Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kajian Studi: Mengenai Peran Positif Legislator Dalam Putusan MK No 90
20 November 2023 16:55 WIB
Tulisan dari Gina agustina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
pada tanggal 16 oktober 2023 dikeluarkan putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang penuh dengan kontroversial namun tanpa disadari bahwa putusan tersebut juga melanggar peran Mahakamah konstitusi sebagai negative legislator. dalam putusan tersebut mahkamah konstitusi (MK) menambahkan syarat pengalaman menjabat dari keterpilihan pemilu dalam syarat usia minimal capres/cawapres. hingga menimbulkan pro dan kontra di kalangan Masyarakat sampai titik puncak yaitu putusan MKMK.
ADVERTISEMENT
Beberapa pihak mengkritik putusan tersebut sebagai bentuk tafsir serampangan, inkonsistensi logika, dan konflik kepentingan mahakamah konstitusi (MK) dalam melampaui kewenangannya sebagai negative legislator. Namun beberapa pihak justru mengapresiasi putusan tersebut sebagai bentuk responsifitas hukum MK dalam mengisi kekosongan hukum untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negara. Tanpa disadari bahwa MK merupakan negative legislator malah menjadi positif legislator. Mengapa demikian ?
Implikasi pada putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 dapat dilihat bahwa MK mengambil alih fungsi legislasi atau pembuatan undang-undang yang seharusnya menjadi kewenangan DPR dan pemerintah. Adapun peran MK sebagai negative legislator yaitu membatalkan atau menyatakan tidak sah terhadap norma-norma dalam undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang dasar 1945. Secara materi putusan 90 yang dikeluarkan oleh MK yang diketuai oleh mantan MK Anwar Usman memuat beberapa isu antara lain open legal policy, konflik kepentingan dan negative legislator.
ADVERTISEMENT
negative legislator disini merupakan konsep yang dimana mahkamah konstitusi tidak berwenang membuat norma baru melainkan hanya boleh mencoret jika tidak sesuai dengan konstitusi. Namun, dalam perkembangannya, MK juga bisa berperan sebagai "positive legislator" dengan merumuskan norma baru di dalam undang-undang jika mengacu pada PMK No. 02 Tahun 2021 tentang tata beracara dalam pengujian undang-undang menyatakan bahwa" dalam hal dipandang perlu, mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan".
menurut mahfud MD dalam bukunya yang berjudul konstitusi dan hukum dalam kontroversi isu (Hal 280) negative legislator dimaknai sebagai tindakan mahkamah konstitusi yang membatalkan norma-norma dalam judical review undang-undang terhadap undang-undang dasar 1945
Jika kita membahas terkait open legal policy yang dimana merupakan kebijakan hukum terbuka yang kewenangan pembentuk undang-undang apabila konstitusi sebagai norma hukum tertinggi tidak memberikan Batasan yang jelas bagaimana seharusnya materi dalam undang-undang diatur. Sebelumnya mahkamah konstitusi setuju bahwa batas usia capres/cawapres merupakan open legal policy tetapi berubah mengatakan bahwa bisa dilanggar jika terdapat kekosongan hukum atau ketidakpastian hukum yang timbul akibat pembatalan norma-norma dalam undang-undang, sehingga MK perlu membuat norma-norma baru yang mengisi kekosongan hukum atau ketidakpastian hukum tersebut. Dalam hal ini, mahkamah konstitusi berperan sebagai positive legislator, yaitu membuat norma-norma baru yang mengisi kekosongan hukum atau mengatasi ketidakpastian hukum.
ADVERTISEMENT
soal batas usia calon presiden dan wakil presiden, baik minimal 35 tahun atau maksimal 70 tahun. Menurut saya itu open legal policy yang menentukan itu adalah positif legislator. Legislator itu DPR dan pemerintah," jelas Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (26/9/2023).
MK seharusnya tidak boleh memutus perkara tersebut berdasar teori hukum konstitusi. MK merupakan negative legislator hanya boleh mencoret tidak boleh membuat. dalam putusan 90 memang benar tidak dicoret hanya saja menambah kalimat dengan berpengalaman “sambung Mahfud MD”
pada undang-undang No 24 Tahun 2003 tentang mahkamah konstitusi dan undang-undang tentang perubahannya tidak mengatur mengenai batasan-batasan dalam memutus perkara pengujian undang-undang oleh mahkamah konstitusi. hal tersebut justru menyebabkan mahkamah konstitusi mengeluarkan putusan dalam perkara pengujian undang-undang, melampaui kewenangannya sebagai negative legislator (membatalkan norma) dan membuat putusan-putusan mengambil alih fungsi legislasi atau pembuat undang-undang dengan merumuskan norma baru di dalamnya yang sering disebut positive legislator.
ADVERTISEMENT
sejak dikeluarkannya undang-undang No 8 Tahun 2011 pada tanggal 20 juli 2011, pasal 57 ayat (2a) undang-undang No 8 Tahun 2011 mengatur secara jelas batasan-batasan mengenai putusan yang dapat diambil oleh mahkamah konstitusi. pasal 57 ayat (2a) uu 8/2011 menyatakan :
Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:
1. amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
2. perintah kepada pembuat undang-undang; dan
3. rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
pasal 57 ayat (1) dan (2) uu 8/2011 dengan tujuan pasal tersebut agar MK membatasi dirinya hanya sebagai pembatal norma dan tidak menempatkan dirinya sebagai perumus norma baru karena hal tersebut merupakan open legal policy yaitu kewenangan DPR bersama presiden/pemerintah sebagai pembentuk undang-undang.
ADVERTISEMENT
namun, keberlakuan pasal 57 ayat 2a huruf c UU 8/2011 telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat melalui putusan mahkamah konstitusi Nomor 48/PPU-IX/2011 (putusan MK 48/2011)
MK sendiri menyatakan bahwa aturan mengenai pembatasan tersebut adalah inkonstitusional.
Sehingga dalam praktiknya, banyak perspektif bahwa Mahakamah konstitusi telah mengeluarkan putusan yang bersifat positive legislator dalam putusan 90 yang dikeluarkan pada 16 oktober 2023 yang di ketuai oleh Anwar Usman (mantan ketua MK) karena Mahakamah konstitusi telah mengubah bunyi pasal 169 huruf q undang-undang pemilu yang menetapkan syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden. Dengan demikian mahakamah konstitusi telah melampai kewenangannya sebagai negative legislator yang hanya dapat membatalkan norma yang bertentangan dengan konstitusi, dan telah mengambil alih fungsi DPR dan presiden sebagai pembuat undang-undang.
ADVERTISEMENT