Konten dari Pengguna

Jurnalisme Indonesia: Etika yang Terkikis oleh Orientasi Profit?

Tiara Puja Maharani
Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Andalas
23 Desember 2024 9:50 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tiara Puja Maharani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: ilustrasi gambar sendiri
zoom-in-whitePerbesar
Source: ilustrasi gambar sendiri
ADVERTISEMENT
Dalam era digital yang terus berkembang, media memegang peranan vital dalam menyediakan informasi akurat dan relevan bagi masyarakat. Namun, kemajuan teknologi juga membawa tekanan besar untuk menarik perhatian melalui konten sensasional. Akibatnya, prinsip-prinsip etika jurnalistik kerap terabaikan, menimbulkan kekhawatiran atas kualitas dan integritas media di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan Dewan Pers, pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik menjadi salah satu isu utama yang diadukan masyarakat. Meskipun angka spesifik tidak disebutkan, tren ini menunjukkan bahwa persoalan etika jurnalistik masih menjadi perhatian serius. Realitas ini mengindikasikan bahwa orientasi profit dalam industri media kerap mendominasi, mengesampingkan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab sosial.
Antara Etika dan Tekanan Komersialisasi
Kode Etik Jurnalistik Indonesia dirancang untuk menjaga integritas dan profesionalisme media. Namun, tekanan bisnis sering kali mendorong pelanggaran prinsip-prinsip dasar seperti akurasi, keseimbangan, dan tanggung jawab sosial. Hal ini tercermin dalam pemberitaan sensasional mengenai figur publik seperti G.A. dan B.T.P.
Kasus G.A. Pada tahun 2020, pemberitaan mengenai video pribadi G.A. menjadi topik kontroversial yang meluas. Media dengan cepat menyebarluaskan informasi yang seharusnya berada di ranah privat, melanggar Pasal 9 Kode Etik Jurnalistik yang mewajibkan wartawan menghormati privasi narasumber kecuali dalam kasus yang relevan dengan kepentingan publik.
ADVERTISEMENT
Dampak pemberitaan ini sangat signifikan. Reputasi G.A. rusak, dan ia menghadapi stigma negatif dari masyarakat. Dalam wawancara eksklusif yang dilakukan oleh salah satu media pada Desember 2020, G.A. mengungkapkan tekanan mental yang dialaminya akibat pemberitaan tersebut. Kasus ini menunjukkan bahwa orientasi profit media, yang mengejar klik dan popularitas, sering kali mengabaikan aspek kemanusiaan dan etika.
Kasus B.T.P. Pada 2016, pemberitaan mengenai pernyataan B.T.P. memicu gelombang reaksi besar di masyarakat. Video pidatonya diedit sedemikian rupa sehingga menciptakan kesalahpahaman luas. Pelanggaran terhadap Pasal 1 dan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik terlihat jelas dalam kasus ini, terutama karena berita yang disajikan tidak berimbang dan cenderung memanipulasi opini publik.
Kasus ini mencerminkan bagaimana pemberitaan media dapat memengaruhi opini publik secara luas, menciptakan polarisasi, dan memengaruhi kepercayaan terhadap institusi demokrasi. Dampaknya tidak hanya mengakibatkan hilangnya jabatan B.T.P., tetapi juga menghantarkannya pada hukuman penjara. Ini menjadi bukti bahwa media, yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, justru memperkeruh suasana melalui pemberitaan yang tidak bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Dampak terhadap Kepercayaan Publik dan Solusinya Ketika profit lebih diutamakan daripada kebenaran, dampaknya meluas ke berbagai aspek kehidupan. Kredibilitas media menurun drastis. Sebuah survei pada 2016 oleh Edelman Trust Barometer mengungkapkan bahwa 70% masyarakat Indonesia dalam populasi umum dan 77% dalam kalangan publik terinformasi percaya pada media sebagai sumber informasi yang andal. Ketidakpercayaan ini menjadi ancaman serius bagi eksistensi media. Selain itu, pemberitaan sensasional yang tidak berimbang memperburuk polarisasi sosial, menciptakan konflik yang tidak perlu di masyarakat. Kerugian pribadi juga menjadi konsekuensi nyata, di mana individu yang menjadi subjek pemberitaan sering kali mengalami kerusakan reputasi dan dampak psikologis, seperti yang dialami G.A. dan B.T.P.
Untuk mengatasi masalah ini, beberapa langkah konkret perlu diambil. Dewan Pers harus memperkuat perannya dengan pengawasan yang lebih ketat dan pemberian sanksi tegas terhadap pelanggaran etika jurnalistik. Selain itu, edukasi jurnalis melalui pelatihan berkelanjutan mengenai etika jurnalistik menjadi penting, terutama untuk media baru yang mungkin kurang memahami prinsip ini. Masyarakat juga perlu meningkatkan literasi media agar mampu mengonsumsi berita secara kritis dan membedakan informasi yang asli dari yang manipulatif. Dengan kombinasi langkah-langkah ini, diharapkan media dapat kembali pada prinsip-prinsip dasar jurnalistik yang menempatkan kebenaran di atas kepentingan komersial, sehingga kepercayaan publik terhadap media dapat dibangun kembali.
ADVERTISEMENT