Konten dari Pengguna

Mereka Tetap Orang Tuaku Tetapi Mereka Bukan Rumah Tempatku Kembali

Ajeng Wiko Rimadani
Mahasiswa Univeraitas Amikom Purwokerto
13 Oktober 2024 15:43 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ajeng Wiko Rimadani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : istockohoto.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : istockohoto.com
ADVERTISEMENT
Artikel ini membahas secara rinci tentang situasi yang mungkin dialami oleh banyak orang, di mana meskipun orang tua tetap menjadi sosok penting dalam hidup, mereka tidak lagi dirasakan sebagai “tempat pulang” secara emosional. Situasi ini seringkali penuh dengan dilema emosional karena, di satu sisi, ada ikatan darah dan kewajiban keluarga, tetapi di sisi lain, ada ketidaknyamanan dalam hubungan yang membuat seseorang merasa tidak memiliki tempat yang aman atau nyaman di tengah keluarganya sendiri.
ADVERTISEMENT
1. Hubungan yang Terasa Asing: Ketidakhadiran Emosional
Orang tua biasanya dianggap sebagai figur yang memberikan kenyamanan, keamanan, dan rasa pulang. Namun, ketika hubungan dengan mereka menjadi renggang, atau terjadi kurangnya keterhubungan emosional, rumah bisa terasa seperti tempat yang asing. Dalam situasi seperti ini, meskipun secara fisik orang tua tetap hadir, seseorang mungkin merasa kesepian secara emosional. Ketidakhadiran emosional ini bisa muncul dari berbagai hal, seperti:
• Perbedaan pandangan hidup: Anak yang tumbuh dengan cara pandang atau nilai-nilai yang berbeda dengan orang tuanya sering kali merasa sulit berbicara secara terbuka atau dipahami. Hal ini bisa menciptakan jarak emosional.
• Kurangnya dukungan: Ketika orang tua tidak mendukung atau bahkan menolak keputusan-keputusan hidup anak, misalnya dalam hal pendidikan, pekerjaan, atau hubungan pribadi, anak bisa merasa tidak dihargai.
ADVERTISEMENT
• Komunikasi yang tertutup: Beberapa keluarga tidak terbiasa berbicara tentang perasaan atau masalah secara terbuka, yang membuat anak sulit untuk merasa nyaman mencari dukungan dari orang tua mereka.
2. Ekspektasi dan Realitas yang Tidak Sejalan
Ekspektasi orang tua terhadap anak bisa menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi hubungan. Dalam beberapa kasus, ekspektasi yang terlalu tinggi atau berbeda dengan kenyataan hidup anak bisa menciptakan ketegangan. Misalnya, orang tua mungkin mengharapkan anak untuk memiliki karier tertentu, menikah pada usia tertentu, atau mengikuti tradisi keluarga, sementara anak memiliki pandangan hidup yang berbeda. Ketika ekspektasi tersebut tidak terpenuhi, hubungan bisa menjadi lebih formal dan kaku, menghilangkan rasa pulang yang nyaman.
• Ekspektasi sosial dan budaya: Dalam beberapa keluarga, ekspektasi yang berasal dari tradisi atau norma sosial bisa menjadi sumber perpecahan. Anak yang merasa tertekan untuk memenuhi harapan-harapan ini sering kali merasa gagal di mata orang tuanya, dan akhirnya merasa tidak layak atau tidak bisa diterima.
ADVERTISEMENT
• Kritik yang terus-menerus: Jika orang tua terus-menerus mengkritik pilihan hidup anak, hubungan bisa berubah menjadi penuh ketegangan. Anak yang merasa tidak pernah cukup baik atau selalu disalahkan akan menarik diri dari hubungan tersebut.
3. Pergeseran Peran Keluarga dan Pencarian Tempat Pulang
Seiring bertambahnya usia dan semakin dewasanya anak, sering kali ada pergeseran dalam peran keluarga. Apa yang dulunya menjadi hubungan penuh perhatian dan dukungan dari orang tua, bisa berubah menjadi lebih netral atau bahkan jauh. Anak dewasa mungkin mencari sumber dukungan lain, baik itu dari pasangan, sahabat, atau komunitas yang lebih sesuai dengan nilai dan pemahaman mereka.
• Tempat pulang yang berbeda: Saat perasaan ketidaknyamanan terus berlanjut, anak mungkin merasa bahwa mereka telah menemukan “tempat pulang” emosional di luar rumah, mungkin melalui hubungan lain yang lebih memahami dan mendukung.
ADVERTISEMENT
• Pengaruh pengalaman hidup: Pengalaman-pengalaman hidup seperti bekerja, studi, atau tinggal di luar rumah bisa memperluas pandangan seseorang, dan hubungan dengan orang tua yang tidak mengalami perubahan yang sama bisa terasa semakin jauh.
4. Proses Penerimaan: Mereka Tetap Orang Tuaku
Bagian dari proses ini melibatkan penerimaan bahwa meskipun hubungan dengan orang tua mungkin tidak sempurna, atau bahkan mengecewakan, mereka tetaplah orang tua kita. Namun, penerimaan ini juga berarti menerima bahwa orang tua mungkin tidak selalu bisa menjadi tempat kita pulang secara emosional.
• Mengelola harapan: Menerima keterbatasan orang tua dalam memenuhi kebutuhan emosional kita adalah bagian penting dari proses ini. Bukan berarti kita harus sepenuhnya menarik diri, tetapi lebih kepada mengatur ekspektasi kita tentang apa yang bisa mereka berikan.
ADVERTISEMENT
• Memisahkan kasih sayang dan dukungan: Ada perbedaan antara mencintai orang tua dan menjadikan mereka satu-satunya sumber dukungan emosional. Terkadang, meskipun ada kasih sayang, kita perlu mencari dukungan dari tempat lain yang lebih mengerti situasi kita.
5. Membangun Kemandirian Emosional
Ketika seseorang merasa bahwa orang tuanya bukan lagi tempat pulang secara emosional, ini juga bisa menjadi peluang untuk membangun kemandirian emosional. Belajar untuk merawat diri sendiri secara emosional, menemukan orang-orang yang memberikan dukungan, dan menciptakan “rumah” dalam diri sendiri adalah bagian dari perjalanan ini.
• Mencari dukungan eksternal: Berbicara dengan teman, terapis, atau komunitas yang mendukung bisa membantu mengisi kekosongan emosional yang mungkin tidak bisa dipenuhi oleh orang tua.
ADVERTISEMENT
• Membangun rumah di dalam diri sendiri: Menciptakan ruang aman di dalam diri sendiri di mana kita bisa merasakan kenyamanan, rasa aman, dan menerima diri kita apa adanya adalah langkah penting dalam proses ini.
6. Menjaga Hubungan, Meski Bukan Tempat Pulang
Pada akhirnya, orang tua tetap menjadi bagian penting dari hidup kita, meskipun mereka mungkin tidak lagi menjadi sumber kenyamanan yang kita butuhkan. Menjaga hubungan dengan batas-batas yang sehat bisa menjadi cara untuk tetap menghormati ikatan keluarga tanpa harus mengorbankan kesejahteraan emosional kita.
• Menetapkan batas-batas yang sehat: Menjaga jarak emosional atau fisik yang tepat bisa membantu mencegah konflik yang lebih besar, sambil tetap mempertahankan hubungan yang fungsional dengan orang tua.
ADVERTISEMENT
• Menghargai kebaikan-kebaikan yang ada: Fokus pada aspek positif dari hubungan, meskipun mungkin tidak sempurna, bisa membantu menjaga ikatan dengan cara yang lebih sehat dan seimbang.