWT telah memberi kepercayaan kepada manusia untuk memegang tugas kehambaan dan tugas kekhalifahan. Sebagai hamba, manusia diciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya QS al-Dzariyat ayat 56, yang artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
ADVERTISEMENT
Fungsi kehambaan (abid) relasinya adalah dirinya secara personal kepada Tuhannya. Manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Tuhan (khaliq) sehingga berkewajiban untuk berterima kasih kepada-Nya. Ia harus patuh, tunduk, tanpa reserve terhadap apapun yang diperintahkan oleh Allah Sang Maha Pencipta. Siapa yang melanggar akan ketentuan itu dinyatakan sebagai orang yang mengingkari akan hakikat dirinya, yang dalam bahasa keagamaan disebut kufr.
Dalam QS. al-Dzariyat [51]: 56 di atas secara tegas dikatakan bahwa manusia merupakan yang diciptakan (makhluq) sedangkan Alloh SWT sebagai yang menciptakan (khaliq). Keterciptaan manusia ini membuat keharusan bagi manusia untuk beribadah, menyerahkan diri secara total kepada Alloh. Penyerahan diri kepada Alloh ini dalam banyak hal tidak mengedepankan validitas secara rasional. Oleh karena itu, jika dinyatakan dalam bentuk garis maka fungsi kehambaan ini dapat digambarkan dengan garis vertikal, di mana posisi Alloh berada di atas sedangkan manusia berada di bawah.
ADVERTISEMENT
Patut digaris bawahi bahwa bentuk-bentuk kehambaan ini memiliki muatan dan fungsi-fungsi sosial yang perlu diimplementasikan secara sosial. Sebab, yang membutuhkan penyembahan manusia bukanlah Alloh, tetapi manusia itu sendiri. Alloh bukanlah Dzat yang memiliki kebutuhan, oleh karenanya Dia tidak bersifat kurang (naqish). Akan tetapi, justeru manusialah yang membutuhkan akan makna sosial dari bentuk-bentuk kehambaan ini. Oleh karena itu, orang yang berhasil dalam beribadah adalah orang yang mampu memanivestasikan muatan dari praktek ibadah itu dalam ranah sosial.
Sebagai khalifah, manusia adalah makhluk yang diberi kepercayaan oleh Allah Swt. untuk memakmurkan bumi dan alam semesta ini. Relasinya adalah manusia dengan sesama manusia dan dengan alam. Firman Allah dalam QS al-Baqarah ayat 30 menyatakan: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
ADVERTISEMENT
Sebagaimana makna asal katanya, khalifah di sini dipahami sebagai wakil Tuhan untuk mengurus, mengelola, mengayomi, memakmurkan, dan memanfaatkan segala isi yang ada di muka bumi. Di samping itu, fungsi kekhalifahan ini juga menegaskan secara meyakinkan akan terbentuknya tatanan pranata sosial yang adil, demokratis, setara, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Antara satu dengan yang lainnya memiliki relasi yang sama besar dan sama kuat. Di antara mereka tidaklah dianggap sebagai subordinasi. Oleh karena itu, secara historis-sosiologis kehidupan keduniaan harus didasarkan atas kevalidan secara rasional. Jika diwujudkan dalam bentuk gambar maka tugas kekhalifahan ini akan membentuk garis horizontal, ujung satu dengan yang lainnya adalah manusia yang memiliki relasi kesejajaran.
Dalam Islam, kedua fungsi di atas harus dapat disinergikan secara seimbang. Tuntutan kehambaan harus dapat diwujudkan secara seimbang dengan tuntutan kekhalifahan. Tidak dianggap sebagai orang yang baik (insan kamil) jika ia hanya mampu menjalankan fungsi-fungsi kehambaannya, sementara fungsi sosial-kemanusiaan terbengkalai. Demikian juga sebaliknya, bukanlah orang yang baik jika ia hanya mementingkan tugas-tugas kekhalifahan sementara tugas kehambaannya tidak diaktualisasikan. Dengan demikian, fitrah manusia adalah menjalankan tugas-tugasnya dengan sukses baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah di muka bumi secara seimbang.
ADVERTISEMENT
Banyak sekali sindiran Allah SWT. kepada orang yang hanya memenuhi salah satu tugas dengan mengabaikan tugas lainnya. Misalnya dalam surat al-Mâ’ûn dilontarkan celaan kepada orang-orang yang mengerjakan shalat tetapi suka menghardik anak yatim dan tidak mau peduli kepada orang miskin. Orang seperti ini dijuluki pendusta agama (yukadzdzibu bid-dîn). Allah berfirman dalam QS al-Mâ’ûn ayat 1-7: Artinya: [1] Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? [2] Itulah orang yang menghardik anak yatim, [3] dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. [4] Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, [6] orang-orang yang berbuat riya, [7] dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
Orang seperti ini hanya melakukan tugas kehambaan saja dalam bentuk ibadah mahdlah, tetapi ibadah sosial dia lalaikan. Meski mengerjakan shalat dan menyembah Allah, dia akan mengalami celaka di akhirat nanti, sebab dia lupa akan makna shalatnya. Dia beribadah hanya secara formalistik, tetapi tidak secara substansialistik. Dalam kehidupan sehari-hari, dia shalat tetapi lisannya tidak dijaga, telinga tidak diperhatikan, mata berkeliaran ke mana-mana, kaki melangkah ke jalan yang tidak dibenarkan, pemikiran menyalahi aturan. Ini teguran yang luar biasa dari Allah lewat surat al-Mâ’ûn ini.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, di dalam Islam, ritual ibadah selalu memiliki dua hal secara integral: formalistik dan substansialistik Tidak ada ibadah dalam Islam yang hanya dianjurkan secara aspek formalistik semata. Antara formalistik dan substansialistik harus dilakukan secara seimbang. Dalam hal ibadah puasa, juga demikian. Hadis Nabi menyatakan:
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ حَظٌّ مِنْ صَوْمِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَالْعَطَشُ
Artinya: Betapa banyak orang yang berpuasa, dia tidak mendapat apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan haus.
Orang yang melakukan ibadah puasa tidak mendapatkan balasan apapun disebabkan dirinya tidak mampu membangun harmoni dalam kehidupan sosialnya. Pikiran, gerakan, lisan, dan anggota tubuh lainnya tidak terjaga dari perilaku destruktif merusak.
Begitu pula ibadah haji, Nabi SAW menyebutkan: Haji yang mabrur tidak ada balasan yang setimpal kecuali surga. Ketika itu para sahabat menanyakan bagaimana haji yang mabrur itu, Rasulullah menjawab, “Dia suka memberi makan dan rajin menebarkan salam.” Artinya, seorang yang telah melaksanakan haji baru disebut mabrur jika sekembalinya dari tanah suci dia peduli kepada sesamanya dan senantiasa menimbulkan kedamaian di sekelilingnya. Kalau tidak, maka hajinya mardud (tertolak) dan tidak ada surga baginya.
ADVERTISEMENT
Memberi makanan merupakan wujud dari solidaritas kita. Orang yang memiliki kepedulian yang baik dan solidaritas yang tinggi kepada sesamanya, sesungguhnya itu merupakan manifestasi dari amal ibadahnya.
Sesungguhnya banyak cara untuk dapat memperkuat dan memperteguh potensi kefitrahan itu, di antaranya adalah menghilangkan atau meminimalisasi nafsu-nafsu kemanusiaan dan meneladani sifat-sifat keilahiahan/ketuhanan. Jika Alloh Maha Pengampun terhadap semua hamba-hamba-Nya maka kitapun sedikit demi sedikit memberikan keikhlasan dalam memberikan maaf/ ampunan kepada orang-orang yang telah menyakiti kita. Jika Alloh Maha kasih dan sayang terhadap hamba-Nya maka kitapun belajar mengasihi dan menyayangi orang-orang di sekitar kita.
Demikianlah, semoga Allah menerima semua ibadah Ramadan kita dan sholat id kita. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan lahir dan batin kepada kita dalam keadaan apapun, semoga Allah SWT segera menghilangkan virus COVID-19 dari negeri kita tercinta, sehingga tugas-tugas yang telah diamanahkan kepada kita, terutama tugas kehambaan dan kekhalifan itu, dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Amin ya Rabbal Alamin.
ADVERTISEMENT
Oleh: Dr Saifuddin Malik SAg MPd - Dekan FIK dan Plt Direktur Pascasarjana Unira Malang.