Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Jatuh Bangun Anas Kholis, Doktor Penyandang Tunanetra Pertama di UIN Malang
18 Oktober 2020 10:13 WIB
ADVERTISEMENT
MALANG - Sosok Moh Anas Kholis bisa menjadi inspirasi. Bagaimana tidak? Pria asal Lamongan ini, mampu meraih gelar doktornya di UIN Malang dengan status cumlaude meski mengalami kebutaan.
ADVERTISEMENT
Anas berhasil menyelesaikan pendidikan S3 di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Malang dengan judul disertasi Model Pendidikan Fiqih Berwawasan Toleransi dalam Menyikapi Keragaman Mazhab (Studi Kasus di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo). Dia juga menjadi doktor pertama UIN Malang yang menyandang disabilitas.
Jatuh bangun Anas untuk bisa mencapai kesuksesan ini tidaklah mudah. Beruntung, Anas mendapatkan banyak dukungan untuk bisa menyelesaikan pendidikannya. Termasuk sang istri, Siti Rohmah, yang setia membacakan buku untuknya.
"Istri saya kerap kali menawarkan berbagai pilihan judul buku untuk dibacakan. Dulu sebelum mata saya tertutup hobi membaca saya bisa saya lakukan secara mandiri, akan tetapi setelah penglihatan saya tertutup harus ditemani sama istri," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Selain sang istri, orang-orang terdekatnya pun ikut berperan. Baik keluarga, maupun kawan-kawan yang tergabung di Pojok Peradaban Institut yang ia bina. Seperti mengantarkan ke kampus, menyusun disertasi, sampai turut membacakan buku di sela-sela aktivitas sehari-harinya.
Dia juga harus pandai memanfaatkan teknologi untuk membantu proses penulisan disertasinya. Di antaranya Google Document yang bisa secara otomatis mengetik saat dia berbicara. Ataupun eReader Prestigio, sebuah aplikasi yang bisa membacakan literasi untuknya.
Anas bahkan mendapatkan beasiswa kultural dari sebuah lembaga NGO, Hilmi Foundation yang memang memberikan beasiswa kepada para kaum difabel berprestasi.
Sebelumnya, Anas mengungkapkan proses penyusunan disertasinya sejak 2015 itu dilakukan dalam keadaan 50 persen mata terbuka dan 50 persen mata tertutup atau tunanetra.
ADVERTISEMENT
"Tahun 2018 itu di saat mata saya harus tertutup, saya sempat down. Sempat memilih untuk berhenti karena pada waktu itu fokus untuk pengobatan mata saya, tapi saya berusaha bangkit lagi karena dukungan dari orang-orang disekitar saya," jelasnya
Meski demikian, Anas mengaku, kondisinya yang sekarang bukan sebuah kejutan baginya. Sebab, sejak duduk di bangku SMP, dia sudah divonis menderita Retinitis Pigmentosa atau gangguan saraf mata.
"Saya sempat bersedih. Saya berfikir bagaimana masa depan saya nanti. Ketika mata saya tertutup apakah masa depan saya akan tertutup?," tanyanya.
Meski sempat terpukul, semangat pria kelahiran tahun 1985 ini tak pernah putus untuk menata masa depan. Anas terus berkarya. Hingga sebelum matanya tertutup, diapun sudah melahirkan 11 karya buku dan beberapa publikasi jurnal ilmiah baik dilevel nasional maupun internasional.
ADVERTISEMENT
"Sebagai seorang yang akan divonis difabel tunanetra, maka saya berfikir bahwa saya harus meninggalkan sejarah sebelum mata saya tertutup. Sejarah apa? Tulisan tentunya, yang efek kebermanfaatannya bisa terus dirasakan oleh generasi-generasi berikutnya sekaligus bisa terus dikenang dan dibaca kendati saya sudah meninggal. Itu artinya bahwa menulis merupakan sebuah karya untuk keabadian," tutur Anas.
Kini, Anas menjadi dosen di Fakultas Syariah UIN Malang, dan turut mengajar Pendidikan Agama Islam di Universitas Brawijaya.
Dia berharap, karyanya menjadi motivasi bagi para difabel untuk tidak menyerah akan keterbatasan. Sebab dibalik keterbatasan itu, pasti ada potensi yang dapat digali.
"Apalagi hari ini, dunia dan nasional sudah memberikan space hak konstitusi yang sama bagi temen-temen difabel. Jika dulu di dunia pendidikan ada kaum difabel yang terisolir oleh tembok eksklusivitas SLB , saat ini kaum difabel sudah diberikan ruang secara inklusif di seluruh jenjang pendidikan termasuk jenjang pendidikan doktoral. Bahkan akreditasi suatu lembaga tidak akan mendapatkan akreditasi sempurna jika ia tidak menyediakan fasilitas difabel, sebagai pesan moral bagi para kaum difabel jangan pernah membatasi keterbatasan fisik anda dengan jiwa dan spirit yang terbatas. Teruslah tersenyum dan berlapang dada dengan segala kondisi keterbatasanmu, sebab bisa jadi keterbatasanmu adalah kelebihan yang diberikan Tuhan kepadamu," tandasnya.(ads)
ADVERTISEMENT