Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Opini Mahdi El Kherid - Wakil Ketua PW GP Ansor Jawa Timur
ADVERTISEMENT
Pikiran kadang lebih kompleks permasalahannya, dibanding hal-hal yang tampak dipermukaan. Karena pikiran, orang tak segan untuk bunuh diri. Karena pikiran tentang sebuah gengsi, orang bisa mencuri. Karena pikiran, kita bisa melakukan hal-hal di luar kendali.
Pikiran adalah salah satu persoalan paling penting dalam kehidupan manusia. Pikiran, kira-kira menguasai 90 persen persoalan umat manusia. Ketika pikiran kita beres, besar kemungkinan permasalahan hidup kita juga beres. Pikiran yang ruwet, barang tentu akan membuat persoalan kita menjadi ruwet.
Pikiran kolektif bangsa ini, adalah bagian yang dijajah oleh bangsa lain, sebelum kita merdeka, 75 tahun yang lalu. Tak perlu jauh-jauh membahas tentang pendidikan yang tak merata ketika kita sebelum merdeka, tentang pikiran kita bahwa cantik itu adalah putih, sedangkan jelek itu adalah hitam, bisa jadi adalah bagian dari penjajahan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Mungkin karena penjajahan pikiran inilah, sastrawan Pramoedya Anantatoer sama sekali tidak menyesal ketika sudah berhubungan badan dengan noni-noni Belanda. Bahkan, dengan berhubungan badan itu, Pram merasa sudah satu kasta dengan noni-noni Belanda.
Rasa rendah diri atau infrioritas yang ada dalam diri Pram, langsung hilang ketika berhubungan badan dengan noni-noni Belanda.”Karena hubungan seks itu, perasaan minder sebagai anak petani pada diri saya hilang seketika. Semua dari kita ternyata sama. Punya hak dan derajat yang sama juga sebagai manusia. Punya kemungkinan yang sama juga kalau memang kita punya keberanian,” kata Pram.
Tentu, penulis tidak hendak menganjurkan seks bebas dalam tulisan ini. Tapi, ingin menyampaikan bahwa pikiran yang terkukung, pikiran yang tak merdeka, sama bahayanya ketika fisik kita tak merdeka. Orang yang pikirannya tak jalan, mungkin sama terkekangnya dengan orang yang tak bisa jalan-jalan.
ADVERTISEMENT
Tentang pikiran, akhir-akhir ini pikiran kita diuji dengan pandemi. Ketika usaha macet, ketika karyawan di rumahkan, ketika ibu repot mengurusi anaknya di rumah karena sekolah dari rumah, ketika kita tak bisa ke luar ke mana-mana. Semuanya itu, tak hanya menghantam fisik kita, tapi juga pikiran kita. Belum lagi, ancaman resesi ekonomi di Indonesia kian nyata. Beberapa waktu lalu, Menteri Ekonomi Sri Mulyani sebut bahwa pertumbuhan ekonomi kita bisa minus 1,1 persen, hingga positif 0,2 persen.
Adapun perekonomian domestik di kuartal II mengalami kontraksi alias minus 5,32 persen (yoy). Jika kuartal III kembali minus, maka Indonesia akan bergabung dengan negara lain yang telah masuk ke jurang resesi. Karena inilah, situasi ekonomi di kuartal III, benar-benar harus diwaspadai.
ADVERTISEMENT
Tapi, sebagai rakyat biasa, kita tak boleh terlalu memikirkan soal resesi, yang itu sudah ada yang memikirkan. Yang perlu kita pikirkan, adalah, bagaimana kita bisa merawat pikiran kita di tengah pandemi.
Salah satu caranya adalah dengan menerima kehadiran pandemi. Tidak takut, tapi tetap waspada. Tetap keluar rumah, tapi tetap waspada. Dengan bersikap moderat terhadap pandemi ini, maka kita bisa terhindar dari sakitnya pikiran.
Apalagi, jauh-jauh hari, Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo sudah menegaskan bahwa kita harus hidup berdampingan dengan COVID-19. Apalagi, WHO menyebut kalau COVID-19 bisa jadi melandai, tapi tidak akan hilang. Dengan demikian, kita harus hidup bersama dan berdamai dengan COVID-19.
Nah, pada momen kemerdekaan ini, kita harus memaknainya agar pikiran kita bisa merdeka dengan COVID-19. Disebut pikiran merdeka dengan COVID-19 adalah, pikiran kita, tak boleh sempit, harus berpikir luas di tengah pandemi sekalipun.
ADVERTISEMENT
Dengan berpikir positif, kita akan terhindar dari sak wasangka. Terhindar dari menyalahkan pemerintah. Terhindar dari sikap acuh tak acuh. Berpikir merdeka, berarti, bagaimana kita tetap melihat cahaya di lorong paling gelap sekalipun.
Contohnya, di tengah pandemi, kita bisa lebih banyak bersama keluarga. Bagi yang pengusaha, bisa lebih inovatif lagi, melihat peluang-peluang baru. Dan bagi karyawan yang di PHK, mungkin inilah waktu yang tepat untuk berwirausaha. Sedangkan bagi karyawan yang dipertahankan, mungkin inilah waktu untuk bersyukur terhadap perusahaan yang mempekerjakan kita.
Akhirnya, memilih berpikir merdeka dari COVID-19, adalah langkah tepat agar kita senantiasa melihat peluang, di situasi macam apapun.(*)