Konten dari Pengguna

Pentingnya Diplomasi Indonesia Terhadap FPDA dalam Sengketa Laut China Selatan

Rian Wirya
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Sebelas Maret
19 Mei 2024 10:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rian Wirya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
KRI TNI AL sedang berlatih di Laut Natuna Utara. (Foto: tni.mil.id)
zoom-in-whitePerbesar
KRI TNI AL sedang berlatih di Laut Natuna Utara. (Foto: tni.mil.id)
ADVERTISEMENT
Laut China Selatan (LCS) menjadi kawasan yang subur dalam berbagai topik berita media massa baik di dalam maupun luar negeri, adanya pelanggaran wilayah, saling klaim territorial, maupun konflik berskala kecil yang terjadi di sana tak pelak menjadi salah satu fokus utama dalam hubungan luar negeri Indonesia. Bermula dari niatan negara China untuk mengklaim wilayah LCS melalui kebijakan luar negeri nine dash line atau sembilan garis imajiner putus-putus yang mencakup hampir sebagian besar perairan di Laut China Selatan. Meskipun Indonesia tidak menjadi salah satu negara pengklaim dalam sengketa Laut China Selatan, tapi berulang kali insiden tak menyenangkan yang dialami Indonesia di wilayah terluarnya di Laut Natuna Utara yang masuk dalam sembilan garis putus. Seringkali berupa kucing-kucingan dengan kapal coastguard China maupun kapal nelayan mereka yang melakukan aktivitas penangkapan ikan yang menurut pemerintah Indonesia merupakan tindakan illegal karena dilakukan di wilayah ZEE Indonesia menurut hukum laut internasional.
ADVERTISEMENT
Klaim China atas LCS ini tak dapat dipandang remeh, kebijakan Sembilan garis putus-putus yang telah serius dirumuskan pemerintah China cepat atau lambat pasti akan diusahakan terealisasi baik secara non-militer maupun bila perlu secara militer. Hal ini terlihat dari upaya softpower China yang berusaha melakukan klaim melalui hukum kebiasaan internasional dengan cara meningkatkan aktivitas di LCS seperti mengirim kapal-kapal nelayan yang dijaga kapal coastguard maupun mendirikan bangunan (pangkalan militer, lapangan udara, pulau buatan, dll) di wilayah kepulauan Spratly.
China dengan kekuatan militernya yang tak main-main dengan beragam teknologi militer canggih bisa saja sewaktu-waktu menggelar pasukan beserta alutsista secara serempak jika ingin menempuh jalur militer. Walaupun begitu, masih terngiang dalam ingatan adanya prediksi dari CSIS tentang skenario invasi China ke Taiwan yang diperkirakan akan berakhir berdarah-darah, itupun sudah dibarengi dengan bantuan dari negara seperti Amerika dan Jepang.
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Tak perlu menilik terlalu jauh pada persoalan angkatan bersenjata, Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang selama ini menghalau patroli kapal-kapal coastguard China yang berseliweran di Laut Natuna Utara sering menemui kendala terutama dalam persoalan bahan bakar, padahal Bakamla yang mengemban peran coastguard adalah garda terdepan penjagaan wilayah laut terluar Indonesia. Dalam beberapa kesempatan pihak Bakamla mengeluhkan kekurangan bahan bakar sehingga patroli tidak bisa dilakukan secara berkala setiap hari dan hanya melakukan pemberangkatan ketika telah terjadi insiden. Persoalan lainnya adalah adanya fakta bahwa jumlah kapal yang dimiliki Bakamla disinyalir masih tidak mencukupi untuk melakukan patroli di wilayah Natuna, hal ini dapat dipahami mengingat wilayah yang luas serta gangguan yang terjadi di perairan terluar Indonesia tidak hanya dari China, sehingga terbagi konsentrasinya dengan insiden kapal-kapal nelayan maupun coastguard dari negara lain seperti Vietnam dan Malaysia.
ADVERTISEMENT
Problematika sengketa laut china Selatan ini tidak hanya meresahkan bagi Indonesia, namun juga turut memengaruhi percaturan geopolitik dunia terutama yang terkait dengan negara-negara yang memiliki hubungan baik dengan China. Di Asean misalnya, Malaysia telah berulang kali berurusan dengan kapal coastguard China yang memasuki perairan ZEE Malaysia, hal ini tentunya menjadi sinyal ancaman yang semestinya diantisipasi secara serius walaupun sebagian elit politik di Malaysia cenderung menahan diri untuk berkomentar dan tetap memandang bahwa China bukanlah ancaman walaupun di sisi lain juga diam-diam mendukung upaya diplomasi Amerika di kawasan LCS.
Sikap Malaysia yang terkesan kurang tegas dalam persoalan sengketa Laut China Selatan ini mungkin kurang sejalan dengan salah satu organisasi keamanan regional yang diikutinya, yaitu FPDA. FPDA sendiri adalah Five Power Defence Arrangement yang dibentuk pada tahun 1971 yang terdiri dari United Kingdom, Australia, Selandia Baru, Malaysia, dan Singapura yang terutama sebagai upaya Inggris untuk memberikan keamanan dan pelatihan militer bagi bekas jajahan mereka di Asean, yaitu Singapura dan Malaysia. Kondisi politik internasional di masa perang dingin itu dimana pada tahun-tahun sebelumnya Indonesia dianggap sebagai sebuah ancaman karena pada pemerintahan Soekarno yang condong berpihak pada Uni Soviet memaksa berdirinya FPDA sebagai benteng dari bahaya komunisme serta agar Inggris yang merupakan “representasi” dari negara barat agar dapat menancapkan hegemoni di wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, perkembangan dinamika global yang fluktuatif telah memacu FPDA agar senantiasa relevan dengan situasi internasional yang ada, dalam beberapa dekade belakangan ini tujuan FPDA telah sedikit berubah dengan berfokus pada kestabilan keamanan regional bahkan anggapan ancaman dari Indonesia dianggap perlu dihilangkan, hal ini terlihat dari pernyataan perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong beberapa tahun lalu yang menyatakan perlunya mengubah persepsi Indonesia terhadap FPDA bahwa Indonesia bukanlah ancaman dan memasukkan Indonesia untuk diundang dalam latihan militer antar negara anggota FPDA sebagai observer atau pengamat.
Permasalahan di laut china Selatan bukan hanya persoalan bagi negara-negara yang menjadi pengklaim di wilayah tersebut, tapi juga menjadi front persaingan antara Amerika dan China. Amerika yang memiliki kepentingan untuk menandingi hegemoni China memerlukan “tangan kanan” untuk menancapkan pengaruhnya di kawasan LCS dimana Australia walaupun tidak secara langsung berhadapan dengan China tapi dengan keanggotaannya di FPDA dan AUKUS dapat meningkatkan situational awareness serta menjadi pion Amerika di kawasan ini.
ADVERTISEMENT
Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir ini berusaha memaksimalkan postur pertahanan yang ideal saat ini tentu membutuhkan waktu yang lama dalam perkembangannya bahkan untuk sekedar mempertahankan diri dari ancaman militer di halaman depan Laut Natuna Utara. Apalagi kita tidak tahu kapan dan seberapa besar kesanggupan kita dalam menahan berbagai serangan yang ada. Oleh karena itu, Indonesia perlu memaksimalkan segala potensi diplomasi melalui kebijakan luar negeri termasuk melobi dalam menyatukan berbagai kekuatan regional di sekitar kawasan yang rawan ini. Sinergitas harus terjalin di antara semua negara yang merasa berkepentingan, Indonesia dalam hal ini perlu melihat peluang yang ada dengan menjalin kerjasama yang erat dengan FPDA. Mengingat adanya kesamaan potensi ancaman sehingga dapat menjadi alasan yang relevan dengan tujuan FPDA saat ini untuk turut serta menjaga kestabilan keamanan di wilayah Asean serta dapat sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan wilayah NKRI.
ADVERTISEMENT