Konten dari Pengguna

Menggali Nilai-Nilai Kehidupan dalam Novel 'Anak Perawan di Sarang Penyamun'

Elsa Wulandari
Mahasiswi aktif Program Studi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2023. Saya memiliki hobi memasak dan mendengarkan musik.
22 Juli 2024 16:43 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Elsa Wulandari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT

Menelusuri Nilai-Nilai Kehidupan dalam Novel Karya Sutan Takdir Alisjahbana

Ilustrasi Woman Holding an Umbrella Greyscale. Foto: Pexels
Novel adalah sebuah karya sastra berbentuk prosa naratif yang panjang, yang menceritakan suatu cerita fiktif dengan kompleksitas karakter dan alur cerita yang mendalam. Novel juga memberi kesempatan kepada penulis untuk mengeksplorasi berbagai aspek kehidupan, baik dari sisi batin karakter maupun lingkungan eksternal mereka, dengan kedalaman detail yang lebih kaya dibandingkan dengan bentuk-bentuk sastra yang lebih singkat seperti cerpen.
ADVERTISEMENT
Nilai-nilai kehidupan dalam novel merujuk pada prinsip-prinsip, norma-norma, dan ajaran-ajaran yang disampaikan melalui cerita, karakter, dan kejadian dalam sebuah karya sastra. Nilai-nilai ini mencakup berbagai aspek kehidupan seperti moral, sosial, budaya, religius, pendidikan, dan kepahlawanan yang dapat diambil dan dijadikan pelajaran oleh pembaca. Nilai-nilai kehidupan membantu pembaca untuk memahami berbagai perspektif dan mengapresiasi keberagaman pengalaman manusia, sekaligus memberikan panduan tentang bagaimana hidup dengan lebih baik, bertanggung jawab, dan harmonis dalam masyarakat.
Sutan Takdir Alisyahbana adalah merupakan seorang sastrawan, budayawan, ahli Bahasa Indonesia, dan tokoh utama dalam pejuang gerakan Pujangga Baru. Sutan Takdir Alisjahbana adalah seorang tokoh asli Indonesia yang lahir di Natal, Tapanuli Selatan, di pantai barat Sumatera pada 11 Februari 1908. Peranan Sutan Takdir Alisyahbana dalam sastra, budaya, dan bahasa sangat besar. Salah satu karyanya yang mendapat sorotan masyarakat dan para peminat sastra yaitu 'Anak Perawan di Sarang Penyamun'. Novel ini adalah salah satu karya Sutan Takdir Alisjahbana yang diterbitkan pada tahun 1940. Sebelum diterbitkan dalam bentuk buku, kisah ini pertama kali dimuat sebagai cerita bersambung di majalah Penindjauan pada tahun 1932. Novel ini sangat populer sehingga dicetak ulang berkali-kali dan bahkan diterbitkan dalam edisi bahasa Melayu di Malaysia pada tahun 1964. Selain itu, novel ini juga diadaptasi menjadi film dengan judul yang sama pada tahun 1962 oleh sutradara Usmar Ismail. Novel ini mengisahkan tentang kehidupan seorang gadis desa cantik yang bernama Siti Rubiyah yang menggambarkan perjuangannya untuk bertahan hidup dan mempertahankan harga dirinya di tengah kondisi yang tidak menguntungkan. Sutan Takdir Alisjahbana menyoroti isu-isu sosial dan budaya yang ada pada masa itu, termasuk peran dan posisi perempuan dalam masyarakat. Artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai nilai-nilai yang tercermin pada novel ‘Anak Perawan Disarang Penyamun’ antara lain:
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Sunflower during Sunset. Sumber: Pexels
Nilai moral dalam novel ini sangat baik dan menarik, salah satunya terlihat ketika Medasing, sebagai kepala penyamun, bersama teman-temannya, tidak pernah sekalipun menyentuh atau mengganggu Sayu, satu-satunya perempuan di antara mereka.
Kutipan ini menciptakan tema tentang keistimewaan dan perlindungan yang datang dari kekuatan moral atau spiritual. Sayu, sebagai perawan, digambarkan memiliki sesuatu yang istimewa yang membuatnya terlindungi dari marabahaya, bahkan di tengah-tengah kelompok penyamun. Reaksi tokoh-tokoh seperti Medasing, Sanip, dan Tusin terhadap Sayu menyoroti pengaruh kuat dari kualitas intrinsik Sayu yang melampaui kekuatan fisik dan intimidasi, menunjukkan bahwa keutamaan moral dan spiritual dapat memberikan perlindungan yang nyata dalam situasi berbahaya.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Women Wearing Brown Head Accessory. Sumber: Pexels
Novel ini mengandung banyak nilai sosial dan budaya. Salah satunya terlihat ketika sekelompok penyamun datang ke pondok Haji Sahak, merampok, membunuh, dan menculik Sayu, putri Haji Sahak. Kejadian ini terjadi saat mereka menjual puluhan kerbau milik mereka dan tetangganya ke Palembang.
ADVERTISEMENT
Dalam kutipan di atas, bahwa Haji Sahak menunjukkan keberanian dan ketabahan dalam menghadapi situasi berbahaya. Meskipun terluka parah, ia masih mencoba untuk mempertahankan diri dengan meraih keris di bawah bantalnya. Ini mencerminkan nilai keberanian dan keteguhan hati yang dihargai dalam Masyarakat.
Ilustrasi Photo Of People Gathering Near Kaaba, Mecca, Saudi Arabia. Sumber: Pexels
Novel ini mengandung banyak nilai religius, salah satunya terlihat ketika Nyi Hajjah Andun terbangun saat waktu subuh karena kebiasaannya bangun pada waktu itu. Ia kemudian sembahyang dan berdoa hingga siang karena tidak bisa tidur lagi, meskipun doanya hanya diucapkan di bibir dan tidak meresap ke dalam hatinya.
ADVERTISEMENT
Kutipan ini menggambarkan pergulatan batin tokoh yang tetap menjalankan kewajiban religiusnya meskipun mengalami kelelahan fisik dan mental. Kelelahan ini digambarkan dengan jelas melalui frasa "badanya menjadi letih tak dapat berfikir dan mengharap lagi.” Disiplin dalam beribadah terlihat kuat, tetapi ada kekosongan spiritual yang dirasakan, menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual tanpa penghayatan yang mendalam dapat terasa hampa dan tidak memberikan ketenangan batin yang diharapkan.
Ilustrasi Woman Wearing Brown Shirt Carrying. Sumber: Pexels
Nilai kependidikan dalam novel ini tampak ketika Medasing dan Sayu pulang dari Mekah dan mengajarkan agama kepada anak-anak mereka.
ADVERTISEMENT
Dalam kutipan di atas, menggambarkan sepasang suami-istri yang dikasihi oleh rakyat mereka menunjukkan keteladanan dengan menunaikan ibadah haji. Tindakan ini memberikan contoh yang baik tentang pentingnya menjalankan kewajiban agama. Kembalinya mereka setelah menunaikan ibadah haji menekankan tanggung jawab seorang pemimpin untuk melaksanakan tugas agama dan berperan aktif dalam mendidik dan menyebarkan ajaran agama kepada keluarga dan masyarakat. Ini menunjukkan pentingnya pendidikan agama dalam membentuk karakter dan moral individu.
Ilustrasi Silhouette Of People Walking. Sumber: Pexels
Novel ini mengandung nilai kepahlawanan yang menarik, terlihat ketika Sayu tetap merawat seorang penyamun yang sedang sakit meskipun penyamun tersebut telah membunuh ayahnya.
ADVERTISEMENT
Dalam kutipan tersebut, Sayu menunjukkan keberanian luar biasa dengan segera turun untuk menolong pria yang terbaring, meskipun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tindakannya ini mencerminkan keberanian menghadapi situasi sulit tanpa keraguan. Kesadaran Sayu untuk segera membantu pria tersebut menunjukkan kepedulian dan empati yang mendalam. Meskipun pria itu mungkin seorang penyamun, Sayu tetap merasa terdorong untuk menolong sesama yang sedang kesulitan. Usaha Sayu untuk mengangkat tubuh pria itu, meskipun ia sadar bahwa tenaganya tidak cukup, menunjukkan tekad dan kegigihan yang kuat. Ia tidak menyerah meskipun menghadapi rintangan fisik yang besar. Tindakan Sayu yang mengabaikan ketidakpastian dan ketakutannya demi menolong orang lain menunjukkan pengorbanan diri. Ia menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadinya, yang merupakan inti dari nilai kepahlawanan.
ADVERTISEMENT
Referensi
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1932. Anak Perawan Disarang Penyamun. Jakarta: Pustaka Rakyat.
Erilia, Erika. 2021. “Sinopsis Novel Anak Perawan di Sarang Penyamun dari Sutan Takdir Alisjahbana” https://tirto.id/sinopsis-novel-anak-perawan-di-sarang-penyamun-dari-sutan-takdir-as-gmUe. Diakses pada 16 Juli 2024, 16.57 wib.