Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Konflik PKB-PBNU dan Masa Depan Politik Nahdliyin
31 Juli 2024 18:08 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Fathurrahman Yahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), baru saja memperingati hari lahirnya yang ke-26 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Juli 2024 lalu. Di tengah kemelut kepengurusan PKB dan perseteruan yang silih berganti pada masa awal berdirinya, Cak Imin (sebutan Muhaimin Iskandar) berhasil melakukan konsolidasi internal partai, sehingga PKB saat ini berhasil bangkit dan maju berada dalam garis terdepan di antara partai-partai Islam atau berbasis massa Islam lainnya.
ADVERTISEMENT
Dengan konsolidasi internal yang solid, PKB di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar masih bisa bertahan (survive) dan mampu mempertahankan eksistensinya di Parlemen. Dalam tiga pemilu terakhir, perolehan suara PKB berhasil melampaui ambang batas Parlemen (Parliamentary Threshold) 4 % yang ditetapkan dan terbanyak (9,04 % : 2014), (9,69 %: 2019) dan (10,62 % : 2024) dibandingkan perolehan suara partai Islam (berbasis massa Islam) lainnya seperti; PKS, PAN, dan PPP. Artinya, di bawah kendali Cak Imin, posisi PKB beranjak naik dalam percaturan politik nasional, berada di urutan ke empat setelah PDIP, Golkar dan Gerindra.
Terlepas dari pola kepemimpinan Cak Imin dalam mengelola PKB yang kerap dikritisi beberapa pihak sebagai sentralistik dan elitis, faktanya PKB berhasil melewati rintangan-rintangan konflik internal membahayakan-yang biasanya seperti penyakit ”autoimun’’, menggerogoti pertumbuhan organ suatu partai politik. Menurut Jacques Derrida (1930–2004), autoimun (immunity) bisa menyerang sistem organisme yang kompleks, mengganggu dan melemahkannya.
ADVERTISEMENT
Melewati Masa Konflik
Sejak fase awal berdirinya, partai yang dideklarasikan K.H.Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (alm) dan sejumlah Kiai NU tidak reda dari bayang-bayang perseteruan politik internal yang kerap berujung pada pemisahan diri atau pembangkangan politik sejumlah elite PKB. Implikasinya, sebagian mendirikan partai baru atau bergabung dengan partai lain. Upaya islah atau rekonsiliasi kerap kali kandas di tengah jalan, karena salah satu pihak merasa tidak terakomodir dalam kepengurusan partai secara adil dan seimbang. Matori Abdul Jalil (alm) mendirikan Partai Kejayaan Demokrasi (PKD), kemudian Chairul Anam dan Alwi Shihab yang didukung kiai Khos NU saat itu mendirikan PKNU.
Selanjutnya, perseteruan antara kubu Muhaimin Iskandar dan kubu Gus Dur, yang diwakili Yenny Wahid sesungguhnya sangat rumit karena memiliki spektrum politis sekaligus yuridis. Secara politis, kubu Gus Dur yang direpresentasikan Yenny Wahid merasa berhak untuk melanjutkan kepengurusan PKB versi Gus Dur sebagai PKB yang asli.
ADVERTISEMENT
Tetapi, secara yuridis, kubu Muhaimin Iskandar memiliki legalitas hukum sesuai putusan Pengadilan dan SK Menkumham nomor M.HH-67.AH.11.01 tahun 2010 yang mengesahkan Susunan Kepengurusan DPP PKB periode 2008-2014. Dan yang lebih krusial lagi, episentrum konflik justru terjadi di lingkaran elite keluarga sang deklarator PKB yang sangat dihormati, yaitu Gus Dur (alm).
Semua pihak tentu menyadari bahwa beban konflik yang terjadi di PKB pada masa awal sangat memengaruhi vitalitas partai kaum Nahdiyyin itu sendiri, sehingga kondisinya terus melemah. Ibarat bayi, PKB yang lahir dari rahim PBNU, pada awalnya gemuk dan sehat, tetapi kemudian digerogoti oleh semacam penyakit ‘’autoimun” yang justru menyerang ketahanan (imunitas) tubuhnya sendiri.
Akibat konflik berkepanjangan dengan dualisme kepengurusan yang berseberangan, perolehan suara PKB pada pemilihan legislatif 9 April 2009 hanya mencapai 4,494%. Padahal, pada pemilu 2004 mencapai 10,57%, bahkan, 12,8 % pada pemilu 1999.
ADVERTISEMENT
Dibalik usia 26 tahun kehadiran PKB dan cerita sukses pada pemilu legislatif 14 Februari 2024 lalu, ternyata PKB masih digelayuti bayang-bayang rintangan politik dari lingkarannya sendiri.
Belakangan, “perseteruan” antara PKB-PBNU kembali memanas. Sejumlah pihak mulai mengambil langkah, melakukan manuver, setidaknya untuk melemahkan posisi Cak Imin dalam kepengurusan di PKB dengan dalih ingin meluruskan sejarah partai dan mengembalikan PKB yang kelahirannya dibidani PBNU pada masa awal reformasi 1998.
Secara historis, PKB memang dilahirkan dari rahim PBNU, tetapi sangat problematik dan sulit bagi PBNU untuk mengambil alih PKB, karena secara yuridis, keduanya merupakan entitas organisasi yang berbeda, walaupun berasal dari basis kultur yang sama. Disadari, perseteruan antara PKB-PBNU tentu akan merugikan Nahdliyin, terutama mereka yang berafiliasi secara politik dengan PKB. Lalu, bagaimana menyelamatkan kedua entitas organisasi “Nahdliyin” ini dari konflik berkepanjangan?
ADVERTISEMENT
Islah Kultural
Ekspektasi politik sejumlah Kiai NU dan simpatisan di kalangan grass root terhadap PKB untuk menjadi rumah politik Nahdliyin sesungguhnya sangat besar. Hanya saja, partai besutan Cak Imin saat ini, sepertinya masih digelayuti bayang-bayang perseteruan dan konflik yang kerap menyelinap dari dalam rumah Nahdliyin sendiri.
Memelihara perseteruan dan konflik antara PBNU-PKB tentu akan merugikan masa depan PKB yang sudah beranjak menuju partai papan atas. Di samping itu juga akan merugikan Nahdliyin yang masih berharap kepada PKB untuk menjadi rumah aspirasi politik mereka. Dan ekspektasi politik tersebut hanya bisa terwujud jika ada “islah” , “rujuk” atau “rekonsiliasi” kultural untuk menyatukan elite-elite dan kader Nahdliyin baik dari PBNU maupun PKB.
Sudah jamak diketahui, sejak terpilihnya KH.Yahya Cholil Staquf sebagai ketua Umum PBNU melalui Muktamar ke-34 NU di Lampung, 2021 lalu, benih-benih ”perseteruan” antara PBNU dan PKB besutan Cak Imin mulai tampak menyeruak ke permukaan. Padahal dua periode PBNU sebelumnya (2010-2021), relasi antara PKB-PKB sejalan seirama dan sangat mesra.
ADVERTISEMENT
Tidak bisa dinafikan bahwa di dalam kedua elite ini masih tersimpan beban sejarah politik masa lalu karena berada dalam kubu politik yang berbeda.Tetapi, bisakah dipersatukan kembali demi kepentingan politik Nahdliyin? Setidaknya, ada beberapa catatan reflektif bagi PKB-PBNU demi masa depan politik Nahdliyin.
Pertama: Saatnya PKB-PBNU melakukan komunikasi secara akomodatif bukan konfrontatif yang selama ini mengalami gangguan (noise), sehingga memberi ketenangan psikologis dan politik bagi Nahdliyin di tingkat akar rumput melalui mediasi Kiai sepuh.
Kedua: Saatnya PKB-PBNU, untuk mendekatkan para Kiai dan merekatkan di antara mereka yang selama ini berjarak karena perbedaan afiliasi politik dan miskomunikasi. Bagi PKB, hal ini tentu sangat menguntungkan karena dalam kultur NU, kiai adalah elite intelektual yang memiliki ikatan moral sekaligus kedekatan emosional yang luar biasa dengan kalangan grass root, utamanya masyarakat pedesaan. Mereka bisa menjadi masinis politik partai yang bisa menarik simpati warga Nahdliyin untuk beramai-ramai menaiki gerbong-gerbong PKB.
ADVERTISEMENT
Ketiga: Saatnya PKB untuk menguatkan visi politiknya sebagaimana tercantum dalam "’mabda’ siyasi"dan mengembangkannya dalam hubungan antar sesama dalam konteks ikatan keagamaan (ukhuwah diniyah), kebangsaan (ukhuwah wathaniyah), dan kemanusiaan (ukhwuah insaniyah). Dengan demikian, PKB dapat melebarkan sayapnya, tidak hanya di lingkungan santri, tetapi juga di lingkungan priyayi dan abangan dalam pemahaman sosiologis Clifford Gertz. Artinya, ke depan PKB akan menjadi partai religius-nasionalis yang mengayomi seluruh elemen masyarakat Indonesia yang majemuk.
Walhasil, percepatan ‘’islah’’ ‘’rujuk’’ atau rekonsiliasi kultural antar elite-elite PKB-PBNU sangat dinantikan warga Nahdiyyin sebelum muncul kejenuhan secara masif menyaksikan perseteruan elite-elite PKB-PBNU yang tak berkesudahan.