Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Opini
Zulham A Mubarrok*
Pilkada 2020 adalah proses politik paling becek dan kotor dalam sejarah Kabupaten Malang. Kontestasi yang melibatkan kehadiran konsultan politik dan politisi impor dari luar Malang membawa serta cara-cara kampanye yang jauh dari nalar dan perilaku politik kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Publik menyaksikan bahwa Malang telah menjadi medan laga bagi praktik politik jahat. Cara yang mencederai proses pendidikan politik bagi anak bangsa di Bumi Arema. Intrik politik hitam pada Pilpres dan Pilkada DKI Jakarta yang sukses menjatuhkan Ahok dibawa serta oleh para politisi jahat itu ke Kabupaten Malang yakni: memviralkan fitnah dengan isu agama dan isu pribadi.
Kegaduhan diawali dengan klaim bahwa ‘gawe’ politik pada pilkada Kabupaten Malang ini adalah jihad. Maka, dalam rangka berjihad apapun menjadi sah dan benar. Layaknya sedang berjihad, operator-operator kampanye kemudian dibaiat dan disumpah seperti hendak terlibat dalam sebuah perang suci. Dan narasi-narasi jihad pun diproduksi massal. Ayat-ayat suci diteriakkan atas nama proses politik yang tujuan akhirnya adalah jabatan. Jihad untuk suksesi pejabat.
ADVERTISEMENT
Proses berlanjut dengan penyebaran meme fitnah dan hoax di sosial media. Lalu terbitlah koran fitnah bernama Malang Ma’jur yang diedarkan secara sembunyi-sembunyi setiap dini hari di ruang-ruang publik. Koran tersebut berisi fitnah dalam berbagai tema dengan tujuan menjatuhkan paslon nomor urut 1 Sandi.
Kegaduhan makin meningkat ketika beredar VCD seakan-akan berisi video porno dengan judul Skandal Cinta Terlarang Drs H Sanusi, MM Calon Bupati Malang yang disebarkan kepada anak-anak muda selang sehari jelang pencoblosan 9 Desember.
Tak berhenti sampai disana, perilaku jahat itu makin paripurna dengan terungkapnya praktik politik uang (money politic). Sumber terpercaya menyebutkan, ada sekitar 400.000 amplop yang beredar di hampir 21 Kecamatan di Kabupaten Malang. Bawaslu mencatat ada lebih dari 7 indikasi politik uang yang tertangkap. Dari tangan salah satu pelaku, didapati amplop berisi uang Rp 20ribu -Rp 25ribu. Jika dikalkulasi peredaran uang di masa tenang untuk membeli suara diperkirakan mencapai Rp 8 - Rp 10 Miliar. Sungguh jihad yang sangat mahal.
ADVERTISEMENT
Dari 7 perkara itu, salah satu pelaku politik uang telah ditahan polres Malang. Dia adalah seorang janda bernama Ibu Sumiatim (45). Ibu itu tertangkap Satgas Money Politic Polres Malang ketika menyebarkan 100 amplop berisi uang Rp 20 ribu beserta stiker dan selebaran bergambar Paslon nomor urut 2 Latifah- Didik (Ladub). Saat ini ibu Sumiatim telah mendekam di tahanan Polres Malang. Sumiatim harus menginap dibalik jeruji besi tanpa dukungan bantuan hukum yang mumpuni. Kemanakah calon yang dia bela sekarang? Darimana asal muasal uang yang disebarkannya tersebut?
Dalam perkara Ibu Sumiatim, negara mengatur larangan politik uang pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) dalam Undang-undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016. Pasal 187A Ayat (1) UU Pilkada menyebutkan bahwa setiap orang yang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan. Sementara, sanksi administrasi diatur dalam Pasal 73 yakni paling berat ialah diskualifikasi peserta Pilkada.
ADVERTISEMENT
Merujuk kepada doktrin-doktrin dalam hukum pidana, kualifikasi politik uang yang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana, dengan merujuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, yakni bila pelakunya telah memenuhi unsur melakukan perbuatan bujuk rayu dengan iming-iming imbalan sejumlah uang tertentu untuk mempengaruhi pemilih berkenaan otoritas hak pilihnya terhadap calon kepala daerah yang hendak dipilih.
Ibu Sumiatim adalah bagian kecil dari sebuah praktik yang terstruktur, sistematis, dan masif dengan tingkat kejahatan yang luar biasa besar karena melibatkan ribuan operator lapangan.
Dalam beberapa literatur, politik uang acapkali disebut sebagai korupsi elektoral. Dikatakan demikian, sebab kata Estlund, politik uang adalah perbuatan curang dalam Pemilihan Umum (Pemilu) yang hakikatnya sama dengan korupsi. Dengan eskalasi perkara yang melibatkan ribuan orang ini, tentu menjadi tugas penting untuk mengungkap otak intelektual dari praktik korupsi elektoral ini.
ADVERTISEMENT
Kini, semua itu akan sangat tergantung pada pengakuan Ibu Sumiatim dan beberapa operator lain yang segera menyusul ditahan oleh Polres Malang. Maka polisi sebaiknya tidak ragu dalam bertugas dan memastikan otak intelektual itu tertangkap. Agar penjahat-penjahat politik yang bertopeng jihad itu bisa dipenjarakan atas nama keadilan bagi 2,4 juta warga Kabupaten Malang.
*Penulis ialah LPBHNU Kabupaten Malang dan Ketua BBHA DPC PDI Perjuangan 2014-2019.