Konten dari Pengguna

Mendesain Penguatan Diplomasi Indonesia di Afrika

Fathurrahman Yahya
Pemerhati Politik dan Isu-Isu Internasional, Program Doktoral Kajian Komunikasi Politik dan Diplomasi Universitas Sahid Jakarta.
15 September 2024 10:37 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrahman Yahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan keterangan pers terkait pelaksanaan High Level Forum on Multi Stakeholder Partnerships (HLF MSP) and Indonesia Afrika Forum (IAF) II di Nusa Dua, Badung, Bali, Senin (2/9/2024).ANTARA FOTO/Media Center IAF II-HLF MSP/Paramayuda/nym
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan keterangan pers terkait pelaksanaan High Level Forum on Multi Stakeholder Partnerships (HLF MSP) and Indonesia Afrika Forum (IAF) II di Nusa Dua, Badung, Bali, Senin (2/9/2024).ANTARA FOTO/Media Center IAF II-HLF MSP/Paramayuda/nym
ADVERTISEMENT
Penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Indonesia-Africa Forum (IAF) ke-2 yang berlangsung di Bali, 1-3 September 2024, merupakan langkah strategis bagi Indonesia untuk merajut hubungan diplomatik yang lebih erat dan saling menguntungkan bagi kedua bangsa. Sejarah persahabatan kedua bangsa yang diikat melalui Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 sejatinya terus diperkokoh dalam implementasi kerjasama ekonomi, perdagangan, investasi, politik dan sosial budaya.
ADVERTISEMENT
Sebagai inisiatif diplomatik Indonesia dan negara-negara Afrika sebagaimana diselenggarakan Konferensi pertama di Bali pada tahun 2018 lalu, forum ini diharapkan menjadi platform kerjasama bagi kepentingan Indonesia dan negara-negara Afrika. Selain itu, IAF juga mendorong kerjasama di bidang infrastruktur, energi dan pertanian, serta pengembangan sumber daya manusia. Mengapa negara-negara Afrika penting bagi Indonesia sebagai mitra dan apa saja tantangannya?
Mitra Strategis
Hubungan dan dukungan solidaritas Indonesia terhadap bangsa Afrika pada masa perjuangan menuju kemerdekaan dari cengkraman kolonialisme tidak bisa dinafikan. Melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955, gerakan Non Blok yang kemudian memerdekaan banyak negara di Benua hitam tersebut, utamanya di Afrika Utara seperti Maroko, Aljazair, Tunisia menjadi tonggak sejarah persahabatan Indonesia-Afrika yang sangat strategis untuk menata Kembali hubungan-kerjasama kemitraan yang lebih konprehensif dan saling menguntungkan.
ADVERTISEMENT
Secara demografis negara-negara Afrika sangat besar dengan populasinya yang berjumlah sekitar 1,5 miliar (2024) dan merupakan benua terpadat kedua di dunia setelah Asia. Laju pertumbuhan penduduk tahunan Afrika terus berada di atas 2,3 persen sejak tahun 2000 dan seterusnya.
Pada tahun 2050, penduduk benua ini diprediksi akan mencapai hampir 2,5 miliar jiwa. Pertumbuhan penduduk yang cepat, tingkat kesuburan yang tinggi, harapan hidup yang meningkat, rumah tangga yang besar menjadi elemen sangat potensial yang memberi peluang besar bagi Indonesia untuk merambah pasar negara-negara Afrika ke depan.
Berdasarkan estimasi terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa, jumlah penduduk Afrika saat ini (September 2024), adalah 1.521.255.445 jiwa. Jumlah penduduk Afrika setara dengan 18,3% dari total penduduk dunia. Artinya, selain kekayaan alam, sumber daya manusia-populasi negara-negara tersebut merupakan peluang pasar bagi produk-produk Indonesia, manufaktur dan kebutuhan konsumsi rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Menumbuhkan Akar Historis
Konferensi Asia-Afrika yang menyatukan para pemimpin negara-negara Asia dan Afrika di Bandung dibawah kepemimpinan Soekarno pada tahun 1955 selalu ditarik ulang sebagai penyambung hubungan persaudaraan antara Indonesia dengan Afrika. Akar-akar historis persaudaraan antara kedua bangsa, sebenarnya sudah tumbuh sejak sebelum perhelatan ‘’persemaian diplomatiki’’ konferensi Asia-Afrika di Bandung tersebut.
Dalam buku ‘’Min Jakarta Ilaa Carthage’’, Rachid Driss (1917-2009) seorang diplomat Tunisia menggambarkan betapa eratnya hubungan Indonesia dengan bangsa Afrika, utamanya di wilayah Afrika Utara seperti ; Mesir, Tunisia, Aljazair dan Maroko sejak negara-negara tersebut berjuang melawan kolonialisme menuju kemerdekannya. Bahkan, peran diplomasi Presiden Soekarno sangat dihargai dikalangan masyarakat negara-negara tersebut, termasuk dukungannya bagi kemerdekaan bangsa Palestina. Nah, dimensi historis ini sejatinya dapat dijadikan akar untuk terus ditumbuhkan dalam kerangka penguatan hubungan diplomatk Indonesia-Afrika. Sejarah merupakan aspek penting dalam konteks membangun hubungan Internasional, politik Internasional, kebijakan luar negeri dan diplomasi (Godwin :2023).
ADVERTISEMENT
China telah memanfaatkan aspek (historis) ini dan mengelolanya sebagai bagian dari platform kerjsasama ekonomi, perdagangan dam investasi sehingga negeri Tirai Bambu menjadikan negara-negara Afrika sebagai salah satu mitra strategis kerjasama luar negerinya, termasuk negara Afrika di bagian Utara seperti Mesir, Aljaziar, Tunisia dan Maroko. Bahkan, lawatan Presiden Aljazair, Abdel Madjid Tebboune ke Beijing (18/07/2023) disambut hangat Presiden Xi Jinping dalam rangka penguatan kerjasama bidang pertahanan dan keamanan.
Dengan kekayaan alamnya, terutama minyak dan gas, Aljazair kini memiliki semangat ambisius untuk membangun. Dengan fokus pada pembangunan ketahanan, adopsi inovasi, dan modernisasi ekonomi, negara ini telah mencapai tonggak sejarah baru yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan rilis laporan klasifikasi pendapatan tahunan Bank Dunia pada tanggal 1 Juli 2024, Aljazair adalah satu dari empat negara di seluruh dunia yang beralih dari klasifikasi pendapatan menengah ke bawah ke pendapatan menengah atas, (worldbank.org).
ADVERTISEMENT
Potensi dan Tantangan
Forum Indonesia-Afrika (Indonesia-Africa Forum) telah membuka peluang baru bagi Indonesia dan Afrika dalam memperdalam kerjasama ekonomi dan perdagangan. Beberapa perjanjian bisnis dan investasi yang ditandatangani selama IAF menjadi bukti konkret dari manfaat forum ini. IAF tidak hanya melibatkan sektor swasta, pelaku bisnis, tetapi juga lembaga negara masing-masing melalui kerjasama antar Parlemen (Indonesia-Africa Parliamentary Forum (IAPF).
Langkah Indonesia untuk terlibat dalam proses Pembangunan di negara-negara Afrika yang sangat potensial ini layak diapresiasi sebagai terobosan diplomatik yang berani untuk memasuki ‘’Benua Hitam’’ tersebut. Hal itu, karena Indonesia yang sebenarnya memiliki akar hubungan sejarah dengan negara-negara Afrika, baru menjadi pemain dalam beberapa tahun terakhir.
Presiden Jokowi (tengah) berbincang dengan pemerintah Afrika usai melakukan penandatanganan kerjasama dalam bidang infrastruktur dan transportasi. Foto: Dok. Humas Kementerian BUMN
Forum Indonesia-Afrika baru terbentuk sejak tahun 2018 lalu. Sementara, Jepang, Korea Selatan, India dan China sudah merambah benua tersebut sejak tahun 1990-an dengan berbagai mekanisme kerjasama dan kemitraan misalnya ; Forum On China-African Cooperation (FOCAC) dalam skala yang lebih besar, sehingga hal ini bisa menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Tantangan tersebut semakin nyata, dimana pada bulan yang sama (4-6/09/2024), Bejing juga menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi Forum Kerja Sama China-Afrika atau Forum on China-Africa Cooperation (KTT FOCAC). Artinya, tantangan memasuki pasar Afrika semakin kompetitif.
ADVERTISEMENT
a konteks ini, China telah berinvestasi besar-besaran dalam pembangunan infrastruktur di Afrika, seperti jalan raya, jembatan, pelabuhan, kereta api, dan bandara. Proyek-proyek ini, seperti rel Kereta Api Addis Ababa-Djibouti dan pelabuhan Mombasa, didanai melalui pinjaman lunak dan investasi langsung dari pemerintah China serta perusahaan-perusahaan China. Selain itu, Belt and Road Inisiatif (BRI) menjadi pengikat negara-negara Afrika dengan China yang bertujuan untuk menghubungkan Asia, Afrika, dan Eropa melalui jaringan perdagangan dan infrastruktur. BRI memungkinkan negara-negara Afrika untuk mendapatkan akses ke investasi dan teknologi yang dibutuhkan untuk pengembangan infrastruktur.
*****
ADVERTISEMENT
Melalui KTT Forum Indonesia-Afrika, Indonesia bisa memposisikan diri sebagai mitra strategis yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, tetapi juga pada pengembangan kapasitas dan solidaritas antar negara berkembang-Selatan-Selatan.
Lebih dari itu, Indonesia termasuk juga (para pebisnis) mesti mengubah persepsi tentang image Afrika yang kerap disebut sebagai negara ’’antah berantah’’ dan menjadikannya sebagai negara-negara potensial untuk kerjasama, baik bagi kalangan bisnis maupun pemerintah. Indonesia perlu mendesain ulang paradigma diplomasinya dengan negara-negara Afrika sebagaimana strategi China menggencarkan soft power diplomasinya di Afrika. (Fath).