Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Pakar Hukum UM Surabaya Paparkan Bahaya Populisme dalam Kontestasi Pemilu 2024
15 Agustus 2023 7:35 WIB
Tulisan dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Banyak partai politik (parpol) menggaet artis terkenal jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Strategi tersebut dianggap efektif untuk menarik elektoral dan memenangkan kontestasi politik.
ADVERTISEMENT
Sejumlah selebritas kondang tercatat maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024. Mereka akan bertarung dengan 580 bakal caleg DPR lainnya.
Kontestasi politik dalam Pemilu 2024 mengusung Calon Legislatif (Caleg) yang hanya melihat popularitas dan figur yang berpengaruh di media sosial/influencer tanpa mempertimbangkan hal-hal lainnya seperti kredibelitas, visi-misi Caleg, hingga integritasnya. Ada sederet persoalan yang akar masalahnya terletak pada praktik populisme.
Hal tersebut disampaikan oleh Pakar Hukum UM Surabaya Satria Unggul Wicaksana yang juga Dekan Fakultas Hukum.
Satria menjelaskan, populisme dalam banyak kajian Pakar seperti Muller dan Vedi R Hadiz sebagai gejala serius yang menghambat demokrasi dapat tumbuh dengan baik. Banyak aktor politik akan berupaya keras untuk menampilkan citra yang sebenarnya bertolak belakang dari karakter dan prinsip politik yang dijalankan.
ADVERTISEMENT
“Penggunaan berbagai kanal media sosial seperti instagram, Twitter/ X, Threads, dan Tiktok nyatanya mengkatrol populisme dan citra dari Caleg yang memiliki basis pengikut di dunia maya,”ujar Saria Selasa (8/8/23)
Kita tentu ingat jadinya Bongbong Marcos Jr yang merupakan anak dari Ferdinand Marcos di Filipina nyatanya mengaburkan fakta bahwa mereka lahir di keluarga diktator, karena popularitas tingginya di media sosial tiktok.
Satria mengatakan, media sosial juga seharusnya didorong agar menjadi arena bebas dalam diskursus untuk melakukan tracking terhadap caleg yang tidak melanggar integritas, memiliki kapabilitas, dan betul-betul dekat dengan rakyat.
Citra yang ditunjukkan oleh politisi jangan sampai menjadi kamuflase politik yang justru merugikan konstituen yang memilihnya.
“Maka dari itu, literasi digital masyarakat tentang kesadaran politik betul-betul harus didorong dalam rangka evaluasi 5 tahunan politik yang dilakukan oleh pemilih terhadap Caleg yang akan dipilihnya,”pungkas Satria.
ADVERTISEMENT