Konten dari Pengguna

Khitan Perempuan, Wajib atau Tidak?

Marsha Rova Aulia Jessica
Mahasiswa Sosiologi, Universitas Brawijaya
12 Desember 2024 11:54 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marsha Rova Aulia Jessica tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Genital mutilation atau yang biasa dikenal dengan khitan perempuan adalah suatu tindakan penghilangan prepuce atau ujung kulit klitoris hingga labia minora dan mayora. Di Indonesia khitan perempuan pertama kali dilakukan di Kabupaten Sambas yang merupakan bagian wilayah Provinsi Kalimantan Barat yang berstatus Kabupaten dan memiliki kekayaan akan budaya kearifan lokal, serta sejarahnya di masa kejayaan Kesultanan Sambas yang di dominasi orang-orang Melayu Muslim dengan rasa kemelayuannya (Sander & Sunantri, 2020). Namun, seiring berjalannya waktu tradisi khitan perempuan ini telah dinormalisasikan oleh beberapa daerah seperti Aceh, Sumatra Utara, Jambi, Lampung, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Madura, Solo, dan Pati.
ADVERTISEMENT
Setiap wilayah tentunya memiliki perbedaan dalam melakukan khitan terhadap perempuan. Di Indonesia pada umumnya dilakukan pada saat anak perempuan masih bayi, yaitu pada hari ketujuh setelah kelahiran, dan biasanya dilakukan oleh dukun bayi dan tenaga medis, seperti bidan dan dokter (Hermanto, 2016). Mayoritas orang tua khususnya ibu dari bayi perempuan tersebut berdalih bahwa tindakan khitan perempuan ini lebih efektif dilakukan ketika masih bayi karena ketika bayi ini mereka tidak akan merasa kesakitan dibandingkan dengan ketika mereka sudah beranjak anak-anak atau remaja.
Tradisi khitan perempuan ini dianggap oleh sebagian masyarakat sebuah keharusan yang dilakukan oleh perempuan. Perempuan yang tidak melakukan khitan akan dianggap sebagai perempuan yang kotor. Selain itu, masyarakat percaya bahwasanya terdapat perbedaan antara perempuan yang melakukan khitan dengan tidak melakukan khitan. Perempuan yang telah melakukan khitan akan dapat mengendalikan seksualitasnya dibandingkan dengan perempuan yang tidak melakukan khitan.
Image by atlascompany on Freepik
Dalam segi agama dan kesehatan, khitan perempuan ini tidak memberikan dampak positif yang signifikan terhadap organ reproduksi perempuan. Tindakan ini dinilai berbahaya karena dapat merusak organ reproduksi hingga dapat menghilangkan nyawa perempuan. Bagaimana tidak? Pada praktek ini tenaga medis menutup lubang vagina yang berfungsi sebagai tempat keluarnya darah haid, mereka hanya menyisakan lubang kecil sebesar kepala korek api.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia medis, adanya khitan perempuan ini dapat memberikan komplikasi terhadap organ reproduksi perempuan seperti nyeri, pendarahan, rasa sakit amat sangat, dan infeksi. Selain itu, khitan perempuan ini juga memberikan efek jangka panjang seperti gangguan menstruasi, abses, kista, keloid, ketidaksuburan, rasa sakit ketika berhubungan seksual, kurangnya sensasi ketika berhubungan seksual dan tingginya resiko bayi meninggal (WHO, 1996 dalam Maisarah, 2015). Dengan banyaknya komplikasi yang ditimbulkan dari praktek khitan ini, pemerintah membuat kebijakan berupa larangan bagi dokter, perawat, dan bidan untuk melakukan khitan terhadap perempuan. Hal ini tercantum pada Peraturan Menteri Kesahatan Nomor 1636 Tahun 2010.
Dalam segi agama, tidak ada kewajiban bagi perempuan untuk melakukan khitan. Setiap ulama mahzab tentunya memiliki perbedaan pendapat seperti Imam Syafi’i mewajibkan bagi perempuan dan laki-laki untuk melakukan khitan, sedangkan Imam Maliki, Hanafi, dan Hambali berpendapat bahwa khitan itu sunnah (Santi, 2006). Munculnya perbedaan pendapat dari keempat mahzab ini, MUI mengeluarkan fatwa No.9A Tahun 2008 yang dimana berisi pernyataan bahwa khitan terhadap perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya sebagai ibadah yang dianjurkan.
ADVERTISEMENT
Namun, seiring berjalannya waktu khitan perempuan hanya dilakukan oleh beberapa masyarakat yang masih berpegang teguh dengan tradisi dari nenek moyang mereka. Tindakan khitan yang dilakukan juga memiliki perbedaan di setiap wilayahnya. Di Indonesia, prakteknya ada yang sekedar membasuh ujung klitoris, menusuk dan mencolek ujung klitoris dengan jarum, mencolek dengan kunyit, menggosok dengan batu permata, mengiris sebagian klitoris, bahkan sebagian lain memotong seluruh klitoris (Nurahmansyah, 2019).
DAFTAR PUSTAKA:
Hermanto, A. (2016). Khitan PeremPuan antara tradisi dan syari’ah. Kalam, 10(1), 257-294.
Maisarah, M. M. (2015). Polemik khitan perempuan: Tinjauan dari berbagai aspek. Jurnal Al-Huda, 7(1).
Nurahmansyah, N. (2019). Praktek Khitan Pada Perempuan Dalam Perspektif Hukum Islam Di Desa Rawakalong Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor. Mozaic: Islam Nusantara, 5(1), 35-60.
ADVERTISEMENT
Sander, A., & Sunantri, S. (2020). Tradisi Khitan Perempuan. Jurnal SAMBAS (Studi Agama, Masyarakat, Budaya, Adat, Sejarah): Journal of Religious, Community, Culture, Costume, History Studies), 3(1), 28-41.
Santi, S. (2006). Khitan perempuan: Legitimasi agama dan budaya atas kekerasan dan pengendalian tubuh perempuan. In Forum Ilmiah Indonesia (Vol. 3, No. 1).