Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Prabowo Subianto dan Tantangan Diplomasi Indonesia
9 November 2024 17:57 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Fathurrahman Yahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah resmi dilantik sebagai Presiden RI, Minggu (20/10/2024) Prabowo Subianto mengawali kunjungan kerja kenegaraan perdananya mulai Jumat (8-/11/2024) selama 16 hari ke sejumlah negara seperti : China, Amerika Serikat, Brazil, Peru dan Inggris.
ADVERTISEMENT
Prabowo Subianto, Jenderal (purn) mantan Komandan Pasukan Khusus (Kopassus) memang menarik perhatian banyak kalangan dan seperti dinanti dalam kancah politik internasional.
Kehadiran 19 kepala negara/kepala pemerintahan dan 15 perwakilan khusus, termasuk delegasi khusus AS, Rusia dan wakil Presiden China pada hari pelantikannya (Minggu,20/10/2024) seakan menjadi prolog-pembuka panggung diplomasinya dalam pentas politik regional dan global. Mengapa negara-negara adidaya begitu antusias menyambut mantan Komandan Kopassus tersebut?
Pesona Prabowo Subianto
Sejak dinyatakan sebagai pemenang pemilihan Presiden/Wakil Presiden versi Quick Count, 14 Februari 2024, sejumlah kepala negara/Pemerintahan mengucapkan selamat kepada Prabowo Subianto, baik secara langsung maupun melalui perwakilannya di Jakarta.
Pemimpin negara-negara berpengaruh dan tetangga seperti Presiden Rusia, Vlademir Putin, Perdana Menteri Inggris Shunak, PM Australia, PM Singapura, PM, Anwar Ibrahim, dll. seolah bergegas untuk memberi ucapan selamat kepada Prabowo Subianto. Bahkan, Presiden China, Xi Jinping ‘’mencuri start’’ mengundang Prabowo bertemu di Beijing (1/4/2024) sebagai Presiden terpilih (elected president) dengan sambutan hangat bagaikan kunjungan kepala negara sahabat yang sangat istimewa.
ADVERTISEMENT
Bagi negara-negara yang memiliki kepentingan besar terhadap Indonesia, baik kepentingan strategis di bidang pertahanan, keamanan dan ekonomi, sosok Prabowo Subianto tentu menjadi perhatian tersendiri. Jejaknya di militer dan peran diplomasinya selama menjabat Menteri Pertahanan pada Kabinet Presiden Joko Widodo periode kedua (2019-2024) membuktikan kelincahannya ‘’begaul’’ dengan pemimpin negara manapun.
Pemerintah Amerika Serikat yang pernah mencekal (tidak mengizinkan) Prabowo masuk negaranya sejak tahun 2000-an, pun mengubah sikapnya. Melalui Menteri Pertahanan AS, Mark Esper, Prabowo Subianto diundang dan berkunjung ke Pentagon (15-19 Oktober 2020).
Pertemuan Prabowo Subianto dengan sejumlah kepala negara/pemerintahan berpengaruh baik di tingkat regional dan internasional memberi sinyal bahwa sosok yang pernah dianggap kontroversial ini, justru sangat bersahabat (friendly) dalam konteks bernegara. Sikap itu ditegaskan melalui pidatonya yang disampaikan pada saat pelantikan bahwa ‘’seribu kawan terlalu sedikit, satu lawan (musuh) telalu banyak’’.
ADVERTISEMENT
Prabowo Subianto seperti memiliki karakter ‘’ganda’’; karakter militer yang tegas dan karakter sipil yang lembut. Ia menegaskan bahwa Indonesia tidak akan mengganggu negara lain, tetapi Indonesia tidak mau diganggu negara lain. Pesan-pesan diplomasi yang disampaikan Prabowo Subianto setidaknya, akan menjauhkan persepsi kepemimpinan militer yang kerap dinilai diktator dan berambisi perang.
Prabowo berkomitmen untuk menjaga keseimbangan-kesimbangan pengaruh geoolitik dengan perinsip ‘’politik bebas aktif’’ dan tidak akan ikut dalam pakta-pakta pertahanan manapun. Hanya saja, sejauh mana Indonesia dapat mengambil keuntungan dari kebijakan politik luar negerinya yang ‘’bebas aktif’’ itu ditengah persaingan pengaruh geopolitik yang semakin dinamis?
Menyesuaikan Politik ‘’Bebas Aktif’’
Politik ‘’bebas aktif’’ Indonesia yang dicetuskan Bung Hatta (1948) dicanangkan sebagai pijakan diplomasi tidak memihak-Non Blok-pada perang dingin, merupakan upaya penyeimbang antara Blok Timur dan Barat saat itu. Tetapi, dalam dinamika geopolitik saat ini, dimana bermunculan blok-blok baru dalam konteks berbeda dengan masa perang dingin, kebijakan politik luar negeri ‘’bebas aktif’’ perlu penyelerasan sesuai konteksnya.
ADVERTISEMENT
Politik Bebas Aktif Indonesia, sejatinya tidak diterjemahkan secara literal dan kaku bahwa Indonesia hanya berperan sebagai mediator-penengah-wasit-dari pihak-pihak yang berkonflik.Tetapi, Indonesia hendaknya berperan sebagai wasit yang juga mendapat keuntungan-keuntungan. Kebijakan politik bebas aktif, bukan hanya sekadar mendayung di antara dua karang, tetapi bagaimana Indonesia dapat mengambil manfaat dan keuntungan dari dua karang tersebut.
Lawatan Presiden Prabowo Subianto ke sejumlah negara, baik dalam rangka kunjungan bilateral maupun agenda-agenda internasional seperti APEC di Peru dan G20 di Brazil, dimaknai sebagai upaya penyeimbang diplomasi Indonesia. Presiden Prabowo tidak hanya mengunjungi China, tetapi juga Amerika Serikat. Dua negara ini merupakan kekuatan yang saling berebut pengaruh geopolitik di kawasan Indo-Pasifik.
Di tengah situasi kompetisi geopolitik yang sangat kompleks tersebut, pemerintahan Prabowo Subianto akan menghadapi tantangan-tantangan geopolitik yang sangat pelik, baik dalam konteks regional maupun global di antaranya :
ADVERTISEMENT
Pertama : Tekanan rivalitas dua kekuatan (AS vs China) menjadi salah satu tantangan terbesar Prabowo Subianto. Presiden Prabowo dituntut untuk dapat menjaga keseimbangan di antara rivalitas tersebut utamanya di kawasan Indo Pasifik, karena implikasinya sangat krusial bagi stabilitas kawasan dan ASEAN. Kedua negara ini adalah mitra dagang utama Indonesia, dan keduanya memiliki kepentingan strategis di kawasan Asia Tenggara.
Kedua, Ketegangan di Laut China Selatan (salah satu wilayah paling strategis dan kontroversial di Kawasan) akibat sengketa teritorial antara China dan beberapa negara ASEAN, termasuk Filipina, Malaysia, dan Vietnam, akan menjadi tantangan besar bagi diplomasi Indonesia ke depan. Meskipun Indonesia tidak terlibat langsung dalam sengketa tersebut dan bukan pengklaim (non-claimant state), potensi ketegangan di Natuna harus diantisipasi dengan diplomasi maritim yang kuat dan seimbang.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Stabilitas Kawasan Asia Tenggara (ASEAN), baik dari segi politik maupun keamanan, tentu menjadi prioritas. Krisis di Myanmar dan ketegangan lainnya di kawasan akan menjadi ujian bagi kepemimpinan Prabowo Subianto dalam menjaga stabilitas dan keamanan regional. Konflik di Myanmar dibawah Junta Militer, tampak semakin krusial dan akan dibawa ke dalam blok-blok aliansi regional. Dengan pengaruh dan posisi Indonesia di ASEAN yang kuat, Prabowo Subianto diharapkan dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam menciptakan solusi diplomatis untuk masalah internal ASEAN, termasuk krisis kemanusiaan Rohingya.
Keempat: Persaingan Ekonomi Global dan proteksionisme saat ini, sedang meningkat di banyak negara besar, apalagi kembalinya Donald Trump ke tampuk kekuasaan Gedung Putih pasca kemenangannya pada Pilpres AS beberapa hari yang lalu. Kebijakan proteksionisme Trump akan menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia dalam upaya mempertahankan akses pasar internasional, khususnya di tengah kondisi perekonomian global yang tidak menentu.
ADVERTISEMENT
Kelima : Penguatan Posisi Indonesia di forum-forum dan Organisasi Internasional, seperti PBB, G20, APEC, maupun organisasi regional seperti ASEAN. Indonesia hendaknya dapat memastikan penguatan suaranya dalam isu-isu global seperti perubahan iklim, perdagangan global, serta bagaimana Indonesia bisa berperan aktif dalam mengatasi krisis global yang terjadi.
---
Tantangan-tantangan eksternal tersebut yang semakin kompleks dapat ditata dalam sinkronisasi kebijakan politik luar negeri yang berfokus pada peningkatan kedaulatan nasional, kerjasama pertahanan, diplomasi ekonomi yang adil, dan peran yang lebih besar di ASEAN.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Prabowo Subianto dalam menghadapi tantangan-tantangan ini akan sangat bergantung pada kejelian memanfaatkan peluang-peluang diplomasi, penguatan ekonomi domestik, serta pengelolaan isu-isu strategis di tingkat internasional. Di sini, Prabowo dituntut berhati-hati sekaligus lihai berdiplomasi agar kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif benar-benar efektif dan profitable.(Fath).