Konten dari Pengguna

Pola Komunikasi Keluarga: Kenapa Anak Enggan Terbuka dengan Orang Tua?

Ajeng Wiko Rimadani
Mahasiswa Univeraitas Amikom Purwokerto
16 Oktober 2024 8:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ajeng Wiko Rimadani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : istockohoto.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : istockohoto.com
ADVERTISEMENT
Dalam keluarga, kemampuan untuk terbuka atau mengungkapkan perasaan dan keluhan merupakan hal penting dalam menjaga kesehatan mental dan hubungan yang sehat. Namun, ada banyak individu yang tumbuh dalam keluarga yang tidak memberikan ruang untuk berbicara atau mengeluh. Pola ini sering kali menciptakan lingkungan di mana segala perasaan, frustrasi, dan masalah harus dipendam. Situasi ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan pola interaksi sosial. Berikut adalah pandangan rinci dari sisi psikologi mengenai penyebab, dampak, dan cara mengatasi ketidakmampuan untuk terbuka dalam keluarga.
ADVERTISEMENT
1. Budaya Keluarga dan Pola Komunikasi
Keluarga adalah unit sosial pertama di mana individu belajar bagaimana berinteraksi dan berkomunikasi. Dalam beberapa keluarga, ada budaya yang tidak mengizinkan anggota keluarga untuk mengungkapkan perasaan mereka, baik karena norma budaya, nilai tradisional, atau keyakinan bahwa “masalah pribadi tidak untuk dibagikan.”
Pakar psikologi menyebut hal ini sebagai communication patterns atau pola komunikasi, yang sering terbentuk secara turun-temurun. Keluarga yang memiliki pola komunikasi tertutup cenderung melihat masalah emosional sebagai tanda kelemahan. Dalam banyak kasus, orang tua yang tidak memberikan contoh keterbukaan akan menciptakan lingkungan di mana anak-anak mereka merasa takut untuk mengungkapkan perasaan mereka.
2. Pengaruh pada Kesehatan Mental
Ketidakmampuan untuk terbuka atau berbagi perasaan dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan mental. Salah satu dampak utamanya adalah perasaan terisolasi. Seseorang yang selalu memendam perasaan mungkin merasa sendirian dalam menghadapi masalahnya, meskipun sebenarnya berada di tengah keluarga.
ADVERTISEMENT
Menurut penelitian, ketika seseorang tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya, ada kemungkinan besar mereka akan mengalami masalah seperti kecemasan, depresi, dan stres berkepanjangan. Pakar psikologi juga menyebutkan bahwa memendam emosi sering kali dapat berujung pada emotional suppression, di mana emosi yang ditekan akhirnya muncul dalam bentuk ledakan emosional atau gejala fisik, seperti sakit kepala, sakit perut, atau masalah tidur.
3. Pola Pengasuhan Otoriter dan Efeknya
Dalam keluarga dengan pola pengasuhan yang otoriter, di mana orang tua lebih berfokus pada disiplin dan aturan daripada keterbukaan emosional, anak-anak cenderung tidak memiliki ruang untuk berbicara tentang perasaan mereka. Dalam lingkungan seperti ini, komunikasi lebih bersifat satu arah, dari orang tua kepada anak, dan jarang terjadi diskusi tentang perasaan.
ADVERTISEMENT
Psikolog Dr. John Gottman menyebutkan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam keluarga dengan pengasuhan otoriter sering kali mengalami kesulitan dalam mengekspresikan emosi mereka di kemudian hari. Mereka mungkin merasa takut akan kritik atau penolakan jika mereka mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.
4. Pola Ketergantungan pada Diri Sendiri
Ketika seseorang tumbuh dalam keluarga yang tidak mengajarkan keterbukaan, mereka sering kali belajar untuk mengandalkan diri sendiri. Hal ini mungkin tampak seperti tanda kemandirian, namun di sisi lain, ketergantungan yang berlebihan pada diri sendiri dapat menyebabkan ketidakmampuan untuk meminta bantuan ketika benar-benar diperlukan. Psikolog menyebut fenomena ini sebagai hyper-independence, di mana individu merasa bahwa mereka harus menangani semua masalah sendirian, tanpa melibatkan orang lain.
ADVERTISEMENT
Orang dengan pola ini sering kali terlihat kuat dari luar, tetapi di dalamnya mereka mengalami kelelahan emosional karena menanggung beban yang seharusnya bisa dibagi.
5. Dampak pada Hubungan Sosial
Orang yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak mengizinkan mereka untuk terbuka sering kali membawa pola ini ke dalam hubungan sosial mereka. Mereka mungkin merasa sulit untuk menjalin hubungan yang dalam dengan orang lain atau berbagi perasaan mereka. Hal ini dapat menyebabkan hubungan yang dangkal dan kurangnya dukungan emosional dalam kehidupan mereka. Ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif tentang emosi juga dapat menyebabkan kesalahpahaman dan konflik dalam hubungan interpersonal.
6. Cara Mengatasi Pola Ini
Meskipun sulit untuk mengubah pola komunikasi yang telah terbentuk sejak kecil, ada beberapa strategi yang direkomendasikan oleh para ahli psikologi untuk mulai membuka diri dan mengatasi dampak dari ketidakmampuan untuk terbuka dalam keluarga:
ADVERTISEMENT
• Terapi dan Konseling: Terapi individu atau keluarga dapat menjadi langkah pertama yang efektif untuk memahami dan mengatasi pola komunikasi yang tertutup. Terapi dapat membantu individu belajar bagaimana mengidentifikasi dan mengekspresikan perasaan mereka dengan cara yang sehat.
• Membangun Keterampilan Komunikasi: Belajar keterampilan komunikasi yang sehat, seperti mendengarkan aktif, mengungkapkan perasaan dengan jelas, dan belajar bagaimana berempati, dapat membantu seseorang mulai terbuka dengan orang lain.
• Lingkungan Pendukung: Mencari kelompok atau komunitas di mana seseorang merasa aman untuk berbicara tentang perasaan mereka juga penting. Dukungan dari luar, seperti teman dekat atau kelompok dukungan, dapat membantu individu yang tidak pernah terbiasa terbuka dalam keluarga mereka.
• Latihan Ekspresi Diri: Beberapa orang menemukan bahwa menulis jurnal atau berbicara kepada diri sendiri di depan cermin dapat membantu mereka mengekspresikan perasaan mereka. Hal ini dapat membantu mereka lebih nyaman berbicara tentang emosi sebelum melakukannya dengan orang lain.
ADVERTISEMENT
• Pahami Emosi Diri: Mengenali dan menerima emosi yang dirasakan adalah langkah awal dalam mengatasi kebiasaan menekan perasaan. Psikolog Carl Rogers mengatakan bahwa penerimaan diri dan pengakuan terhadap perasaan adalah inti dari kesejahteraan mental.