Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kita Mampu Berdaulat Pangan
3 Maret 2024 12:13 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari ali rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menurut FAO (2021) terdapat 69,1 % penduduk Indonesia yang tidak mampu membeli pangan bergizi. Artinya ada sekitar 189 juta orang di NKRI yang tidak mampu membeli makan yang bergizi. Adapun standar pangan bergizi seimbang yang dijadikan acuan oleh FAO mengacu kepada standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB).
ADVERTISEMENT
FAO juga melaporkan bahwa di Indonesia harga bahan pangan bergizi tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Dengan memperhitungkan faktor paritas daya beli (purchasing power parity/PPP), harga pangan bergizi di Indonesia mencapai angka 4,47 dollar AS sekitar Rp 69.000 perhari. Ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan Thailand (4,3 dollar AS); Filipina (4,1 dollar AS); Vietnam (4 dollar AS) dan Malaysia (3,5 dollar AS).
Sudah Jatuh Tertimpa Tangga
Sudah harga pangan mahal ditambah pula daya beli masyarakat yang rendah. Maka lengkap sudah derita kurang gizi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahkan yang sangat mencengangkan tidak tanggung tanggung lebih dari setengah jumlah penduduknya kekurangan gizi karena tidak mampu untuk membeli bahan pangan bergizi. Sebuah ironi untuk menuju visi Indonesia emas (cemas) tahun 2045. Untuk menjadi bangsa yang berdikari dalam bidang ekonomi, berdaulat dalam bidang politik dan berkepribadian dalam kebudayaan tentu harus didukung oleh SDM yang unggul. Faktor utama untuk menjadi SDM yang unggul otot kawat balung wesi tentunya faktor makannya harus bergizi seimbang.
ADVERTISEMENT
Mahalnya harga pangan karena rantai distribusi komoditi pangan dari on farm sampai ke dapur konsumen sangat panjang. Terlalu banyak middleman yang ikut cawe-cawe karena inefisiensi kelembagaan sektor pertanian. Sementara petani hanya mendapatkan porsi kecil saja dari margin keuntungan yang didapat. Sementara para broker yang dimulai dari tengkulak tingkat desa sampai distributor penjualan produk olahan pangan berbagi cuan dari jerih payah petani di pedesaan dalam menghasilkan bahan baku industri maupun produk segar yang dijual di modern market maupun pasar basah.
Sementara faktor daya beli yang rendah karen sumber pendapatan masyarakat yang belum membaik pasca badai covid yang meluluhlantakan semua sendi kehidupan. Untuk itu setidaknya diperlukan 3 (tiga) skema dalam menciptakan lapangan kerja. pertama yang bersifat stimulus dari pemerintah (padat karya), kedua munculnya pekerjaan baru yang tercipta akibat disrupsi ekonomi (green jobs) ataupun berputarnya kembali roda perekonomian dari sektor yang mati suri selama badai covid. Namun ketiga sektor pemicu lapangan kerja tersebut masih belum mampu mendongkrak pendapatan rakyat.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya fenomena harga pangan mahal dan daya beli rendah akibat pendapatan yang belum membaik bisa di sinergikan sehingga mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang bersifat stimulus. Tinggal bagaimana skema stimulus tersebut dapat dijalankan dengan tepat, terukur dan adanya keberpihakan dari pemerintah sehingga akan tumbuh menjadi bidang pekerjaan yang berkelanjutan sebagai penggerak ekonomi nasional.
Sebagai contoh untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, maka pemerintah mencarikan sumber protein untuk dibagikan atau disubsidi harganya. Kalo saja program tidak dipusatkan kepada 1 atau 2 komoditi sumber protein maka bisa tumbuh peluang komoditi lain untuk memasok kebutuhan protein pada program stunting. Tidak harus telur dan ayam sebagai sumber protein, tetapi juga bisa ikan laut, ikan budidaya air tawar maupun sumber protein dari alga/ rumput laut atau serangga misalnya. Intinya pemerintah fokus pada tujuan akhir yaitu dalam rangka menyediakan pangan bergizi yang seimbang sesuai standar AKG maupun FAO. Bukan pada jenis komoditinya. Hal ini karena NKRI dikaruniai beragamnya sumber pangan/ protein berbasis agromaritim.
ADVERTISEMENT
Agroindustri Pangan Pedesaan
Ketika program pemerintah fokus pada upaya penaggulangan gizi buruk dan penciptaan lapangan kerja maka titik temunya adalah Agroindustri Pangan. Jangan mengulangi kebijakan orde baru yang mensentralkan semua kebijakan pangan atas titah atau petunjuk pemerintah pusat. Kita harus mengkoreksi kesalahan kebijakan pangan masa lalu, melalui pemberdayaan kelembagaan pemerintah daerah, swasta/ Kadin Daerah (kadinda) maupun Bumdes serta menguatkan peran koperasi petani/ nelayan.
Ketika para pembudidaya ikan nila dan atau lele di pedesaan dijadikan sentra pemenuhan kebutuhan protein pada program penanggulangan stunting, maka industri abon atau dendeng atau baso harus didukung dan ditumbuhkan. Sinergi pentahelix antara Kadinda, Bumdes dan Bank Pembangunan Daerah (BPD), koperasi budidaya dan Pemda akan menjadi titik tolak pembangunan agroindustri pangan berbasis pedesaan.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama jika masayarakat pesisir pantai dengan kelimpahan ikan dan rumput laut. Maka pusat pengolahan ikan baik itu ikan beku, ikan asap, baso ikan dan pilet ikan yang ditumbuhkan bersama kadinda, bumdes, koperasi nelayan dan BPD dan atau LPMUKP/ BLU Kementrian KKP bisa terwujud sebagai basis penyediaan sumber protein murah dan berkualitas yang akan memacu penciptaan lapangan pekerjaan bagi para pemuda/pemudi di pedesaan.
Itu semua bukan sesuatu hal yang tidak mungkin untuk diwujudkan. Diseminasi teknologi untuk alat dan mesin pengolahan dari kampus maupun BRIN dan atau inovasi BUMN Pangan/ BUMN Rekin sebagai inti dari penumbuhan industri pangan berbasis sumber daya lokal di pedesaan bisa dilakukan. Yakinlah kita mampu untuk mewujudkan itu semua. Kalo pesawat terbang dan kapal laut bisa dibuat oleh putra-putra bangsa Indonesia, apalagi untuk alat dan mesin pengolahan pangan pasti mampu diproduksi. Sehingga kita tidak tergantung terus kepada hegemoni teknologi dari negara lain. Kita harus berkemauan kuat untuk tumbuh dan berdaulat dibidang industri pangan nasional.
ADVERTISEMENT
End to End Produk Pangan
Terkait solusi inefisiensi kelembagaan di sektor pertanian, kita kembalikan ke perintah konstitusi sebagai amanat kontrak sosial NKRI berdiri. Bahwa Koperasi adalah lembaga ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Karenanya kerjasama antara koperasi produsen yang menghasilkan produk pertanian segar, baik sebagai bahan baku industri maupun sebagai pemenuhan kebuthan sayur dan buah segar di pasar modern maupun pasar basah harus bekerjasama dengan koperasi konsumen yang berlokasi di perkotaan atau daerah urban.
Kerjasama koperasi produsen dan koperasi konsumen adalah praktek ideal dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani/ nelayan dan kesejahteraan anggota koperasi yang tergabung dalam koperasi konsumen. Petani/ nelayan akan mendapatkan keuntungan maksimal karena hilangnya peran broker/ tengkulak. Sementara anggota koperasi konsumen akan mendapatkan harga terbaik dengan kualitas produk yang segar karena mereka mendapatkan langsung produk dari tangan pertama, yaitu petani on farm/ nelayan.
ADVERTISEMENT
Untuk itu peran logistik rantai dingin menjadi sangat vital. Koperasi produsen selain membangun produk pangan yang ready to cook/ ready to eat berbasis mesin berpendingin. Juga di pusat-pusat konsumen mererka bisa membangun vending machine untuk menjual produk pertanian, perikanan atau peternakan yang masih fresh dan dengan harga yang kompetitif. Kembali lagi peran vital artificial intelegent dalam mengontrol kondisi stock barang dan sistem pembayaran yang paling cepat dan efisien.
Revitalisasi Dana Desa
Sejatinya dana desa selain untuk meningkatkan kepuasan pelayanan publik dan infrastruktur maka program lainnya adalah sebagai katalisator dalam menumbuhkan wirausaha berbasis industrialisasi pedesaan. Produknya disesuaikan dengan potensi desa masing-masing (one village one product). Titik sentranya adalah bagaimana dengan adanya dana desa dan melalui peran bumdes terjadi peningkatan nilai tambah dari komoditi hasil bumi atau jasa UMKM di pedesaan.
ADVERTISEMENT
Apalagi kalo bisa terjadi sinergi antara Bumdes, Koperasi Petani, Kadinda, Kampus dan BPD maka desa akan nyata perannya dalam menumbuhkan dan menguatkan ekonomi nasional. Apalagi di era disrupsi dan meluasmya penggunaan Internet of think (IoT) maka hambatan komunikasi, pemasaran dan logistik system sudah bisa teratasi. Disinilah sekali lagi fokus lain dari optimalisasi dana desa. Bagaimana mampu menciptkan atmosfir berusaha yang kondusif dengan aplikasi penerapan IoT disegala aspek. Terutama dalam meningkatkan efektifitas dan efisiensi bisnis proses bumdes dan koperasi petani/nelayan/ umkm. Investasi dana desa dalam penyediaan IoT atau bekerjasama dengan vendor teknologi melalui Kadin akan menciptakan iklim berusaha yang kondusif di pedesaan.
Ketika Bumdes dan para pengusaha di daerah (kadinda) dan koperasi petani berkolaborasi membangun pabrik pangan di desa maka akan dihasilkan produk pangan yang berkualitas. Dengan didukung oleh IoT yang juga hasil investasi pemerintah desa bekerjasama dengan swasta/ bumn (telkom) maka kegiatan pemasaran dan aplikasi sistem payment dan sistem akuntansi BUMDES/ Koperasi akan terbangun dengan sangat efisien, transparan dan akuntable. Apalagi dukungan industri logistik yang sudah sangat berkembang pesat maka teknis pengiriman dan penerimaan barang akan sangat simple dan efisien. Jika kondisi ini terjadi maka 2 (dua) masalah utama bangsa yaitu gizi buruk dan lapangan kerja/ kemiskinan dapat diselesaikan dalam satu waktu.
ADVERTISEMENT
Semoga kita semua, terkhusus Presiden terpilih 2024 bisa mewujudkan gagasan mulia untuk mewujudkan visi Indonesia Emas tahun 2045. Indonesia yang mandiri pangan berbasis agroindustri di pedesaan. Desa kuat dan mandiri maka visi Indonesia Emas 2045 bisa kita wujudkan.
Ali Rahman – Alumni IPB University, Tenaga Ahli BNPT RI.