Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Film Martabak Bangka: Potret Etnis Tionghoa dan Warisan Kuliner Hok Lopan
21 September 2023 15:54 WIB
Tulisan dari Uswah SahaL tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada minggu ini, pada tugas kuliah paradigma kebudayaan mahasiswa diminta untuk mengulas film “Martabak Bangka”. Film yang mengisahkan perjalanan Ramon Tungka dalam mencari ahli waris Koh Acun. Film berdurasi 1 jam 44 menit tersebut juga dibintangi Gabriella Desta, Ajul, Anyun, Abah Yusef, Samirah Risky, Claresta, Yafet Ibrahim, Paulus Djauhari, dan Graceilla Angelica.
Singkatnya, film ini menceritakan perjalanan tokoh Jaya (Ramon Y Tungka) yang bekerja di kedai martabak Koh Acun. Usai Koh Acun meninggal, Jaya bertekad untuk mencari keluarganya. Dia ingin menyelesaikan warisan Koh Acun yang menjadi hak keluarganya. Jaya melawan keinginan kekasihnya untuk mengambil warisan Koh Acun. Bermodalkan foto, Jaya menjelajahi Pulau Bangka bersama temannya, Asep (Ario Astungkoro). Tanpa alamat, pencarian ini tentu menjadi sulit. Setelah bersusah payah mencari keluarga Koh Acun dengan informasi minim, Jaya bertemu Tedjo, adik Koh Acun. Saat Jaya ingin memberikan warisan dan abu jenazah kakaknya, Tedjo menolak. Pada saat itulah terungkap masa lalu percintaan Koh Acun yang berdampak panjang. Salah satunya, problema percintaan Koh Acun yang saat itu “hanya” sebagai penjual martabak.
ADVERTISEMENT
Potret Etnis Tionghoa dan Melayu Hidup Berdampingan
Pada beberapa bagian film digambarkan secara jelas bagaimana etnis Tionghoa hidup rukun dengan masyarakat Melayu, seperti pada scene ketika tokoh Jaya salah alamat ketika akan memberikan abu kepada keluarga yang namanya juga Acun, terlihat Jaya disambut oleh perempuan Melayu yang dia hidup berdampingan dengan etnis Tionghoa dan kedekatannya digambarkan sangat erat. Saya meyakini bahwa sutradara Eman Pradipta membuat film ini dengan tujuan menunjukkan kepada masyarakat Indonesia bahwa masih ada budaya Indonesia yang saling menghormati sesama. Seperti halnya di Bangka, (etnis) Tionghoa dan Melayu yang hidup berdampingan.
Hal tesebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Fernando & Marta, 2015:2) bahwa Pulau di Indonesia yaitu Pulau Bangka dikenal dengan keberagaman penduduknya, mampu menjaga keharmonisan di antara Etnis Tionghoa dan Melayu. Harmonis adalah keadaan dimana antara satu individu dengan individu lainnya saling seia sekata, atau dapat dikatakan perbedaan antara individu itu sudah terkikis oleh sikap tenggang rasa dan toleransi yang baik. Etnis Tionghoa dan Melayu merupakan penduduk dengan jumlah terbesar di Pulau Bangka. Bangka Belitung memiliki komposisi penduduk etnis terbesar yaitu Melayu Bangka dan Belitung sekitar 69 persen dan Etnis Tionghoa dengan populasi 11 persen (Kavin, 2016:12). Mereka saling saling berbaur dan menerima kebudayaan masing-masing.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya di film, pada kenyataaanya di Bangka sangat jarang ditemui konflik di antara Etnis Tionghoa dan Melayu. Kekompakan hubungan Etnis Melayu dan Tionghoa di Bangka telah dibuktikan pada saat pecahnya kerusuhan Mei di Jakarta dan sejumlah tempat lainnya dimana penduduk etnis Tionghoa di Bangka benar-benar terlindungi. Dalam penelitian yang dilakukan (Theo & Lie, 2014:3) menyatakan sejarah Bangka juga tidak pernah mencatat adanya satupun kerusuhan rasial besar menimpa etnis Tionghoa karena hal ini tidak terlepas dari hubungan yang sudah lama terjalin antaretnis etnis di Pulau Bangka. Harmonisasi antar-warga Melayu dan Tionghoa di Bangka begitu kental dan mesra.
Kebiasaan ini sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang orang-orang Bangka, sehingga masyarakat Bangka wajib merawatnya. Selain itu, antara Melayu Bangka dan masyarakat Tionghoa sudah seperti dua sisi mata uang karena di pulau ini, kelompok masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan tanah setempat selama ratusan tahun. Tidak mengherankan jika muncul semboyan dalam bahasa Hakka Thong Ngin Fan Ngin Jit Jong, yang bermakna orang Tionghoa dan Melayu itu sama atau setara. Semboyan ini bukan hanya sekadar sebuah jargon, tetapi buah dari kehidupan bersama selama tiga ratus tahun lebih. Kekhasan pembauran yang terjadi antara etnis Tionghoa dan Melayu di Bangka bukan merupakan suatu hal yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah yang terjadi di Pulau Bangka.
ADVERTISEMENT
Warisan Kuliner Hok Lopan Media Akulturasi Budaya
Setelah menonton film ini rupanya saya baru sadar bahwa kuliner Hok Lo Pan atau yang dikenal sebagai martabak, merupakan makanan khas yang berasal dari Kepulauan Bangka Belitung dan menjadi media akulturasi budaya antara etnis Melayu dan Tionghoa yang harmonis. Martabak manis atau biasa disebut Hok Lopan merupakan salah satu jenis kue warisan kuliner yang menampilkan jejak budaya Tiongkok yang pada perkembangannya sejalan dengan proses akulturasi budaya yang berlangsung di Bangka, kue ini juga menjadi salah satu jenis kue yang juga dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat yang ada di Bangka.
Pengakuan akan kesamaan derajat dari fenomena budaya yang beragam itu tampak dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Ungkapan itu sendiri mengisyaratkan suatu kemauan yang kuat untuk mengakui perbedaan, tetapi sekaligus memelihara kesatuan atas dasar pemeliharaan keragaman, bukan dengan menghapuskannya atau mengingkarinya. Perbedaan dihargai dan dipahami sebagai realitas kehidupan, hal ini adalah asumsi dasar yang juga melandasi paham multikulturalisme.
ADVERTISEMENT
Menurut beberapa sumber, martabak manis memiliki nama asli hak lo pan yang secara harfiah memiliki arti kue orang Hak Lo. Hak lo pan diciptkan oleh warga keturunan Tioghoa Bangka yang disebut sebagai warga suku Hakka atau Khek. Orang Hakka (khek) merupakan orang Cina yang tinggal di daerah Bangka, itulah mengapa di Bangka martabak memiliki nama asli hok lo pan yang berarti kue orang hok lo. Selain diciptakan dari orang Tionghoa, ada juga cerita yang berkembang di masyarakat Bangka, ketika Indonesia masih dalam penjajahan Belanda, di Bangka ada juru masak dari etnis Hokkian yang bekerja untuk keluarga Belanda. Salah satu yang dimasaknya adalah kue panekuk atau pancake. Setelah masa penjajahan berakhir, juru masak itu berkarya kembal membuat kue panekuk seperti dulu dan akhirnya dijual.
ADVERTISEMENT
Terakhir, film martabak Bangka, tidak hanya membahas soal kuliner khas Bangka Belitung, tetapi juga menunjukkan keindahan wisata Pulau Bangka, karena lokasi syuting di film layar lebar ini mengambil beberapa tempat destinasi unggulan Babel.