Konten dari Pengguna

Kepercayaan dan Pantangan: Mitos Menjual Garam dan Terasi dari Sore hingga Malam

Ajeng Wiko Rimadani
Mahasiswa Univeraitas Amikom Purwokerto
19 Oktober 2024 13:26 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ajeng Wiko Rimadani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : istockphoto.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : istockphoto.com
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, ada berbagai kebiasaan dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Salah satu tradisi yang masih diyakini oleh sebagian masyarakat, khususnya di Jawa, adalah pantangan pedagang kelontong untuk menjual garam dan terasi pada sore hingga malam hari. Bagi yang tidak akrab dengan kepercayaan ini, larangan tersebut mungkin terdengar aneh, tetapi bagi sebagian orang, hal ini terkait dengan kepercayaan mistis yang dihindari karena diyakini bisa membawa dampak negatif.
ADVERTISEMENT
Lantas, apa sebenarnya alasan di balik pantangan ini? Apakah memang ada unsur mistis yang dihindari oleh para pedagang? Mari kita telusuri lebih dalam tentang kepercayaan ini dari sudut pandang budaya dan tradisi, terutama dalam kepercayaan Jawa, serta bagaimana hal ini dipahami oleh masyarakat secara umum.
1. Garam dan Terasi: Bukan Sekadar Bahan Masakan
Garam dan terasi bukanlah barang dagangan biasa dalam tradisi masyarakat Jawa. Garam dalam banyak kebudayaan dianggap memiliki nilai spiritual yang kuat. Dalam kepercayaan Jawa, garam kerap dianggap sebagai simbol kesucian dan pelindung dari hal-hal negatif, termasuk gangguan makhluk halus. Sementara itu, terasi, dengan baunya yang khas dan kuat, juga diyakini memiliki kekuatan yang dapat menarik makhluk halus atau roh jahat.
ADVERTISEMENT
Kedua benda ini, karena karakteristiknya yang “kuat” baik secara spiritual maupun fisik (seperti bau terasi yang tajam), dipercaya memiliki hubungan dengan alam gaib. Dalam konteks inilah, menjual atau membeli garam dan terasi di waktu-waktu tertentu, seperti sore atau malam hari, dianggap berisiko secara spiritual. Waktu sore hingga malam hari dalam kepercayaan Jawa sering kali dikaitkan dengan aktivitas makhluk halus, sehingga ada anggapan bahwa aktivitas tersebut harus dihindari untuk menghindari keburukan.
2. Waktu Sore dan Malam Hari: Periode Transisi yang Dianggap Mistis
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, waktu sore hingga malam hari dianggap sebagai periode transisi antara dunia yang terang (siang) dan dunia yang gelap (malam). Pada waktu ini, diyakini bahwa makhluk halus lebih aktif bergerak, dan energi negatif atau tidak baik lebih dominan. Karena itu, beberapa aktivitas yang melibatkan benda-benda dengan energi spiritual kuat, seperti garam dan terasi, sebaiknya dihindari.
ADVERTISEMENT
Menjual garam pada waktu malam bisa diartikan sebagai “mengusir keberuntungan” atau “membersihkan rejeki,” karena garam sebagai simbol kesucian seakan-akan dipindahkan ke orang lain, yang dalam konteks malam hari dapat mengundang sial. Terasi, dengan baunya yang menyengat, dianggap bisa menarik perhatian makhluk halus yang sedang berkeliaran di malam hari, sehingga menjualnya pada waktu tersebut dianggap bisa mendatangkan gangguan atau keburukan.
Selain itu, malam hari dalam budaya Jawa bukan hanya dianggap sebagai waktu yang “gelap” secara fisik, tetapi juga penuh dengan energi mistis. Banyak mitos yang menyebutkan bahwa berinteraksi dengan benda-benda tertentu pada malam hari dapat mengundang gangguan dari alam gaib. Oleh karena itu, pedagang kelontong yang percaya pada pantangan ini lebih memilih untuk menghindari transaksi garam dan terasi pada waktu-waktu tersebut.
ADVERTISEMENT
3. Mitos dan Kepercayaan dalam Konteks Keberuntungan
Kepercayaan tentang garam dan terasi juga tidak lepas dari aspek keberuntungan dan rejeki. Dalam tradisi Jawa, menjaga keseimbangan antara dunia spiritual dan dunia nyata sangat penting untuk mempertahankan kesejahteraan hidup. Menjual garam, yang melambangkan kesucian dan pelindung dari hal-hal buruk, pada waktu yang dianggap “tidak baik” dapat menyebabkan penurunan rejeki atau keberuntungan.
Dalam beberapa kepercayaan, garam diyakini memiliki kekuatan untuk menetralisir energi negatif. Oleh karena itu, mengeluarkannya dari rumah atau toko pada malam hari dapat dianggap sebagai tindakan yang bisa melemahkan perlindungan spiritual di tempat tersebut. Pedagang yang menjual garam atau terasi pada malam hari dianggap “melepaskan” perlindungan dan keberuntungan mereka sendiri, yang dapat berdampak pada kesejahteraan bisnis dan keluarga.
ADVERTISEMENT
4. Perspektif Praktis: Penurunan Aktivitas Dagang pada Malam Hari
Selain alasan mistis, ada pula pertimbangan praktis yang bisa menjelaskan kenapa beberapa pedagang kelontong tidak menjual garam dan terasi pada malam hari. Di beberapa daerah, terutama di pedesaan, aktivitas jual beli memang cenderung menurun pada malam hari. Sore hingga malam hari adalah waktu bagi masyarakat untuk beristirahat, sehingga kebutuhan membeli barang-barang seperti garam dan terasi biasanya lebih banyak dilakukan di pagi hingga siang hari.
Dari perspektif bisnis, menjual garam atau terasi pada malam hari mungkin tidak seefisien menjualnya di waktu-waktu sibuk. Oleh karena itu, beberapa pedagang lebih memilih untuk menutup tokonya atau menghentikan transaksi barang-barang tertentu saat sore atau malam hari.
ADVERTISEMENT
5. Tradisi Serupa dalam Budaya Lain
Kepercayaan tentang waktu dan benda-benda tertentu yang memiliki kekuatan spiritual juga tidak hanya ditemukan dalam budaya Jawa. Di berbagai budaya di seluruh dunia, terdapat keyakinan bahwa ada waktu-waktu tertentu yang lebih rawan atau harus dihindari untuk berinteraksi dengan benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan khusus.
Misalnya, dalam beberapa budaya di Asia, garam juga diyakini sebagai pelindung dari roh jahat. Di Jepang, ada tradisi menabur garam di depan pintu setelah seseorang yang dianggap “tidak membawa keberuntungan” datang, sebagai cara untuk membersihkan energi negatif. Di berbagai kebudayaan lainnya, waktu malam sering kali dikaitkan dengan kehadiran makhluk gaib atau energi yang tidak baik, sehingga aktivitas tertentu lebih dihindari pada waktu tersebut.
ADVERTISEMENT
6. Kombinasi Mitos dan Realitas
Kepercayaan tentang pantangan menjual garam dan terasi pada sore hingga malam hari mencerminkan bagaimana tradisi dan mitos masih berperan dalam kehidupan sehari-hari sebagian masyarakat Indonesia. Meskipun tidak semua orang memegang teguh keyakinan ini, bagi mereka yang masih hidup dalam kerangka budaya tradisional, pantangan ini adalah bagian dari cara menjaga keseimbangan spiritual dan melindungi diri dari hal-hal yang dianggap tidak baik. Seiring dengan perkembangan zaman, kepercayaan ini mungkin semakin jarang ditemui, terutama di kota-kota besar. Namun, bagi mereka yang tumbuh dengan kepercayaan ini, pantangan menjual garam dan terasi di sore hingga malam hari tetap menjadi bagian penting dari warisan budaya yang mereka hargai.