Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kecacatan Undang-Undang Cipta Kerja
24 Juni 2023 11:54 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ahmad Kada Alfainji Ulinnuha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Cipta Kerja telah resmi disahkan menjadi undang-undang melalui Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (21/3/2023) lalu.
ADVERTISEMENT
Meski terjadi penolakan masyarakat terhadap Perppu yang dibuat karena urgensi pengesahannya, DPR tetap memproklamirkan dengan mengetok palu sebagai bukti disahkannya Perppu menjadi UU.
Dalam perjalanannya, Perppu ini diterbitkan untuk menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) serta dinilai cacat formil di dalam Perppu ini.
Mahkamah juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam kurun waktu paling lama dua tahun, sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu yang sudah ditentukan tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Sederhananya, UU Cipta Kerja itu bisa ditangguhkan masa berlakunya sebelum ada sebuah perbaikan. Aturan-aturan turunan yang berdasarkan undang-undang tidak dapat dilaksanakan dan tidak boleh dibuat dengan prosedur yang biasa sebelum adanya sebuah perbaikan.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana kita ketahui bahwa, pengujian Undang-undang Ciptaker di Mahkamah Konstitusi itu adalah menyangkut tata cara pembuatan yang tidak sesuai dengan prosedur yang ada sehingga dinilai cacat formil. Dari kecacatan ini menimbulkan seluruh undang-undang, mulai dari pertimbangan hukum, batang tubuh hingga penjelasan dari undang-undang tersebut dinyatakan inkonstitusional.
Cacat formil pembentukan undang-undang itu memang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam segala sisi, tetapi bukan berarti dengan adanya kekosongan hukum, sebab undang-undang yang dirangkum secara menyeluruh dalam Omnibus Law Ciptaker itu masih berlaku sepanjang undang-undang belum ada pembatalan dari pihak MK yang belum diperbaiki dan disahkan oleh DPR dan pemerintah.
Secara normatif dan akademis, keluarnya Perppu Ciptaker ini jauh dari syarat-syarat objektif keluarnya Perppu, sehingga presiden memang melakukan tindakan yang cukup disebut sebagai tindakan otoriter. Disebut otoriter karena melawan ketentuan konstitusi.
Dalam konteks ini, Perppu dibuat harus memenuhi persyaratan standardisasi kegentingan yang memaksa yang yang ditetapkan secara subjektif oleh presiden. Mahkamah Konstitusi menetapkan standar objektif ini dalam putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan putusan MK tersebut, ada tiga syarat yang menjadi tolak ukur dalam menetapkan suatu keadaan yang genting. Pertama, adanya kegentingan yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Artinya, ketika tidak ada hal yang genting kemudian mengeluarkan Perppu akan terjadi kekacauan yang sangat hebat.
Di hari pengumuman Perppu Cipta Kerja, Mahfud MD mengatakan maksud pemicu lahirnya Perppu ini adalah adanya ketidakstabilan untuk menggambil kebijakan atas perkembangan situasi ekonomi global yang terjadi.
Ia menyebut perang Ukraina-Rusia yang telah memengaruhi negara-negara lain termasuk Indonesia yang lambat laun kemungkinan akan mengalami ancaman inflasi, stagflasi, krisis multisektor, suku bunga, kondisi geopolitik, krisis pangan sehingga pemerintah harus mengambil langkah strategis secepatnya.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, Perppu tidak boleh dipakai dalam situasi normal. Perppu hanya bisa dikeluarkan dalam arti harus memenuhi ihwal kegentingan memaksa. Sedangkan, untuk alasan dampak dari perang Rusia-Ukraina yang jadi salah satu dalih terbitnya Perppu Ciptaker tidak termasuk dalam ihwal kegentingan memaksa yang dikonstruksikan oleh UUD, serta tidak ada kepastian hukum.
Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada aktualisasi yang akurat sehingga timbul adanya kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak ada unsur yang memadai.
Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan tempo yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk menyelesaikan.
Sejauh mengenai persoalan cacat formil, dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi ditekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang, serta diamini oleh seluruh instansi pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Ini juga sebenarnya merupakan pemenuhan amanat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
maka penulis menyimpulkan, jika kepentingan memaksa karena kondisi perekonomian global yang harus cepat direspons oleh pemerintah, maka perlunya kajian ulung serta penelitian lebih lanjut terhadap pemutusan penerbitan Perppu ini.