Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Ja-Minissu, Orang Jawa di Sri Lanka
25 Maret 2021 21:07 WIB
Tulisan dari ullif taftazani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sri Lanka, negara yang karena bentuk pulaunya menyerupai mata air sehingga dijuluki Teardrop of Indian Ocean ini, merupakan negara multi-etnis dengan sejarah dan budaya yang sangat menarik. Nah, siapa sangka salah satu etnis di Sri Lanka adalah keturunan Melayu? Bahkan sebagian besar merupakan keturunan Jawa!
ADVERTISEMENT
Yang dimaksud dengan komunitas Melayu di Sri Lanka (Sri Lankan Malay) bukan merupakan komunitas expatriate atau imigran yang berasal dari Indonesia atau Malaysia yang baru-baru ini datang untuk bekerja dan tinggal di Sri Lanka. Melainkan komunitas atau kelompok etnis Melayu yang telah lama menjadi bagian dari sejarah Sri Lanka sejak masa kolonial.
Sebagian besar dari komunitas ini merupakan keturunan etnis Melayu yang berasal dari Indonesia, khususnya Jawa, dan sebagian lain berasal dari Goa, Tidore, Banda, dan Ambon. Selain itu, sebagian kecil terdapat pula yang berasal dari etnis Melayu Malaysia.
Terdapat beberapa versi terkait asal-usul keberadaan etnis Melayu di Sri Lanka. Salah satunya adalah sejarah yang dikaitkan dengan kerajaan kuno Sri Lanka dan Sri Wijaya dan hubungan dagang antara kedua kerajaan ini. Namun versi yang memiliki bukti sejarah yang lebih kuat dapat ditelusuri pada masa penjajahan Belanda di abad ke-17.
ADVERTISEMENT
Ketika itu Sri Lanka yang masih bernama Ceylon menjadi salah satu tempat pengasingan bagi orang-orang Indonesia yang dianggap sebagai pemberontak oleh Belanda. Selain sebagai tempat pengasingan, pemerintah kolonial Belanda ketika itu juga mengirimkan tentara atau pekerja dari Kepulauan Nusantara ke Sri Lanka. Tokoh Indonesia yang tercatat diasingkan ke Sri Lanka antara lain adalah Amangkurat III dan Syekh Yusuf al-Makassari .
Salah satu bukti kuat sejarah dapat dikaitkan dengan kota pantai atau kota pelabuhan Hambantota yang berada di selatan Sri Lanka. Kata Hambantota ini berasal dari varian atau campuran dari bahasa Sinhala dan Melayu yaitu Sampan dan Tota yang berarti tempat kapal berlabuh. Tidak aneh jika kota Hambantota saat menjadi salah satu kota yang menjadi konsentrasi komunitas keturunan Melayu di Sri Lanka.
Etnis yang tergolong minoritas ini dikenal dengan sebutan dalam bahasa Sinhala, Ja-Minissu yang berarti orang Jawa. Meskipun minoritas, melalui asimilasi budaya Sri Lankan Malay tetap dapat memberikan pengaruh pula terhadap budaya Sri Lanka. Contohnya, Sarung atau dalam bahasa Sinhala, Sarong, yang menjadi pakaian tradisional Sri Lanka dan hingga saat ini masih digunakan secara luas oleh masyarakat Sri Lanka. Kemudian alat musik rebana, atau dalam bahasa Sinhala dikenal dengan rabana, merupakan salah satu insrumen musik tradisional Sri Lanka.
ADVERTISEMENT
Dalam hal kuliner, tampak pula pengaruhnya pada makanan seperti nasi kuning (Nasi Kooning/kaha bath), kue putu (pittu), acar (achcharu), pastel (pasthol), dodol, dan sambal (sambol).
Mengingat agama yang dianut adalah Islam, Sri Lankan Malay juga berkontribusi pada perkembangan Islam di Sri Lanka. Hingga saat ini praktik dan budaya Islam masih terus dipertahankan oleh komunitas ini.
Sri Lankan Malay saat ini telah menjadi bagian dari Sri Lanka, mewarnai sejarah dan budayanya, dan melengkapi keberagaman etnis yang terdiri dari etnis Sinhala, Tamil, Moors dan Burghers. Jumlahnya telah mencapai lebih dari 50 ribu jiwa atau 0,3 % dari total penduduk Sri Lanka.
Layaknya Indonesia, sebagai negara multietnis dan multikultur, Sri Lanka memiliki tantangan yang sama yaitu bagaimana menjaga persatuan, kesatuan, dan keharmonisan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Meskipun secara umum kehidupan multietnis dan multikultur di Sri Lanka berjalan dengan harmonis, namun percikan-percikan dan gesekan masih terjadi.
Sejarah kelam perang saudara yang dialami oleh Sri Lanka pada masa pemberontakan kelompok separatis Pembebasan Macan Tamil Eelam (1983-2009) sedikit banyak memberikan dampak dan trauma bagi masyarakat Sri Lanka serta memunculkan dominasi yang lebih kuat dari etnis Sinhala yang saat ini berkuasa.
ADVERTISEMENT
Pengaruh kuat dan supremasi dari mayoritas etnis Sinhala yang beragama Buddha masih belum dapat menghapuskan praktik-praktik diskriminatif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Sri Lanka. Ditambah lagi keberadaan kelompok garis keras yang kerapkali mempraktikkan politisasi isu agama dan etnis.
Contoh yang paling faktual adalah kebijakan yang mewajibkan kremasi terhadap korban COVID-19. Meskipun saat ini telah dicabut oleh Pemerintah Sri Lanka, kebijakan ini sempat berlangsung cukup lama sejak awal masa pandemi dan telah menimbulkan protes keras dari masyarakat Muslim di Sri Lanka, termasuk komunitas Melayu di Sri Lanka.
Kemudian rencana penerapan kebijakan pelarangan pemakaian burka dan penutupan 1.000 sekolah islam yang diduga sebagai breeding ground teroris, sebagai buntut dari aksi terorisme pemboman gereja yang terjadi pada tahun 2019 .
ADVERTISEMENT
Seiring dengan perkembangan zaman, tantangan cukup berat dihadapi oleh Ja Minissu, tidak hanya dalam menghadapi permasalahan diskriminatif dan konflik horizontal, tetapi juga dalam mempertahankan budaya dan identitasnya. Bahasa Melayu, merupakan salah satu hal yang saat ini dirasakan telah sangat tergerus dan mulai hilang.
Saat ini sangat sedikit yang masih mempraktikkan atau dapat berbicara dengan bahasa Melayu. Sehingga sebagai minoritas, mereka membentuk berbagai macam asosiasi atau perkumpulan sosial dan budaya guna memperat kohesi dan mempertahankan budaya dan identitasnya. Asosiasi tersebut antara lain Sri Lanka Malay Confederation (SLAMAC), Sri Lanka Malay Rupee Fund, the Conference of Sri Lanka Malays (COSLAM), dan Mabole Malay Association.
Keinginan untuk mempertahankan budaya dan identitas tersebut merupakan peluang yang baik bagi promosi budaya Indonesia yang dilakukan oleh Pemerintah RI melalui Kedutaan Besar RI di Colombo, Sri Lanka. Melalui program budaya seperti kelas Bahasa Indonesia dan kelas Tari Tradisional Indonesia, KBRI Colombo merangkul komunitas Sri Lankan Malay.
Hubungan ini bak sebuah simbiosis mutualisme, di satu sisi Sri Lankan Malay memperoleh cara untuk mempertahankan budaya dan identitasnya, di sisi lain KBRI Colombo dapat mempromosikan budaya Indonesia. Dalam program budaya yang dilaksanakan oleh KBRI Colombo, antusiasme generasi muda Sri Lankan Malay cukup tinggi. Saat ini mereka telah menjadi agen diplomasi budaya Indonesia karena tidak hanya belajar bagaimana tarian tradisional Indonesia, tetapi mereka juga diberdayakan dalam beberapa kegiatan pentas seni dan budaya yang diselenggarakan oleh KBRI Colombo.
ADVERTISEMENT