Konten dari Pengguna

Indonesia, Islam, dan Politik Ketidakpastian

Ubaidillah Amin Moch
Santri Kyai NU Yang ingin mengabdi untuk negeri, Bukan orang Baik, ingin menjadi baik
15 September 2023 10:16 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ubaidillah Amin Moch tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Indonesia sebentar lagi akan menggelar pesta demokrasi lima tahunan. Terlihat proses manuver politik yang dilakukan para politisi dalam menentukan koalisi semakin kentara untuk mencari calon yang tepat disandingkan sebagai capres-cawapres.
ADVERTISEMENT
Sebab, pemilihan presiden (pilpres) Indonesia selalu menjadi momen penting dalam perkembangan dan keberlanjutan kepemimpinan nasional.
Dalam konteks pemilihan presiden tahun 2024, tiga nama muncul sebagai calon presiden yang potensial. Ketiga nama tersebut adalah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan.
Kalau kita kaji lagi, bahwa mereka yang berkontestasi adalah melakukan serangkaian dari upaya politik untuk menentukan nasib Indonesia lima tahun ke depan.
Maka harus ditentukan hari ini dengan kecermatan, dan pertimbangan yang matang agar tidak salah dalam menjalankan roda kepemimpinan di pemerintahan akan datang.
Politik saat ini, apalagi menjelang pesta demokrasi bagi rakyat Indonesia banyak disalahartikan. Bahwa politik adalah jalan kekuasaan, jalan untuk membuka kesempatan meraup keuntungan dari berbagai fasilitas dan mengungguli diri serta kelompok.
ADVERTISEMENT
Tentu implikasinya adalah adanya persaingan tidak sehat, adu domba bahkan fitnah dan hoaks yang menghilangkan esensi dari makna politik itu sendiri.
Saya mencoba mengulas makna politik dalam Islam, bukan berarti melegitimasi politik identitas. Tapi orientasi dari politik adalah mensejahterakan seluruh rakyat bukan parsial dari golongan tertentu.
Dalam kitab Fawaid al-Makiyah, politik atau siyasah diartikan sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat dengan cara memberikan petunjuk pada mereka menuju jalan yang selamat, baik ketika di dunia maupun di akhirat.
Dari definisi tersebut dapat kita pahami bahwa politik dalam pandangan Islam tidak ditentukan dengan sistem tertentu, baik itu teokrasi, demokrasi, kerajaan atau sistem kenegaraan lainnya.
Sebab poin intinya adalah bagaimana dapat mewujudkan negara yang adil, makmur serta dapat melindungi hak-hak masing-masing warga negara.
ADVERTISEMENT
Jika kita melihat perjalanan sejarah perpolitikan dalam kancah kerajaan dan kesultanan Islam tentu kita dapat menyimpulkan bagaimana perjalanan politik kerajaan islam sendiri penuh dengan ketidakpastian.
Misal bagaimana takhta kepemimpinan pasca era khulafa’ur rasyidin berpindah tangan pada Dinasti Umayyah, bukan dari trah keturunan Nabi Muhammad.
Bagaimana seorang Harun ar-Rasyid, salah satu raja yang tersohor dalam Dinasti Abbasiyah justru takhta kerajaannya diwariskan bukan pada putra pertamanya yakni al-Amin, tapi pada adiknya yang bernama al-Ma’mun?
Padahal tradisi kerajaan secara turun temurun mengharuskan pewaris takhta kerajaan adalah putra pertama dari seorang raja, bukan putra kedua.
Lalu, bagaimana standar syarat pemimpin harus berasal dari keturunan Quraisy—sebagaimana salah satu sabda Nabi—menjadi tidak relevan lagi ketika Dinasti Abbasiyah digulingkan oleh Dinasti Utsmani yang notabene bukan dari golongan Quraisy.
ADVERTISEMENT
Serta banyak lagi contoh-contoh lain yang semakin menguatkan bahwa Islam pun membenarkan bahwa karakteristik politik sejak awal memang penuh ketidakpastian.
Maka berdasarkan hal itu, pada masa-masa hangatnya perpolitikan seperti yang terjadi pada bulan-bulan ini, sebaiknya bagi kita dalam berjuang di kancah politik hendaknya jangan terlalu terburu-buru dalam membela seorang figur.
Apalagi sampai memunculkan fanatik secara berlebihan, sebelum figur yang kita bela memang benar-benar dapat dipastikan sebagai figur yang pasti maju dalam konstelasi capres-cawapres berdasarkan persyaratan yang telah ditentukan, sebab politik adalah menit-menit akhir.
Di samping itu, jangan kita menganggap perjuangan dalam politik adalah sebuah tujuan, sebab Islam tidak membenarkan hal itu. Politik menurut sudut pandang Islam adalah sebuah perantara (wasilah) untuk mewujudkan tegaknya amar ma’ruf dan nahi munkar secara efektif. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
ADVERTISEMENT
Sehingga dalam politik sangat perlu sikap dinamis dengan tetap menjunjung nilai-nilai kebaikan universal agar seseorang tidak memandang politik sebagai tujuan, tapi hanya sebatas perantara dalam mewujudkan kebaikan.
Dengan begitu, sepenuhnya dapat memaklumi ketika harapan dan perjuangannya berakhir kurang sesuai kehendaknya, ia dapat dengan tenang menghadapi hal tersebut, karena mengerti bahwa politik penuh dengan ketidak pastian.
Wallahu a’lam.