Konten dari Pengguna

Kunjungan Paus Fransiscus dan Sifat Tasamuh Umat Muslim Indonesia

Ubaidillah Amin Moch
Santri Kyai NU Yang ingin mengabdi untuk negeri, Bukan orang Baik, ingin menjadi baik
4 September 2024 17:17 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ubaidillah Amin Moch tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemimpin Takhta Suci Vatikan Sri Paus Fransiskus saat melakukan pertemuan dengan uskup, imam, diakon, orang yang membaktikan diri, seminaris, dan katekis di Gereja Katedral, Jakarta, Rabu (4/9/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pemimpin Takhta Suci Vatikan Sri Paus Fransiskus saat melakukan pertemuan dengan uskup, imam, diakon, orang yang membaktikan diri, seminaris, dan katekis di Gereja Katedral, Jakarta, Rabu (4/9/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Hari-hari ini publik banyak memperbincangkan kehadiran Paus Fransiskus di Indonesia. Kita selaku bagian dari bangsa Indonesia semestinya patut bangga menjadi salah satu negara yang dikunjungi oleh tokoh dunia sekaligus simbol tertinggi umat katolik itu. Momen kedatangan paus fransiskus di Indonesia merupakan kesempatan besar bagi kita untuk menunjukkan pada dunia tentang keramahan serta keharmonisan hubungan antar agama yang terjalin di negeri ini. Bagi umat muslim indonesia, sudah saatnya sebagai representasi Agama mayoritas, kita tunjukkan wajah toleransi yang baik dengan menyambut dan menghormati kehadiran paus sebagai titik kulminasi ajaran Agama Islam berupa tasamuh.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, bagi saya sudah benar kebijakan yang dilakukan oleh beberapa stasiun televisi yang tidak menayangkan adzan maghrib dan isya’ sebagai wujud penghormatan kedatangan paus fransiskus dengan lebih memprioritaskan menayangkan live rangkaian ritual misa. Apa yang dilakukan oleh beberapa stasiun televisi ini sudah selaras dengan salah satu kaedah: ma la yustadraku muqaddamun ‘ala ma yustadraku (suatu kesempatan yang tidak dapat diulang kembali, lebih didahulukan daripada sesuatu yang masih bisa diulang kembali). Maksudnya, menunjukkan wajah toleransi yang baik saat kedatangan pemimpin tertinggi umat katolik hanya datang pada momentum saat ini saja, sedangkan menayangkan adzan maghrib dan isya’ dapat dilakukan setiap hari.
Sehingga dalam konteks ini secara fikih, menunjukkan wajah toleransi berupa tidak menayangkan adzan adalah hal yang lebih diutamakan. Toh secara realita, syiar Agama Islam berupa mengumandangkan adzan masih tetap terus terlaksana di seluruh masjid dan mushalla yang ada di seluruh penjuru negeri. Sehingga sangat tidak benar jika tidak menayangkan adzan maghrib dan isya’ di televisi tergolong sebagai perbuatan dosa, justru menayangkan misa sebagai penghormatan kehadiran paus fransiskus sudah termasuk kebijakan yang benar dan tepat dalam tinjauan Agama Islam. Karena hal yang menjadi penilaian secara syara’ bukan terletak pada penayangan misa, tapi lebih pada simbol toleransi dan menampakkan wajah keharmonisan antar agama yang ada di Indonesia, dalam beberapa istilah kitab turats, hal ini dikenal dengan sebutan idzharu mahasini islam(menampakkan wajah keramahan Agama Islam).Wal hasil, sebaiknya penayangan rangkaian acara ritual misa di televisi ini tidak perlu dipersoalkan secara berlebihan. Toh bagi orang yang benar-benar mengerti tentang Agama, justru hal demikian sudah merupakan langkah yang tepat.
ADVERTISEMENT
Terlebih Paus Fransiskus sudah memuji bangsa kita sebagai “bangsa yang paling toleran”, sudah saatnya bagi kita untuk memberi kesan yang baik sehingga apa yang disampaikan oleh paus tentang bangsa kita, benar-benar menemukan relevansinya, dunia pun mengenal indonesia sebagai bangsa yang ramah dan harmonis, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafur.