Konten dari Pengguna

Menanti Kiprah Badan Gizi Nasional

ali rahman
Pengurus MPP ICMI dan Alumni IPB University.
3 Oktober 2024 20:28 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ali rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aneka olahan pangan dari sagu khas Maluku sebagai sumber gizi potensial (Sumber: foto pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Aneka olahan pangan dari sagu khas Maluku sebagai sumber gizi potensial (Sumber: foto pribadi)
ADVERTISEMENT
Terbitnya Perpres 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional sebagai bukti janji kampanye pasangan presdien terpilih untuk merealisasikan program makanan bergizi gratis (MBG). Terpiihnya Prof. Dadan Hindayana yang merupakan alumni IPB University sebagai anugrah sekaligus pertaruhan besar bagi IPB dalam mendarmabaktikan ilmu dan pengalaman akademik untuk turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat konstitusi UUD 1945 sekaligus pembuktian ungkapan Bung Karno pada saat pendirian kampus IPB bahwa pangan adalah hidup matinya suatu negara. Kedaulatan pangan adalah salah satu kunci kedaulatan negara. Oleh karena itu lahirnya Badan gizi nasional selain bertugas dalam memberikan pemenuhan gizi bagi rakyat NKRI juga harus memiliki visi dalam membangun kedaulatan pangan NKRI.
ADVERTISEMENT
Tantangan masih tingginya angka impor produk pangan, ketergantungan rakyat NKRI kepada beras yang sudah sangat mengkhawatirkan, besarnya potensi umbi dan kacang-kacangan yang belum dimaksimlakan sebagai sumber pangan bergzi dan sehat serta besarnya potensi pangan yang bersumber dari laut adalah sederat impian dan tantangan bagi Badan Gizi Nasional yang harus segera dijawab. Tidak mudah pastinya. Tetapi bukan tidak mungkin untuk bisa diwujudkan. Perlu waktu, tenaga , pemikiran dan yang terutama integritas dan keberanian untuk mewujudkan kedaulatan pangan NKRI. Cengkraman korporasi besar yang pasti sudah mempersiapkan segala sumber daya agar pemenuhan kebutuhan pangan untuk program MBG bisa menumbuhkan lebih besar lagi kue keuntungan perusahannya.
Cireundeu dan (Alm) Prof Suhardi
ADVERTISEMENT
Cireundeu adalah sebuah kampung adat di jawa barat. Mereka bersepakat untuk tidak mengkonsumsi nasi yang bersumber dari beras padi. Sudah berpuluh tahun komunitas adat cireundeu mengkonsumsi singkong sebagai makanan pokok. Adalah Mama Ali sebagai tokoh masyarakat Cireundeu yang dengan kharisma dan visi hidupnya untuk bisa terlepas dari ancaman kelaparan yang diciptakan oleh penjajah Belanda. Mama ali dengan keberanian dan pemahaman yang utuh akan potensi singkong sebagai tanaman asli Indonesia memutuskan dan mengikrarkan tidak akan tergantung kepada beras yang saat itu dikuasai oleh Belanda. Beras telah dijadikan senjata politik untuk menekan rakyat NKRI yang menentang dan melawan penjajah Belanda.
Intinya adalah keberanian dan komitmen Bersama yang dibangun melalui suri tauladan dan ketokohan. Mama ali sebagai tokoh sentral kampung adat cireundeu langsung memberikan contoh nyata (leading by example) bahwa kemerdekaan sejati adalah tidak tergantung kepada pihak lain. Singkong atau pohung tumbuh subur di bumi Nusantara sehingga sangat cocok sebagai sumber pangan tanpa harus tergantung kepada sumber pangan dari negara lain.
ADVERTISEMENT
Alm Prof Suhardi adalah sosok ilmuwan juga politisi yang sangat concern dengan kedaulatan pangan. Beliau adalah Ketua Umum Pertama Partai Gerindra. Beliau guru besar di kampus perjuangan UGM. Pernah menjadi Dirjend di Departemen Kehutanan dan Perkebunan kala itu. Beliau sosok yang bersahaja dan sangat militant dengan visi membangun kedaulatan pangan NKRI. Beliau sudah sangat lama berpuasa tidak makan makanan yang mengandung terigu/ gandum. Beliau memilih singkong dan umbi-umbian dan hanya mengkonsumsi makanan asli NKRI.
Sehingga beliau sering dijuluki Profesor Telo. Sebagai politisi dan ketua umum pertama partai gerindra tentunya beliau sadar betul bahwa perjuangan untuk memerdekakan pangan di NKRI harus melalui jalur politik. Semoga spirit dan lelaku hidup prof suhardi tetap menjadi arus utama kebijakan partai gerindra dalam upaya memandirikan NKRI dari hegemoni pangan impor dan dominasi konglomerasi pangan.
ADVERTISEMENT
Dengan mengambil 2 (dua) contoh keteladanan tentang kemerdekaan pangan. Sejatinya bersumber dari keberanian dan keyakinan bahwa NKRI mampu untuk berdaulat pangan. Tentu tidak hanya mama ali dan alm prof suhardi yang melakoni hidup tanpa pangan impor. Tetapi kita juga mengenal Masyarakat gunungn kidul dengan tiwul sebagai makanan khasnya. Papeda dari saudara kita di kepulauan maluku dan nasi krawu (nasi jagung) sebagai makanan khas dari madura.
Percepatan Keanekaragaman Pangan
Perpres 81/ 2024 tentang upaya percepatan penganekaragaman pangan berbasis sumber daya lokal, telah menegaskan bahwa makanan di NKRI susah untuk kembali beragam. Kehadiran Badan Pangan Nasional (bapanas) juga seolah mati suri untuk membudayakan konsumsi pangan yang beragam. Padahal kunci kesehatan dan kecerdasan suatu bangsa bersumber dari makanan yang beragam, bergizi, seimbang dan aman (B2SA). Untuk itu sudah sangat urgent kita semua untuk kembali melihat cireundeu dan spirit alm prof suhardi untuk membudayakan konsumsi pangan non beras dan non terigu.
ADVERTISEMENT
Kuncinya adalah teknologi pangan. Intinya adalah inovasi makanan yang mampu menjawab kebutuhan konsumen saat ini. Kita tidak bisa melawan kehendak (preferensi) konsumen. Perlu ada akulturasi budaya kekinian dengan spirit makanan yang terkategori B2SA. Anak-anak sekarang barangkali akan kesulitan Ketika diminta memakan gembili atau pisang kapok rebus. Memakan bubur hanjeli atau bubur suro (aneka biji-bijian) mungkin akan terasa asing di lidah mereka.
Makanan berbasis tepung adalah kuncinya. Inovasi aneka rasa adalah kreativitas untuk memanjakan lidah konsumen millennial. Makanan-makanan dalam bentuk flakes tidak harus bersumber dari jagung saja (corn flake). Bisa bersumber dari sorghum, ubi jalar, singkong atau arrowroots (umbi garut). Karena bisanya flakes dikonsumsi bersama susu maka produk susunya pun kita bisa buat dari kelapa (coconut milk) atau sumber nabati lainnya. Jadi, kalau ada kemauan pasti ada jalan. Kita bisa berdikari dibidang pangan bebasis potensi lokal.
ADVERTISEMENT
Belum lagi kita berbicara potensi karboihidrat dan protein dari laut. Spirulina, rumput laut dan aneka ganggang laut sebagai potensi pangan yang masih sangat sedikit dikonsumsi rakyat NKRI. Padahal NKRI sebagai pemilik garis Pantai terpanjang di dunia masih belum serius untuk mengandalkan sumber pangan dari laut. Untuk sumber protein jangan ditanya begitu melimpah ruahnya potensi ikan. Kita terjebak kepada imaginasi pecel lele dan budidaya ikan air tawar. Tidak ada yang salah dengan budidaya ikan air tawar. Tetapi menelantarkan atau membiarkan potensi laut dinikmati bangsa lain tentu tidak tepat. Sementara kita masih sangat memerlukan sumber ikan untuk memenuhi kebutuhan gizi rakyat NKRI.
Kementrian/ Lembaga Sebagi Role Model
ADVERTISEMENT
Untuk membuat cerita sukses program keanekaragaman pangan bisa dimulai dari jamuan konsumsi rapat di setiap K/L. Mewajibkan jamuan rapat hanya dengan makanan tanpa beras dan terigu serta bersumber dari koperasi dan UMKM/ Bumdes. Ini akan jadi pemicu untuk berkembangnya aneka kuliner berbasis potensi lokal yang beragam jenis. Selama ini jamuan rapat K/L tidak terlepas dari makanan berbasis terigu/ gandum dan beras.
Mulai sekarang dalam satu box konsumsi dan jamuan makan siang dilarang menggunakan terigu dan makanan yang berbasis beras. Harus ada kekuatan pemaksa untuk merubah kebiasaan yang telah berurat akar. Penerapan hukuman dan rewards wajib diterapkan. Kalo tidak ada sangsi dan penghargaan maka program tidak akan berjalan dengan sukses. Jadikanlah jamuan pangan lokal menjadi KPI di setiap K/L. Sehingga bisa masuk dalam objek audit dan pemeriksaan oleh BPK/ BPKP. Harus dipastikan juga bahwa produk pangan tersebut hanya dibuat oleh UMKM/Koperasi dan atau BUMDes.
ADVERTISEMENT
Tapi, jangan dilupakan juga system pembayaran jangan sampai telat. Ada kebiasaan yang menjadi kesulitan bagi UMKM untuk menjadi pemasok jamuan rapat adalah system pembayaran dari sebagian K/L yang lama. Sehingga hal ini menjadi hambatan masuk (barrier to entry) bagi UMKM untuk memasok produk ke K/L. Ada dugaan ini sengaja diciptakan oleh oknum agar hanya pengusaha besar saja yang mampu memasok produk ke K/L. Untuk membereskan masalah ini hendaknya BUMN yang bergerak dibidang jasa keuangan harus masuk. Jadikan misalnya program KUR untuk mem-back up system payment UMKM tersebut. Sehingga tidak ada alasan lagi bagi UMKM sulit memasok produk ke K/L. termasuk untuk perizinan dan sertifikat halal, PIRT, izin edar segera bergerak dinas terkait untuk melakukan pendampingan bagi UMKM agar masuk dalam kriteria kurasi produk pangan bagi K/L.
ADVERTISEMENT
Itulah sederat harapan dan tantangan bagi Badan Gizi Nasional untuk mengawali kiprahnya. Intinya kolaborasi dalam membangun ekosistem pangan nsional. Keberpihakan kepada penumbuhan usaha Koperasi dan UMKM pangan mutlak harus dilakukan. Jika ini terjadi maka program pemenuhan gizi, keanekaragaman pangan dan penumbuhan usaha berbasis desa akan tumbuh berkelanjutan. Badan gizi nasional akan menjadi pemicu dalam tumbuh dan berkembangnya ekosistem bisnis pangan berbasis koperasi di pedesaaan. Petani akan bergairah karena mendapatkan margin yang lebih besar. Hal ini terjadi karena industri pengolahan pangan hadir di setiap desa untuk memenuhi program makanan bergizi gratis (MBG).
Ali Rahman – Alumni IPB University